KOMPAS/HERU SRI KUMORO

A Prasetyantoko
Rektor Unika Atma Jaya Jakarta

Adakah efek pemilihan umum presiden bagi perekonomian? Pada dasarnya, pergantian pimpinan merupakan proses alamiah biasa asal dilakukan secara konstitusional. Jadi, siapa pun yang memenangi pilpres tak akan memberikan efek kejutan berlarut. Kalaupun ada, hanya sesaat. Perilaku ekonomi akan segera menyesuaikan diri serta membentuk keseimbangan (tatanan) baru. Tak perlu cemas.

Sebaliknya, siapa pun yang terpilih menjadi presiden dan wakil presiden akan menghadapi situasi global yang mencemaskan. Laporan tiga bulanan Dana Moneter Internasional atau World Economic Outlook edisi April 2019 diberi judul "Growth Slowdown, Precarious Recovery".

Setelah 10 tahun krisis, perekonomian global justru semakin tak menentu. Setahun lalu, prospek perekonomian global masih cerah dengan proyeksi pertumbuhan 2019 sebesar 3,9 persen. Laporan terakhir menunjukkan, setelah beberapa kali direvisi, pertumbuhan global 2019 diperkirakan hanya 3,3 persen atau terendah sejak krisis 2007.

Beberapa faktor ditengarai menjadi pemicu, seperti konflik dagang Amerika Serikat (AS) dan China, tekanan perekonomian negara berkembang seperti Argentina dan Turki, disrupsi sektor otomotif di Jerman, kebijakan kredit ketat di China, serta normalisasi kebijakan moneter di hampir semua negara maju.

Perekonomian global akan tertolong dengan dua hal, yakni penyelesaian konflik perdagangan dan kebijakan moneter akomodatif di negara maju. Hal kedua jauh lebih mudah karena ada di dalam agenda domestik tiap negara. Itulah mengapa Presiden Trump ngotot minta bank sentral AS menurunkan suku bunga acuan agar perekonomian AS tak berbalik arah menuju resesi.

Kebijakan moneter akomodatif akan mendorong pertumbuhan di negara maju serta menjamin stabilitas sektor keuangan di negara berkembang. Sebenarnya, fokus utamanya adalah peningkatan produksi melalui investasi. Sayangnya, sektor produksi tak akan menggeliat jika perdagangan global masih represif seperti sekarang. Jadi, salah satu kunci ketidakpastian global ini terkait dengan resolusi konflik AS-China yang masih gelap. Pertanyaannya, kita bisa apa?

Agenda domestik
Di pasar modal, pilpres diyakini akan memberi efek signifikan. Sepekan menjelang pemilu serentak 17 April, pasar modal sepi, tetapi setelah itu diyakini akan naik. Apalagi jika hasil pilpres sesuai prediksi para analis, serta tak terjadi gejolak terkait hasil pemilu.

Hasil pilpres sering dikaitkan dengan efek di pasar modal. Pada Pemilu 2014, indeks harga saham gabungan (IHSG) yang pada awal tahun di level 4.274 meningkat menjadi 5.226 pada akhir tahun atau naik sekitar 22 persen.

Adapun Pemilu 2009 telah melambungkan IHSG dari level 1.355 menjadi 2.534 atau naik sekitar 87 persen. Sejak pemilu pertama setelah Reformasi hingga 2014, pemilu menimbulkan kenaikan indeks secara rata-rata sebesar 55 persen. Apakah pemilu menjadi faktor tunggal pendorong IHSG? Jawabannya sangat pasti, bukan.

Secara teknikal, pemilu pasti menimbulkan efek, tetapi secara fundamen pasar modal lebih mencerminkan kinerja aktual serta prospek dan proyeksi mendatang. Mungkin saja, terkait prospek dan proyeksi masa depan hasil pemilu akan relevan, tetapi pemerintah tak bisa serta-merta mengubah arah perekonomian secara drastis.

