Meskipun rasio investasi terhadap PDB telah mencapai tingkat pra-krisis keuangan Asia 1997 lagi pada tahun 2010, pertumbuhan PDB masih belum terangkat secara lebih kuat. Sebelum 1997, pertumbuhan PDB rata-rata di atas 8 persen. Namun, sejak berakhirnya masa siklus superkomoditas menjelang akhir 2011, pertumbuhan ekonomi stagnan dan hampir tak pernah bertahan di atas 6 persen. Apa yang pemerintah dan pembuat kebijakan dapat lakukan untuk mencapai kualitas pertumbuhan yang lebih tinggi ke depan? Kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnership/PPP) menawarkan salah satu solusi.

Dengan berfokus pada jenis investasi yang lebih produktif, seperti infrastruktur jalan tol, transportasi-penyimpanan- komunikasi (transport-storage-communications/TSC), logam-mesin-elektronik, listrik-gas-air (electricity-gas-water supply/EGW) dalam investasi PPP di beberapa bidang tertentu, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dapat terwujud. Reformasi struktural yang berkelanjutan di bidang financial deepening di sektor perbankan dan pasar modal, kemampuan manajemen proyek, serta regulasi dan persepsi atas berbagai risiko tetap penting untuk mendukung keberhasilan investasi PPP demi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Kemajuan PPP di Indonesia

Sejarah perkembangan PPP di Indonesia dimulai awal 1990-an, ketika proyek pertama dengan partisipasi swasta di sektor jalan tol dan energi (independent power plan/IPP) dilaksanakan. Di Indonesia, PPP mendapat lebih banyak perhatian pada 2005, menyusul dikeluarkannya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Sejak itu Indonesia berupaya terus-menerus melembagakan dan mempromosikan aturan tentang PPP dengan memperbaiki kerangka hukum PPP. Indonesia saat ini memiliki unit PPP di Kementerian Keuangan, project development fund (PDF) dan fasilitas penjaminan. Banyak peraturan baru juga telah diajukan. Sejauh ini terdapat total 127 proyek PPP sejak 1990 dengan total nilai investasi diperkirakan lebih dari 60 miliar dollar AS.

Perkembangan terakhir adalah terbitnya Perpres No 38/2015 yang memperkuat kerangka kerja PPP dengan perluasan cakupan dan perkenalan skema pembayaran kinerja sebagai sumber hasil investasi. Perluasan cakupan sektor PPP termasuk infrastruktur sosial, seperti perkotaan, pendidikan, pariwisata, olahraga, fasilitas kesehatan, dan perumahan. Daftar sektor-sektor PPP kini termasuk transportasi, seperti pembangunan jalan, rel kereta, pelabuhan, bandar udara, pengolahan air dan air limbah, limbah padat kota; energi seperti pembangkit listrik, transmisi dan distribusi daya, minyak dan gas; teknologi informasi dan komunikasi (TIK); serta infrastruktur sosial.

Selain memperluas cakupan, pemerintah juga memperkenalkan skema pembayaran kinerja selain metode pembayaran ke sektor swasta yang terlibat dalam proyek PPP. Skema pembayaran berdasarkan pada kinerja adalah pembayaran berkala ke sektor swasta oleh otoritas publik berdasarkan penyediaan layanan infrastruktur yang telah disepakati. Sementara dalam metode tradisional, sektor swasta menerima hasil investasi dengan membebankan biaya kepada pengguna akhir/masyarakat. Pembayaran berdasarkan kinerja tersebut mendorong investasi swasta saat infrastruktur dinilai kurang komersial.

Belanja investasi

Rasio investasi terhadap PDB terus meningkat sejak 1960-an, mulai dari satu digit hingga mencapai 34 persen dari PDB, tepat sebelum krisis keuangan Asia 1997. Rasio investasi kemudian menurun ke sekitar 20 persen dan bertahan pada sekitar angka tersebut selama satu dekade, hingga terjadi lompatan yang signifikan pada awal 2010. Sejak itu, rata-rata rasio adalah 32 persen. Periode meningkatnya rasio investasi terhadap PDB ditandai oleh pulihnya harga komoditas global serta meningkatnya berbagai proyek infrastruktur di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Investasi properti adalah jenis investasi yang dominan atau sekitar 75 persen dari total investasi, diikuti investasi mesin sekitar 13 persen, dan investasi kendaraan pada kisaran 6 persen. Investasi properti adalah pendorong penting pertumbuhan ekonomi, tetapi investasi di sektor ini mungkin tidak akan memberikan stimulasi pertumbuhan lebih tinggi lagi dibandingkan dengan investasi mesin dan kendaraan.

