Tidak hanya di Indonesia, polarisasi politik juga terjadi di negara-negara maju yang sudah lama menerapkan demokrasi, seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris, dan Australia.

Akar dan tingkat polarisasi politik berbeda-beda.  Polarisasi politik dalam pemilu legislatif lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan eksekutif: presiden, gubernur, bupati/wali kota, dan kepala desa. Rendahnya polarisasi politik pemilu legislatif dipengaruhi oleh deideologi partai politik dan konvergensi sosial, politik, dan keagamaan.

Agama merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam polarisasi politik. Dengan tingkat keberagamaan yang tinggi, bangsa Indonesia adalah masyarakat yang religion-centris: melihat semua hal dari perspektif agama, mudah terbakar, dan sensitif. Walaupun terjadi pada semua agama, polarisasi politik di tubuh Muslim begitu kuat dan jelaga. Faktor yang memengaruhi adalah jumlah yang besar, tingkat kemajemukan internal yang tinggi, dan kematangan berdemokrasi yang rendah. Polarisasi politik keagamaan tidak hanya terjadi antara Muslim dan non-Muslim, tetapi justru di antara sesama Muslim.

 

Politisasi agama

Polarisasi politik Muslim dalam Pilpres 2019 menguat dan mengkhawatirkan dibandingkan dengan tiga pilpres sebelumnya. Umat Islam terpolarisasi dalam kutub keislaman yang sebenarnya sudah klise dan tak lagi relevan. Isu-isu seperti modernis-tradisionalis, salafi-salafiyyah, radikal-liberal, islamis-nasionalis, Muhammadiyah-NU, dan eksklusif-pluralis dibangkitkan kembali dengan resonansi ekonomi: pribumi-asing, sosialis-kapitalis, alit-elite, dan rakyat-konglomerat.

Faktor utama yang memengaruhi polarisasi politik adalah politisasi agama di mana agama ditafsirkan dan secara sistematis dipergunakan untuk kendaraan politik kekuasaan. Dalih  dan dalil  agama dijadikan referensi teologis memenangi pertarungan politik.  Politisasi agama begitu subur dan efektif karena faktor-faktor internal dan eksternal umat Islam.

Dalam diri umat Islam terdapat kelompok Islam kafahyang berkeyakinan dan berpandangan integratif. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, mengatur semua bidang kehidupan, dan merupakan satu kesatuan antara agama (al-din), kemasyarakatan (al-dunya)dan negara/pemerintahan (al-daulah). Mereka adalah aspiran partai Islam, formalisasi syariah, dan negara Islam yang anti-Pancasila, semua perundang-undangan, dan sistem politik di luar Islam. Faktor internal ini masih cukup kuat tertanam dan setiap saat tumbuh bersemi dalam iklim politik yang kurang berpihak pada umat Islam.

Pertumbuhan kelompok Islam kafah ditandai oleh kelahiran, reinkarnasi, atau transformasi konservatisme politik, agama, dan kebudayaan. Kelompok konservatif berusaha meyakinkan umat bahwa Islam dan Muslim berada dalam ancaman. Jika lengah dan lemah, Muslim bisa kalah dan Islam akan punah. Kelompok konservatif secara canggih menggunakan berbagai media dan memanfaatkan iklim kebebasan informasi dan keterbukaan politik memproduksi, mereproduksi, dan mengapitalisasi ortodoksi Islam. Sebagaimana ditulis Carool Kersten (2018), sejak Reformasi umat Islam terlibat dalam hiruk pikuk perebutan wacana antara kelompok progresif dan reaksioner. Pergulatan wacana terjadi di mimbar khotbah, pengajian, penyusunan undang-undang, dan kepemimpinan nasional.

Kelompok konservatif semakin percaya diri di tengah pemerintahan dan kepemimpinan yang lemah serta aparatur keamanan dan penegak hukum yang gamang menegakkan peraturan. Faktor eksternal ini turut memengaruhi kebangkitan aktivisme politik Islam. Beberapa pihak menilai, aksi 411 dan 212 tak sekadar konsolidasi kelompok konservatif tetapi merupakan arus baru gerakan Islam sebagai "alternatif" atau "lawan" dua arus utama (Muhammadiyah dan NU) yang dianggap rapuh, liberal, dan tunduk kepada pemerintah. Konservatisme kian mendapatkan tempat di tengah kemenangan politik kelompok konservatif Kristen (Eropa, AS), Hindu (India), Buddha (Myanmar) dan Yahudi (Israel).