Perekonomian kita masih didominasi sektor konsumsi domestik, yang pada 2018 porsinya sekitar 55 persen, investasi 32 persen, dan pengeluaran pemerintah 9 persen. Sementara, aktivitas ekspor masih berkontribusi negatif, yang ditunjukkan dengan transaksi berjalan 2018 yang defisit cukup besar, sekitar 31 miliar dollar AS.

Pertumbuhan 2018 sebesar 5,17 persen kurang lebih mencerminkan pertumbuhan konsumsi domestik 5,05 persen. Dengan proporsi yang begitu besar, dinamika konsumsi domestik mendominasi dinamika perekonomian.

Sementara, proporsi pengeluaran pemerintah yang hanya 9 persen tak banyak berpengaruh. Peran pemerintah memang bukan menopang perekonomian, melainkan memberi arah serta meningkatkan kapasitas jangka panjang, melalui kebijakan anggaran dan kerangka regulasi.

Sejauh ini, kedua instrumen sudah dimainkan secara maksimal dalam rangka menavigasi perekonomian domestik dalam gelombang dinamika global. Meski tak memenuhi janji kampanye pertumbuhan 7 persen, Presiden Joko Widodo bersama timnya telah melewati fase sulit dan berhasil bertahan.

Atas alasan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia oleh sejumlah lembaga secara berturut-turut. Tak mudah menavigasi perekonomian kecil seperti Indonesia di tengah gejolak global. Lalu, ke depan, apa yang bisa dimaksimalkan?

Selain konsumsi domestik, pilar pokok lain adalah investasi. Maka, sektor produksi dan investasi harus menjadi fokus penting pemerintah ke depan, siapa pun presidennya. Untuk tumbuh di atas 6 persen, dibutuhkan peran investasi yang lebih tinggi dari 32 persen. Paling tidak, kita butuh proporsi investasi dalam perekonomian 35-40 persen.

Untuk meningkatkan investasi diperlukan modal besar, baik dari sumber internal (tabungan domestik) maupun eksternal (investasi asing). Rasio tabungan terhadap produk domestik bruto (PDB) kita termasuk terendah, sekitar 30 persen pada 2018, jika dibandingkan dengan kondisi kawasan. Salah satu sebabnya, inklusi keuangan Indonesia masih berkisar 60 persen pada 2018. Kita juga sangat tertinggal soal inklusi keuangan ini.

Belum lagi peran sektor keuangan secara umum yang juga kecil. Secara umum, sektor keuangan kita masih dangkal dan modal domestik masih sangat terbatas untuk menopang pertumbuhan di atas 6 persen. Satu-satunya cara adalah mengundang investasi asing untuk turut memompa potensi ekonomi kita, yang pada akhirnya akan meningkatkan akumulasi modal domestik. Dengan kata lain, investasi asing akan menimbulkan efek pengganda yang positif bagi perekonomian domestik.

Janji pertumbuhan ekonomi tinggi dengan cara menutup diri dan anti-asing sungguh program kerja yang ganjil. Dengan peran kurang dari 10 persen, pemerintah hanya mampu memastikan investasi swasta, baik domestik maupun asing, merasa nyaman menambah skala usaha di Indonesia melalui investasi.

Itulah mengapa memperbaiki sistem logistik melalui pembangunan infrastruktur menjadi sangat penting. Hasilnya tak bisa dinikmati begitu saja, tetapi efek jangka panjangnya cukup jelas.

Harus diakui, tanpa mengaitkan langsung penyediaan infrastruktur fisik dengan strategi industri dan pengembangan investasi, alokasi pembangunan bisa saja salah sasaran. Agenda pemerintah adalah meningkatkan produktivitas dalam negeri agar investasi terus bergulir sehingga memaksimalkan potensi domestik.

Pendeknya, tak ada jalan pintas dan mudah menyelesaikan persoalan rumit perekonomian. Jangan pula berharap ada kejutan dari pilpres. Semua membutuhkan kerja keras agar arah pembangunan jangka panjang bisa terus terjaga meskipun situasi global kian tak pasti. Satu hal yang pasti, menggunakan hak suara memilih pemimpin merupakan langkah nyata untuk memastikan masa depan bangsa. Selamat melaksanakan pemilu dengan khusyuk.
A Prasetyantoko