Kampanye bak Tsunami
Ada banyak teori komunikasi yang dapat kita lihat mendekati Pilpres 2019. Sebagai anggota masyarakat, kita perlu bijak menyikapinya karena sejumlah pesan bertujuan mendorong reaksi, tidak mungkin diabaikan.
Salah satu wujud komunikasi pilpres adalah kampanye, suatu gelombang komunikasi yang terus mengalir melalui berbagai saluran di ruang publik, seperti pasar, pertemuan, pembukaan acara, gelar wicara, debat di televisi, media sosial, unjuk rasa, pamflet, bahkan momen keagamaan.
Topik, konteks, dan konten diangkat melalui gelombang komunikasi yang mengalir silih berganti, mendorong pembahasan hingga perdebatan tanpa melihat ruang dan waktu. Akhirnya, inti pesan dan tujuan komunikasi itu malah kabur, apalagi jika kemudian hanya bersifat mengolok-olok, menyakiti hati, dan hoaks.
Masyarakat suatu saat akan lelah menghadapi gelombang informasi berlebih ini. Siapa pun yang terkena, menjadi "korban" gelombang komunikasi yang saya istilahkan sebagai kampanye "tsunami". Ini adalah tahap awal kreasi krisis yang menghasilkan banyak korban.
Berbeda dari bentuk kampanye pencitraan, maka ini menurut pengamatan saya kampanye bak tsunami bertujuan menggeser perspektif kita, tidak ekstrem, tetapi membuka ruang kemungkinan pemikiran lain. Memanfaatkan kelelahan publik yang menjadi korban komunikasi, maka emosi massa menjadi sasaran berikutnya.
Rasionalitas dibabat, perasaan dilukai hingga meninggalkan bekas. Dampak reaksinya bisa kita lihat, massa pada berbagai tingkatan menuntut kejelasan.
Sekalipun kemudian ada gelombang-gelombang komunikasi lanjutan berupa penjelasan dari pihak berwenang (misal penanggulangan hoaks surat suara yang sudah dicoblos), ruang pikir dan rasa massa sudah dipengaruhi. Inilah tahap kedua kampanye tsunami.
Tahap akhir dari kampanye ini adalah menyusupkan pesan penutup untuk mendorong re-kreasi keyakinan seseorang. Dengan kelelahan yang dialami, tidak mustahil seseorang berpikir ulang tentang apa yang ia yakini.
Karena pada intinya semua ingin segera keluar dari kelelahan ini. Inilah tujuan kampanye ala tsunami yang manipulatif, mengabaikan rambu etika dan hukum.
Ardhana Bayurindra Biran Pengamat Komunikasi, Cireundeu,Tangerang Selatan
Dana Abadi Bencana
Tak putus-putusnya negeri tercinta didera bencana. Tahun 2018, tiga bencana besar melanda Tanah Air. Gempa Lombok NTB (29/7/2018), gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Palu-Donggala, Sulteng (28/9/2018), dan terakhir tsunami di Selat Sunda (22/12/2018).
Musibah-musibah ini selalu menyisakan penderitaan bagi rakyat. Korban jiwa, harta benda, dan fasilitas publik luluh lantak diterjang bencana.
Sesuai kajian InaRisk oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian ekonomi akibat bencana Rp 30 triliun tiap tahun. Gempa Lombok, menurut catatan BNPB, kerugian Rp 7,45 triliun lebih.
Gempa Palu-Donggala Rp 13,82 triliun, dan terakhir tsunami Selat Sunda Rp 15,9 triliun. Untuk tiga bencana ini saja, kerugian hampir Rp 40 triliun.
Dalam situasi perekonomian nasional yang dalam tekanan berat seperti sekarang, beban keuangan negara bisa dipastikan berat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan terobosan agar ke depannya beban keuangan negara diperingan.
Ada dua upaya yang bisa dilakukan: menghimpun dana abadi bencana dan mendorong partisipasi masyarakat dalam paket asuransi bencana, terutama untuk kawasan rawan dan rentan bencana.
Indonesia berdiri di atas pertemuan lempeng dunia dan berada dalam kawasan ring of fire Pasifik. Untuk itu, dibutuhkan mitigasi, keandalan tanggap darurat, dan tentunya dana abadi bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar