Teknologi memberi kita kemudahan, termasuk dalam bidang keuangan. Dompet kita tidak lagi tebal berisi uang kertas tunai. Isi dompet kita mungkin hanya kartu kredit, kartu debit, dan kartu e-money. Bahkan, sebagian uang pun tidak lagi kasatmata karena berada dalam ponsel pintar.

Beberapa tahun terakhir, kemajuan teknologi komunikasi itu melahirkan produk keuangan yang kita kenal dengan sebutan layanan jasa pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi.

Kita tidak perlu lagi datang ke suatu kantor untuk meminjam uang dalam jumlah tertentu. Administrasinya pun cukup diselesaikan lewat komunikasi digital. Pendek kata, produk teknologi finansial ini benar-benar mempermudah kita mendapatkan pendanaan.

Hanya saja, perubahan yang begitu cepat membuat kita mendadak gagap, tidak siap dan tidak mengetahui secara paripurna bagaimana teknologi finansial ini bekerja. Sebagian di antara kita, sangat mungkin, memiliki pengetahuan yang tertinggal jauh di belakang perkembangan teknologi ini.

Kecepatan dan kemudahan sarana pinjam-meminjam berbasis teknologi ini tidak dibarengi dengan pengetahuan yang memadai. Mungkin juga kita terlena dengan segala rupa kemudahan itu sehingga kita tidak memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan.

Survei nasional literasi keuangan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016 menemukan fakta bahwa pengetahuan masyarakat mengenai lembaga keuangan atau indeks literasi keuangan hanya 29,7 persen. Dengan kata lain, pada setiap 100 orang penduduk Indonesia, sekitar 29 orang memiliki tingkat pengetahuan sangat bagus tentang lembaga keuangan.

Indeks literasi keuangan ini meningkat dari tiga tahun sebelumnya (2013) yang hanya 21,8 persen. Namun, indeks literasi itu tetap bisa dikatakan belum memadai.

Jika dibedah per provinsi, survei OJK ini memperlihatkan bahwa hanya ada 13 provinsi yang indeks literasi keuangannya di atas indeks nasional 29,7 persen, yakni seluruh Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, serta Kalimantan Timur.

Tahun 2019 ini, untuk ketiga kalinya, OJK akan melakukan survei nasional literasi keuangan untuk mengukur indeks literasi masyarakat. Mengingat program edukasi yang masif yang telah dilakukan OJK selama ini, seyogianya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan meningkat. Namun, tebakan terbaik kita, indeks literasi itu kemungkinan besar masih akan berada di bawah indeks inklusi keuangan.

Indeks inklusi keuangan adalah keadaan yang mencerminkan akses yang dimiliki oleh masyarakat—termasuk kalangan pelaku bisnis—terhadap produk dan layanan jasa keuangan yang tersedia secara berkelanjutan dan teregulasi dengan baik.

Data dari survei nasional literasi keuangan OJK tahun 2016 menyebutkan, sekitar 69 orang dari setiap 100 orang penduduk telah mengakses lembaga keuangan formal. Angka ini meningkat dari posisi tiga tahun sebelumnya yang sebesar 59,7 persen, atau naik 8,1 persen.

Fakta tentang tingkat literasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan indeks inklusi tersebut menjelaskan dengan terang benderang bahwa kemudahan mengakses lembaga keuangan formal yang ada saat ini tidak diikuti dengan pemahaman memadai tentang seluk-beluk produk keuangan yang ditawarkan.

Risiko dan manfaat

Padahal, selain manfaat yang didapat, para peminjam, pertama dan terutama, harus pula memahami risiko, kewajiban, dan biaya-biaya yang timbul saat berinteraksi dengan pembiayaan teknologi finansial (tekfin).

Masih dari survei yang sama, OJK menemukan bahwa masyarakat cenderung tidak mengetahui risiko yang timbul dari satu produk keuangan. Tak mengherankan, banyak kasus konflik terjadi antara konsumen dan lembaga keuangan.

Di atas segalanya, ini yang penting, konsumen harus memiliki tujuan keuangan. Misalnya, meminjam untuk apa? Berapa banyak yang perlu dipinjam? Kita harus mengetahui batas kemampuan untuk meminjam.

Dengan kata lain, pinjamlah sesuai kebutuhan. Jangan karena kemudahan untuk mengakses pendanaan berbasis teknologi (hanya dengan membuka aplikasi di ponsel atau masuk ke web portal) membuat kita kehilangan kontrol.

Harus dibedakan antara kebutuhan dan keinginan. Tanpa itu, maka kemungkinan besar akan terjadi gagal bayar. Nah, biasanya, jalan keluar dari masalah ini adalah meminjam lagi di perusahaan lain.

Jika pinjaman dari perusahaan tekfin lain tidak digunakan sepenuhnya untuk membayar utang di perusahaan sebelumnya, melainkan sebagian dipakai lagi untuk keperluan lain, maka yang terjadi adalah situasi gali lubang tanpa tutup lubang. Akhir dari cerita ini, mudah ditebak, seluruh pinjaman akan macet dengan bunga terus bertambah.

Belakangan ini, banyak konsumen, yang menurut laporan media, mendapat teror dalam proses penagihan utang. Hal itu sangat mungkin disebabkan mereka menunggak pembayaran.

Cara menagih utang yang kasar dan tidak beretika tentu saja tidak dibenarkan dan sebaiknya dilaporkan kepada OJK dan polisi. Namun, hal itu tidak akan terjadi jika perjanjian perdata antara peminjam dan pemberi pinjaman (perusahaan tekfin) berjalan lancar.