Setelah lima tahun berjalan, program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN memasuki babak baru.

JKN telah berhasil meningkatkan cakupan asuransi kesehatan bagi masyarakat, dari 46 persen pada 2014 menjadi 75 persen pada 2018. Namun, angka ini berpotensi stagnan jika tidak ada strategi baru untuk mendorong keikutsertaan kelompok pekerja informal atau mandiri. Mereka berada di pertengahan antara kelompok miskin dan kaya: tidak laik mendapat bantuan, tetapi juga kerap merasa berat membayar iuran. Akibatnya, cakupan kelompok ini rendah sehingga disebut sebagai permasalahan kelompok tengah yang hilang (missing middle).

Persoalannya menjadi semakin rumit karena 23 persen peserta mandiri baru mendaftarkan diri dalam jaminan kesehatan sosial ketika sakit dan 28 persen peserta mandiri tidak membayar iuran secara rutin. Padahal, rasio klaim jaminan kesehatan pada peserta mandiri ini mencapai 281 persen (2016) dan menyebabkan rasio klaim keseluruhan mencapai 114 persen (2017). Secara berseri, kondisi ini mengakibatkan defisit dana jaminan kesehatan sosial hingga Rp 10,9 triliun (2018).

Di satu sisi, rasio klaim yang tidak seimbang dan defisit dana jaminan sosial menuntut kenaikan iuran peserta mandiri. Namun, di sisi lain kenaikan iuran berpotensi menghambat laju cakupan populasi karena masyarakat enggan membayar iuran yang dianggap mahal.

Produk superior

Kebijakan pemerintah menaikkan hanya sebagian iuran peserta mandiri menjadi indikasi reluctant-nya pemerintah untuk menjadikan JKN sebagai program prioritas dan produk superior. Iuran peserta mandiri kelas III tidak dinaikkan karena pemerintah juga tidak ingin menanggung kontribusi iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) lebih besar dengan alasan klaim rasio peserta PBI yang masih kecil, 47 persen.

Padahal, rasio ini tidak dapat menjadi alasan kuat. Rendahnya angka ini justru mengindikasikan kesenjangan lain. Rasio utilisasi peserta PBI yang rendah, 3,4 persen, diakibatkan hambatan akses layanan kesehatan yang dialami warga miskin, daerah pedesaan dan terpencil, serta maladistribusi fasilitas layanan kesehatan.

Penolakan pemerintah untuk menanggung kontribusi iuran peserta PBI—dan selanjutnya restrukturisasi iuran—menjadi tanda tanya besar: kapan pemerintah mengubah JKN jadi program superior?

Pemerintah dapat mengambil langkah progresif dengan menaikkan iuran peserta mandiri dan kontribusi iuran peserta PBI. Peningkatan kontribusi iuran PBI sebesar 50 persen dari selisih terhadap angka aktuarianya saja (Rp 6.500) melalui APBN akan menambah dana hingga Rp 7,8 triliun per tahun. Angka ini tidak seberapa dibandingkan dengan nilai investasi kesehatan masa depan bangsa. Untuk memenuhinya, pemerintah perlu mencari inovasi sumber dana, misalnya pajak berkarakter progresif dan pajak produk kesehatan (public health tax).

Dengan angka iuran yang sama bagi peserta mandiri kelas III, potensi pemasukan juga meningkat hingga Rp 2,5 triliun per tahun. Setelah opsi tersebut diambil, langkah efisiensi operasional BPJS Kesehatan menjadi mutlak dituntut melalui perbaikan kebijakan pembelian strategis, penguatan sistem rujukan, peningkatan kapasitas sistem informasi, dan pencegahan kecurangan (fraud).

Komprehensif

Selain itu, JKN harus dipandang sebagai entitas menyeluruh, yang mencakup promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan rehabilitasi. Pemerintah harus berupaya memperbaiki kualitas layanan kesehatan primer, distribusi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, ketersediaan obat-obatan, serta sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan.

Pada 2017, hanya 67 persen puskesmas yang dianggap memenuhi standar kesiapan, baik dari segi fasilitas, sumber daya manusia, maupun kelengkapan obat-obatan. Padahal, puskesmas dan fasilitas kesehatan primer lain jadi tulang punggung sistem kesehatan. Peningkatan kualitas layanan primer mutlak dituntut untuk menurunkan angka rujukan klinis yang tidak diperlukan dan mencegah tingginya biaya kesehatan dari kantong sendiri (out-of-pocket) yang tidak diharapkan.

Masifnya kritik terhadap tarif Indonesia-Case Based Group (INA-CBG) juga menjadi alarm untuk dua hal utama. Pertama, masih minimnya pemahaman dan cara pandang tenaga kesehatan terhadap perubahan sistem pembayaran INA-CBG yang kini bersifat prospektif. Kedua, tuntutan untuk memperbaiki tarif INA-CBG dengan mengambil sampel yang lebih representatif. Bagi banyak rumah sakit, tarif INA-CBG saat ini sangat membebani biaya operasional, ditambah tidak optimalnya pencairan klaim oleh BPJS Kesehatan.

Semua komponen itu harus didukung oleh sistem informasi yang adekuat. Sayangnya, sistem informasi yang tersedia tidak memadai, fragmentatif, dan tidak terkoneksi antarprogram atau instansi sehingga berimbas negatif terhadap efektivitas dan efisiensi penyediaan layanan kesehatan serta keterlambatan dan ketidaktepatan penetapan keputusan strategis.

Untuk itu, perlu pemimpin yang kuat dan memahami filosofi JKN untuk menyusun strategi dan tahapan ke depan. Semua pemangku kebijakan terkait JKN harus mampu duduk bersama.

Kesehatan tidak boleh lagi dipandang sebagai prioritas rendah, apalagi sekadar komoditas politik menjelang pemilihan presiden demi menaikkan citra dan elektabilitas. Jangan sampai miskoordinasi terulang kembali. Presiden tidak boleh lagi lepas tangan dan menganggap JKN sekadar urusan menteri dan direktur BPJS Kesehatan. Ia harus menjadi panglima yang menegaskan ke mana JKN akan dibawa.

BPJS Kesehatan pun harus berkoordinasi erat dengan Kementerian Kesehatan, perhimpunan profesi, asosiasi rumah sakit dan klinik, serta masyarakat agar kebijakan yang dikeluarkan tepat dan tidak lagi menimbulkan kontroversi.

Masa depan JKN ditentukan dari seberapa baik dan kuat intensi pemerintah meningkatkan kualitas JKN di tahapan lima tahun keduanya ini.