Menulis pada 2015, Indonesianis terkemuka Marcus Mietzner mengklaim bahwa baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo (Jokowi) menganut ideologi populisme dalam kampanye presidensial masing-masing pada 2014. Dalam hal itu, Indonesia berbeda dengan Venezuela, Thailand, India, dan Yunani. Di negara-negara itu, hanya satu tokoh populis yang muncul sebagai penantang kemapanan: Hugo Chavez di Venezuela, Thaksin Shinawatra di Thailand, Narendra Modi di India, dan Alexis Tsipras di Yunani.

Dalam kasus Indonesia, Mietzner menyebut Prabowo seorang "populis klasik" yang mengutuk demokrasi Indonesia selaku "rusak dan tak ter-reparasi". Perusahaan-perusahaan asing diserang sebab mereka "merenggut kekayaan alam Indonesia tanpa kompensasi yang wajar".

Eksploitasi ini dilakukan bersama elite domestik yang telah menjadi kroni mereka.  Persekongkolan elite asing dan dalam negeri ditentangkan dengan tuntutan rakyat biasa, terutama orang miskin, tak terdidik, dan tinggal di desa. Untuk mengatasi krisis ini, Prabowo menjanjikan "kepemimpinan kuat" yang memberi kesan ia akan bertindak langsung secara anti-demokratis.

Mietzner dan Case

Kampanye Jokowi disebut populism-lite, populisme ringan, atau suatu bentuk baru populisme. Berbeda dengan Prabowo, Jokowi tidak bersikap anti-demokratis, tetapi menawarkan perubahan di dalam kerangka lembaga demokratis pasca-Reformasi. Kedua, ia berjanji akan "merangkul semua aktor dan kelompok dan tidak bermusuhan dengan siapa pun". Terakhir, Jokowi juga menghindar dari retorika anti- asing untuk memobilisasi massa pemilih. Sebagai gantinya, ia manfaatkan citra lamanya selaku rakyat biasa serta menjanjikan berbagai kebaikan dalam program-program kesehatan dan pendidikan nasional. Hal itu dimaksudkan untuk mengingatkan pemilih kepada keberhasilannya sebagai wali kota Solo dan gubernur Jakarta.

Pandangan Mietzner ditampik William Case, pengamat kawakan Asia Tenggara dari City University of Hong Kong, yang lebih melihat Jokowi sebagai seorang pragmatis, sentris, dan penenang pemilih ketimbang pengerah massa secara populis.  Kesimpulan Case: menggambarkan Jokowi selaku penganut populisme berarti "menghapuskan dari konsep itu seluruh aset analitis yang bermanfaat untuk menjelaskan fenomena tersebut".

Saya sendiri lebih menyetu- jui penggambaran Case ketimbang Mietzner.  Namun, saya maklumi kesan Mietzner bahwa kampanye Jokowi menunjukkan beberapa ciri populisme, baik dalam tema-tema substantifnya maupun watak pribadi beliau sebagai capres. Yang mungkin kurang dipahami Mie- tzner adalah bahwa ciri-ciri itu berakar dalam sekali dalam budaya politik Indonesia. Persisnya: dalam ideologi yang diciptakan Soekarno selaku pendiri bangsa yang berkarisma.

Sebagai seorang populis klasik, meminjam label Mietzner, Soekarno mengklaim bahwa ia sendiri mewakili general will atau kemauan umum. Marhaenisme, yang mengacu kepada petani kecil sebagai dasar visi sosio-ekonominya, merupakan pengejawantahan ideologisnya. Kapitalisme dan imperialisme adalah musuh bebuyutannya.

Untuk menaklukkannya, Soekarno bertindak sendiri setelah mengebiri lembaga-lembaga pemerintahan dan politik dalam negeri.

Sebagaimana kita semua ketahui, akibat tindakan Soekarno pada 1965 adalah runtuhnya ekonomi dan politik dalam negeri dan terputusnya hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat dan non-komunis lainnya. Kekuasaan diambil alih oleh Soeharto, yang memerintah bersama tentara selama lebih dari 32 tahun. Ekonomi bertumbuh terus, hampir 8 persen per tahun dari 1969 hingga 1997, antara lain berkat terpulihnya keterbukaan ekonomi Indonesia kepada pasar dunia.

Sejak 1998 sampai kini, para pentolan Reformasi menolak kediktatoran tentara, tetapi mengagumi keberhasilan ekonomi Orde Baru, termasuk keterbukaannya kepada ekonomi dunia. Mulai dengan BJ Habibie (1998-1999), tak ada presiden atau calon presiden yang tidak meyakini betapa keberhasilannya bakal diuji para pemilih oleh tingkat pertumbuhan yang tercapai selama masa jabatannya. Dalam perkataan lain: ukuran utama kebijakan ekonomi adalah sukses Orde Baru.

Pada waktu yang sama, cita- cita dan bahasa Soekarno serta para pendiri lainnya tetap hidup subur dalam hati sanubari bangsa. Pengaruh Pak Marhaen, meski namanya jarang disebut, tetap nyata dalam keprihatinan para politisi dan pengamat terhadap kesenjangan kaya-miskin yang semakin lebar. Motivasi orang dan negara asing tetap dicurigai, seperti kita lihat hari-hari ini dalam hubungan China dan Indonesia yang kian bersengketa.

Penerusan konflik lama

Namun, menurut saya, pengaruh dan kecurigaan itu lebih baik dimengerti bukan dalam rangka letupan populisme masa kini, seperti sedang terjadi di sejumlah negara lain, termasuk Amerika Serikat. Yang lebih tepat dalam kasus Indonesia: penerusan konflik lama dengan kosakata politik lama antara tujuan-tujuan yang sama-sama mulia, tetapi kadang-kadang berbenturan, terutama antara kemerdekaan nasional, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Dalam konflik itu, sejak pemilu masa Reformasi pertama pada 1999 sampai kini, hampir setiap calon presiden berkampanye seperti Soekarno, tetapi kalau menang, memerintah seperti Soeharto, dalam dua pengertian. Pertama, ia mengangkat para ekonom profesional kepada jabatan-jabatan kunci, terutama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, untuk menjamin sejauh mungkin penerusan laju pertumbuhan yang cukup tinggi untuk dipilih kembali. Kedua, ia mengangkat menteri dan pejabat lain yang akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan proteksionis, dalam pengertian melindungi sejumlah golongan atau seluruh bangsa dari dampak keterbukaan pasar.

Dari semua presiden demokratis, hanya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang tidak menghormati keseimbangan ini.  Hampir semua menteri dan pejabat yang diangkat beliau bersikap dan bertindak proteksionis, suatu hal yang waktu itu cukup mengkhawatirkan.  Menjelang Pilpres 2019, dan mengingat bahwa kedua petaruh sedang (satu kali lagi, seperti 2014) berkampanye seperti Soekarno, sejauh mana bisa kita harapkan bahwa mereka akan memerintah seperti Soeharto?

R William Liddle Pemenang Anugerah Kebudayaan 2018, Guru Besar Emeritus Ilmu Politik Ohio State University, Columbus, Ohio (AS)


Kompas, 15 Januari 2019