Berbagai lembaga survei telah merilis hasil termutakhir di sejumlah media. Terlepas makin sengitnya persaingan dua kandidat paslon, terdapat fenomena menarik sekaligus memprihatinkan. Bahwa persentase pemilih yang belum menentukan pilihan (entah swing voters maupun undecided voters) belum banyak beranjak.
Besarnya jumlah pemilih yang masih menunggu diyakinkan itu, oleh sebagian analis dianggap masih membuka peluang bagi setiap paslon untuk saling mengungguli pada detik-detik terakhir.
Namun, di luar itu, tak kalah krusial justru memahami fenomena bagaimana sejumlah "pemilih menunggu" itu memaknai politik pada momen pilpres. Politik, bagi pemilih menunggu yang sebagian besar merupakan pemilih pemula itu, masih samar-samar terdefinisikan.
Fenomena golput
Secara pragmatis, potensi pemilih menunggu yang mengarah pada golput (tidak memberikan pilihan) dapat dipandang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon. Akan tetapi, tidak demikian jika kita memahami dari perspektif normatif. Bahwa potensi golput yang sekurang-kurangnya stagnan bahkan bisa meningkat itu, menandakan ada hal-hal yang belum tuntas dalam proses suksesi kepemimpinan kita. Mereka masih terus mencerna mosaik berita yang bertaburan di media-media, merangkainya secara otonom, mendiskusikan di berbagai media sosial (termasuk makin kondusifnya atmosfer untuk saling menghina) hingga akhirnya memutuskan untuk mendaratkan pilihan ataupun memilih untuk tidak memilih.
Politik, dalam proses pengindraan mereka, itu secara perlahan menemukan maknanya dan diinternalisasi dalam benak mereka. Lebih jauh, wajah demokrasi kita lambat laun tergambar dalam proses internalisasi politik tersebut.
Memang benar, sebagian pemilih menunggu itu terdapat pemilih berkarakter transaksional yang hanya berorientasi imbal balik material. Untuk kategori ini, walau keberadaannya sangat sulit dihindari, tak termasuk hitungan pembahasan. Pemilih pemula yang masih menunggu sebagaimana dimaksud ini adalah pemelajar pemula atas politik dan demokrasi kita.
Sayangnya, alih-alih mendapatkan asupan gizi politik dari para pemimpinnya, yang kental mewarnai justru peragaan kampanye yang kurang sehat. Sentimen primordial makin tebal, kebohongan, hipokrisi, jargon-jargon yang abstrak, hingga saling mengkriminalisasi lawan politik kepada pihak yang berwajib dengan tuduhan yang kadang terkesan mengada-ada.
Di sisi lain, proses kampanye pileg semakin sayup selain hanya menjamurnya baliho dan spanduk. Pemelajaran politik, ibarat orang menggumam, seolah hanya berlangsung dalam forum-forum seminar maupun perkuliahan, tetapi absen di ruang praktis politik. Bagi sebagian kaum idealis, fenomena golput diyakini dapat mereduksi kadar legitimasi pemimpin yang pada gilirannya juga mengurangi kualitas demokrasi. Namun, pandangan itu disanggah tak kurang masuk akal. Bahwa golput juga bagian dari upaya memperbaiki kualitas demokrasi.
Golput dianggap sebagai bentuk lain dari partisipasi warga atas kejenuhan politik dan ketiadaan tawaran atas masa depan politik yang lebih menyegarkan. Artinya, partisipasi politik diwujudkan dengan tidak memberikan pilihan.
Bahwa seruan untuk menggunakan hak pilih, alias tidak golput, kerap tidak berbanding lurus dengan fakta-fakta politik yang berlangsung, baik di tataran kandidat, para politisi di lingkarannya, tim sukses ataupun para loyalis buta.
Bagaimana mereka tertarik untuk memilih, sedangkan gambaran kasat mata menampakkan kontestasi politik yang kurang menarik? Kurang menarik karena defisitnya nilai-nilai kenegarawanan, kurang terlihatnya tawaran formula kelembagaan ataupun prosedural atas bangunan negara-bangsa Indonesia ke depan hingga abai atas komitmen memperbaiki kehidupan berbangsa yang kian retak di sana-sini.
Akibat sistem pemilu
Lebih jauh, fenomena golput, walaupun dalam konteks sebagai kritik atas struktur politik yang ada, dalam taraf tertentu juga tidak kebal dari kritik. Ia tidak mampu menggaransi perbaikan kualitas struktur politik karena logika demokrasi kita tidak membuka ruang bagi kekosongan kepemimpinan nasional. Taruhlah secara ekstrem angka golput paling banyak—walau kemungkinan ini sangat kecil—dibandingkan dengan perolehan suara kedua paslon, tetap saja pemenangnya bukan golput. Melainkan pasangan calon mana yang perolehannya lebih banyak dibandingkan dengan pasangan calon lain. Politik, walaupun dirasa para "golputer" sangat memuakkan, tetap terus berjalan seperti biasa.
Tidak dapat dimungkiri bahwa nuansa politik kita hari-hari ini tidak lepas salah satunya dari implikasi bangunan sistem pemilu yang hanya memungkinkan munculnya dua pasangan calon. Terutama semangat efisiensi penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden sehingga hanya satu kali putaran melalui pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden yang tinggi.
Walau ambang batas itu bukan pula satu-satunya penyebab mengapa kualitas pemilihan presiden dan wakil presiden tidak kunjung membaik melainkan terdapat variabel-variabel lain seperti minimnya keadaban (virtues) dan barangkali pula pengaruh masifnya penggunaan teknologi informasi untuk memobilisasi isu dan wacana. Sistem pemerintahan presidensial kita juga tak membuka ruang bagi capres independen dari parpol. Namun, proses pelembagaan sistem pemilu (termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden) masih terbuka untuk dievaluasi dan diperbaiki.
Berseiring dengan argumen ini, logika golput tampak hanya menjustifikasi bagian hilir dari proses pemilu kita, tetapi abai atas bagian hulu sistem pemilu kita. Artinya, fenomena arus golput terkesan hanya ekspresi reaksioner atas sejumlah residu dari pelembagaan kepemiluan kita yang memang terasa makin kering dan penuh ketegangan belakangan ini. Ia bukannya menawarkan alternatif solusi atas kekeringan dan ketegangan politik, tetapi justru menyediakan rute untuk melarikan diri dari politik. Alhasil, ketimbang golput, rasanya lebih masuk akal jika pilihan dijatuhkan ke kandidat yang paling sedikit risikonya, kalaupun terlampau sulit untuk memilih yang paling banyak kemanfaatannya.
Sebagaimana teori pilihan rasional, yakni maximizing profits minimizing risks. Artinya, kalaupun tidak dapat memaksimalkan kemanfaatan setidaknya meminimalkan risiko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar