Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 Januari 2019

PEREKONOMIAN: Mitigasi Perlambatan (A PRASETYANTOKO)

KOMPAS/HERU SRI KUMORO
A Prasetyantoko

Sejak krisis keuangan 2008, situasi global terus mengalami fluktuasi yang dinamis diiringi berbagai disrupsi di hampir semua aspek. Bahkan setelah lewat satu dekade, masa depan perekonomian justru makin tak pasti.

Laporan rutin semi tahunan Bank Dunia Global Economic Prospect edisi Januari 2019 diberi judul Darkening Skies. Langit perekonomian global makin mendung akibat ketidakpastian tak hanya di bidang ekonomi namun juga konstalasi perdagangan yang berisiko mengakhiri era-multilateralisme. Arah globalisasi tengah diuji.

Ada tiga tantangan global penting tahun ini, yaitu perlambatan perdagangan, kenaikan suku bunga negara maju serta fluktuasi harga minyak dan komoditas lain. Di antara tiga faktor tersebut, dua faktor memiliki efek rambatan tinggi pada perekonomian kita, yaitu kenaikan suku bunga global dan fluktuasi harga minyak.

Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan global 2019 dari 3 persen menjadi 2,9 persen. Sejak dua tahun terakhir, kurva pertumbuhan global terus menyusur ke bawah. Pada 2017 pertumbuhan mencapai 3,1 persen, turun menjadi 3 persen pada 2018 dan kembali merosot pada 2019 menjadi 2,9 persen. Bahkan perlambatan masih berlanjut pada 2020 menjadi 2,8 persen. Tidak hanya itu, proyeksi pertumbuhan masih mungkin terus direvisi ke bawah, akibat ketidakpastian ini.

Selain perlambatan, pertumbuhan global juga dibayangi risiko divergensi atau pola pertumbuhan yang tak sinkron. Pola yang mirip pernah terjadi setelah krisis 2008, di mana terjadi pemisahan pola pertumbuhan negara maju dan berkembang. Kali lain, fragmentasinya makin luas, sehingga koordinasi kebijakan semakin sulit.

Pertumbuhan negara maju pada 2019 diperkirakan 2 persen dan menjadi 1,6 persen pada 2020. Negara maju tumbuh rendah, cenderung turun dan melambat relatif cepat. Sebab utamanya, perlambatan perdagangan global yang berdampak pada mandegnya sektor produksi dan industri di negara maju. Dan karena itu mereka dipaksa mencari sumber pertumbuhan baru, salah satunya melalui inovasi teknologi secara intensif. Itulah mengapa disrupsi teknologi begitu masif pada era-paska krisis global. Bagaimana momentum ini bisa dimanfaatkan untuk memaksimalkan potensi domestik?

Tantangan Domestik

Berita baiknya, meski saat ini pertumbuhan domestik melambat dan bahkan stagnan, namun tak berada pada siklus menurun. Kita mengalami perlambatan pertumbuhan, namun bukan penurunan. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen pada 2019 atau sama dengan pertumbuhan tahun ini. Dan pada 2020 kembali naik menjadi 5,3 persen.

Jika negara maju terus merosot dalam jangka menengah, perekonomian negara berkembang seperti Indonesia masih memiliki potensi tumbuh, meski tak secepat sebelumnya. Kuncinya mengelola stabilitas di tengah tekangan eksternal serta memaksimalkan potensi pertumbuhan domestik.

Laporan tiga bulanan Bank DuniaIndonesia Economic Quarterly edisi Desember 2018 bertajuk "Memperkuat Daya Saing". Laporan ini menjelaskan, memasuki akhir 2018 tekanan eksternal cenderung surut, setelah kurang lebih 10 bulan pertama sepanjang tahun lalu begitu intensif. Bagi perekonomian kita, tekanan eksternal yang paling krusial adalah arus modal keluar dan kenaikan harga minyak. Arus modal keluar telah menekan nilai tukar dan mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah.