Faktor ekternal lain adalah residu Pilkada DKI 2017 dan rivalitas politik Joko Widodo-Prabowo Subianto. Koalisi partai yang mengusung Ahok-Djarot dan Anies- Sandi bersaing kembali di arena yang lebih tinggi. Ibarat sepak bola, pilpres adalah tanding ulang (rematch) partai el classico atau derbi Jokowi-Prabowo. Isu-isu politik-keagamaan direproduksi kembali secara kreatif dan masif melalui medsos. Pihak Jokowi menengarai pihak Prabowo memproduksi konten hoaks sebagai sarana kampanye negatif dan kampanye hitam.

Medsos merupakan faktor eksternal paling berpengaruh terhadap polarisasi politik dan membahayakan persatuan. Michael Erbschloe (2019: 186) dalam Extremist Propaganda in Social Media: A Threat To Homeland Security menjelaskan 10 alasan mengapa medsos menjadi pilihan utama dalam propaganda berbagai ideologi: blissfulness, easy to understand, laziness, repetition, familiarity, consistency, lack of knowledge, confusion, group expectation, peer pressure. Sebagian menganalogikan "perang tagar" laksana Perang Badar. Dalam konteks Pilpres 2019, Perang Badar dimunculkan dua kali dalam pernyataan Amien Rais dan doa Neno Warisman di Munajat Nasional 212.

Kesadaran politik

Pilpres merupakan peristiwa politik biasa. Dalam perspektif Islam, politik merupakan masalah muamalah, bukan akidah dan ibadah. Ini pandangan beberapa ormas Islam, termasuk Muhammadiyah dan NU. Sebagaimana disebutkan dalam "Masalah Lima dan Keputusan Muktamar Jakarta" (2000), Muhammadiyah memandang politik—termasuk pilpres—merupakan wilayah "muamalah duniawiah" yang di dalamnya manusia memiliki keleluasaan untuk mengembangkan sistem dan berpartisipasi sepanjang tidak bertentangan nilai-nilai Islam (ManhajGerakan Muhammadiyah, 2013). Yang diajarkan dalam Islam adalah prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan akhlak berpolitik, bukan bentuk negara, partai, sistem politik.

Presiden merupakan jabatan politik yang penting, tetapi bukan segala-galanya. Kekuasaan presiden tidak tak terbatas. Masa jabatan, kewenangan, dan kinerjanya dibatasi Konstitusi dan diawasi DPR. Presiden tak kebal hukum dan berkuasa mutlak. Sejak amendemen UUD 1945, kewenangan presiden berkurang dan harus berbagi peran dengan legislatif dan yudikatif.  Agak berlebihan jika kepemimpinan seorang presiden dikaitkan dengan eksistensi Islam. Semua capres beragama Islam. Bagaimanapun kualitas keislamannya mustahil seorang presiden bisa dan berani membuat kebijakan yang bertentangan dengan Islam. Selain bertentangan dengan Pancasila kebijakan yang merugikan atau tak sejalan dengan aspirasi Muslim sangat berpengaruh pada dukungan politik. Siapa pun yang terpilih dalam Pilpres 2019, Islam dan Muslim akan tetap menjadi faktor politik yang menentukan.

Polarisasi politik tak selamanya berakibat buruk. Menurut James Q Wilson (2005: 58), polarisasi politik dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perdebatan penting dan isu-isu publik. Namun, perselisihan politik terus- menerus berpotensi menurunkan kinerja pemerintah dan melupakan cita-cita bersama dalam bernegara. Polarisasi politik berpotensi menimbulkan segregasi umat. Cendekiawan Kuntowijoyo (2001: 325) menyatakan keberatan atas berdirinya partai-partai Islam karena bisa mengakibatkan terhentinya mobilitas sosial, disintegrasi umat, umat menjadi miopis, pemiskinan, runtuhnya proliferasi, dan alienasi generasi muda. Peringatan ini, tampaknya terjadi di tengah polarisasi politik umat Islam.

Pilpres adalah ikhtiar demokratis untuk memilih pemimpin terbaik yang mampu memimpin bangsa mewujudkan Indonesia sebagai negeri maju, bermartabat, adil, makmur. Karena itu, pilpres hendaknya dilaksanakan dengan keadaban, saling menghormati, mengutamakan persatuan bangsa di atas kehendak kekuasaan. Dalam ajaran Islam, sesuatu yang baik (al-khair) harus diraih dengan cara-cara baik dan benar (al-ma'ruf). Terlalu mahal jika karena pilpres umat terpecah belah. Sudah saatnya polarisasi dan ekstremisme politik dihindari untuk kemaslahatan umat dan bangsa.