Meninjau data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kami mengamati bahwa lima bidang investasi langsung luar negeri (foreign direct investment/FDI) teratas berdasarkan sektor sejak 2010 terdiri dari bidang pertambangan, TSC, EGW, serta bahan kimia-farmasi. Kelima bidang FDI ini berkontribusi 50 persen lebih dari total FDI di Indonesia. Sementara lima bidang teratas pada investasi langsung dalam negeri (domestic direct investment/DDI) adalah industri makanan, TSC, EGW, pertanian dan perkebunan, serta konstruksi. Kelima bidang ini juga menyumbang 50 persen lebih dari total DDI sejak 2010.

Total dari lima FDI teratas mencapai 124 miliar dollar AS sejak 2010, sedangkan total dari lima DDI teratas diperkirakan 74 miliar dollar AS. Investasi langsung (direct investment) pada lima bidang teratas rata-rata 22 miliar dollar AS per tahun, dengan sekitar 41 persen dari investasi FDI dan DDI adalah sektor EGW dan TSC.

Kami berpendapat, terdapat sektor- sektor selain EGW dan TSC yang juga berpotensi dan dapat didorong oleh PPP sehingga akan mendukung pertumbuhan investasi produktif di Indonesia dan meningkatkan rata-rata PDB. Sektor- sektor itu termasuk industri makanan, kendaraan bermotor dan alat transportasi, serta pertanian dan perkebunan. Beberapa dari sektor itu sudah didominasi DDI. Dengan menyediakan infrastruktur dasar atau intermediate dari skema investasi publik dan kemudian dengan PPP, sektor-sektor itu dapat tumbuh lebih kompetitif dan pada saat yang sama lebih produktif serta mewujudkan pertumbuhan PDB yang berkualitas lebih baik dan berkelanjutan.

Industri-industri itu juga cukup menarik bagi FDI karena dapat lebih banyak mendukung ekspor yang memberikan keuntungan bagi posisi eksternal Indonesia, yaitu neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan yang positif yang memperkuat rupiah. Namun, industri-industri ini tetap menghadapi tantangan, yaitu kurangnya investasi dalam industri mesin dan kendaraan, di mana kekurangan investasi ini dapat dibantu dengan skema investasi PPP.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang ekspor-impor bahan mentah menunjukkan, dengan berfokus kepada industri yang memiliki konten lokal tinggi untuk ekspor, seperti makanan, kendaraan bermotor dan alat transportasi, serta pertanian dan perkebunan akan memberikan dukungan bagi kekuatan daya saing rupiah. Sebaliknya, industri-industri yang memiliki konten impor tinggi, tetapi menargetkan ke pasar domestik akan melemahkan daya saing rupiah. Dengan adanya situasi ini, Indonesia dapat memosisikan diri untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dengan menggunakan skema PPP dan berfokus kepada industri-industri yang memiliki konten lokal tinggi untuk ekspor.

Tantangan bagi implementasi PPP

Ada beberapa tantangan dalam implementasi PPP. Salah satunya keterbatasan kapasitas penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) untuk mempersiapkan studi proyek yang memadai guna menyoroti kendala dan rintangan. Pemerintah telah menangani ini dengan berbagai usaha, seperti memberikan dukungan lebih aktif bagi PJPK melalui hadirnya Unit PPP dan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) di Kemenkeu yang dapat memberikan nasihat untuk memastikan persiapan proyek berkualitas tinggi.

Tantangan lain, yaitu sektor publik di Indonesia yang terdesentralisasi dan digolongkan ke dalam berbagai tingkat lembaga pemerintah menimbulkan tantangan dalam berkoordinasi antarberbagai pemangku kepentingan pemerintah. Terakhir, tantangan implementasi PPP menurut penelitian Bank Dunia dan Kemenkeu adalah bank nasional perlu untuk meningkatkan kapasitas guna bersaing dalam pembiayaan infrastruktur PPP seiring dengan regulasi perbankan, kesenjangan antara estimasi dan persepsi terhadap berbagai risiko, proyek PPP yang tak memenuhi harapan pihak swasta dalam memberikan hasil investasi (return on investment/ROI) yang cukup dalam periode tertentu, kebutuhan yang sangat tinggi akan investasi infrastruktur, dan jangka waktu yang sangat terbatas untuk pembiayaan di mana proyek infrastruktur pada umumnya membutuhkan periode pinjaman lebih dari 15 tahun.

Meski Indonesia telah mencapai rasio investasi terhadap PDB di atas 30 persen, rasio tersebut masih bisa lebih tinggi lagi. Mengubah fokus investasi PPP di sektor-sektor yang berpeluang memiliki keunggulan dan daya saing tinggi dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Reformasi struktural yang berkelanjutan di bidang financial deepening di sektor perbankan dan pasar modal, manajemen proyek yang lebih baik, serta legalitas dan persepsi terhadap risiko tetap penting untuk dilakukan demi mendukung keberhasilan investasi PPP yang dapat meningkatkan kualitas serta keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.