Akibat tekanan ini, rupiah sempat terdepresiasi mencapai kisaran Rp 15,200 per dollar AS, dan imbal hasil obligasi sempat mendekati 8 persen atau lebih tinggi dari Filipina yang masih di bawah 7 persen. Sementara kenaikan harga minyak telah menaikan beban impor dan memperburuk defisit transaksi berjalan.

Selain tekanan yang sifatnya jangka pendek, tekanan eksternal juga merambat melalui jalur perdagangan dan investasi. Perlambatan global telah membuat potensi ekspor kita melemah, sementara Penanaman Modal Asing (PMA) juga surut. Dan karena itu perlu upaya struktural agar ekspor dan investasi tetap memberi sumbangan pada pertumbuhan. Apalagi, konsumsi yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan domestik mulai melambat.

Tantangan global masih sama, meski tekanannya relatif reda. Kenaikan suku bunga The Fed bukan tak terjadi, hanya ditunda. Jadi masalah bukan hilang, hanya bergeser saja. Meski harga minyak turun, bukan berarti tak berisiko naik lagi. Oleh karena itu, diperlukan konsolidasi kebijakan sesegera mungkin agar ketika suku bunga dan harga minyak kembali naik perekonomian kita tak tertekan begitu dalam. Bagaimana caranya?

Pertama, memperbaiki transaksi berjalan dengan cara meningkatkan ekspor produk manufaktur. Pada akhir 2018 lalu, meski transaksi pembayaran masih surplus, bukan berarti kita aman dari tekanan, karena surplus ditopang arus modal jangka pendek. Jika suku bunga global naik, modal akan mengalir keluar lagi. Sumber masalah masih sama, yaitu transaksi berjalan dengan defisit relatif lebar. Cara ideal menutupnya adalah meningkatkan ekspor unggulan yang bukan berbasis komoditas, mengingat harga komoditas berfluktuasi.

Kedua, mengurangi impor bahan-bakar minyak (BBM) dengan menambah komponen domestik dari 20 menjadi 30 persen.  Implementasinya perlu dipercepat mengingat harga bisa naik setiap waktu.

Ketiga, ketergantungan modal asing perlu dikurangi dengan cara masif dan cepat. Pendalaman sektor keuangan melalui penerbiatan berbagai instrumen keuangan baru serta memperluas distribusinya, termasuk melibatkan sektor teknologi finansial, perlu diakselerasi. Sementara inklusi keuangan harus menjadi agenda nasional yang dipimpin langsung presiden dengan mensinergikan kebijakan di Kementrian Koordinator Perekonomian, Kementrian Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Inovasi di bidang teknologi finansial perlu dimaksimalkan dengan melibatkan sektor swasta dengan pengawasan yang proporsional.

Keempat, menarik investasi asing langsung agar sektor industri domestik bergerak lebih cepat. Harus diakui, sumber pertumbuhan ekonomi domestik masih relatif terbatas, sehingga perlu dukungan modal asing yang bersifat jangka panjang. Konflik perdagangan AS-China menimbulkan relokasi industri cukup masif dari China. Peluang ini harus dimanfaatkan agar perekonomian domestik semakin terintegrasi dalam sistem rantai pasok regional, khususnya lewat beberapa industri yang direlokasi dari China. Dalam hal ini, harus ada kaitan antara peningkatan PMA dengan strategi industrialisasi domestik.

Langit perekonomian global makin mendung, risiko hujan lebat meningkat. Kita beruntung tersedia waktu untuk memperbaiki atap dan dinding perekonomian, agar tak roboh diterpa hujan lebat disertai badai. Namun, waktu yang tersedia tak banyak. Sayangnya kita tengah sibuk dengan Pemilu. Menyadari besarnya tantangan global, tak ada kemewahan untuk berlarut dalam perebutan kekuasaan. Siapapun yang menang akan menghadapi persoalan yang sama. Meski mereda, tantangan tetap ada. Dan kesempatan perbaikan hanya hari ini, karena hari esok serba tak pasti. Maka, jangan terlambat beraksi.

Kompas, 15 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger