Langganan Koran "Kompas"
Saya lahir dan besar di Desa Wedi, Klaten, Jawa Tengah. Saya pertama kali membaca koran Kompas saat SMP, ayah meminjam koran tetangga beberapa hari setelah terbit.
Kemudian ketika SMA di De Britto Yogyakarta, melalui majalah dinding dan berlanjut dengan patungan bersama dengan teman-teman satu kos.
Akhirnya saya berlangganan secara mandiri setelah bekerja tahun 1974. Saya bekerja berpindah-pindah dari Semarang, Surabaya, Bandung, Denpasar, Jakarta. Mulai tahun 2006 pensiun dan menetap di Solo. Saya tetap membaca koran Kompas yang telah menyatu di hati.
Namun, mengamati koran Kompas, akhir-akhir ini dapat saya sampaikan bahwa halaman berkurang. Dalam beberapa penerbitan, surat pembaca juga tidak ada, dan berita olahraga kadang tidak lengkap.
Kalau sampai akhirnya koran Kompas tidak bisa terbit lagi dalam bentuk cetak, saya ingin menyampaikan sumbang saran sebagai berikut.
Mengubah koran Kompas menjadi majalah Kompas dengan berlangganan secara langsung, terbit 1 (satu) minggu satu kali dan dikirim lewat ekspedisi Wahana (murah, Rp 7.000 per kilogram) langsung kepada pelanggan.
Pembayaran bisa dengan beberapa pilihan 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun, dan dibayar di muka. Jangan sampai kami yang sepuh-sepuh ini kehilangan Kompas. Demikian surat saya ini, apabila tidak berkenan dan kurang di hati, saya mohon maaf.
A Kadarmanto Randusari, Kartosuro, Solo
Catatan Redaksi:
Terima kasih kami atas kesetiaan Bapak Kadarmanto menjadi pembaca Kompas. Kami selalu mengupayakan yang terbaik untuk para pelanggan meski tidak mudah untuk saat ini. Surat Kepada Redaksi kami upayakan keteraturannya dan kami berterima kasih atas semua masukan yang berharga, termasuk untuk berita-berita olahraga.
Obat BPJS
Saya adalah peserta BPJS Kesehatan yang setiap bulan rutin kontrol ke dokter spesialis jantung di Rumah Sakit (RS) Sari Asih, Ciputat.
Setiap kontrol, obat yang diresepkan dokter selalu tersedia. Namun, dua bulan terakhir ada salah satu obat, yakni Nitrokaf Retard 5 mg, tidak lagi tersedia sehingga saya harus membeli sendiri. Menurut pihak RS, persediaan obat tersebut di rumah sakit sedang kosong karena belum dikirim oleh BPJS.
Ketika saya tanya sampai berapa lama, mereka bilang tidak tahu. "Kami sudah mengajukan beberapa bulan lalu, tetapi sampai sekarang BPJS belum juga mengirim," demikian penjelasan dari pihak rumah sakit.
Bagaimana BPJS Kesehatan? Mohon penjelasan mengenai hal ini. Terima kasih.
Arie Batubara Jl Mawar, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten
Halte di Cibubur
Saya setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh A Ristanto dalam Surat Kepada Redaksi berjudul "Halte Bus di Cibubur", Kompas 19 Maret 2019) mengenai "halte" bus Transjakarta yang tidak layak di kawasan Cibubur.
Sebagai titik pemberangkatan pertama, Cibubur tidak mempunyai halte. Yang ada hanyalah tenda darurat. Saya selalu menyaksikan pemandangan manusia yang mengular panjang untuk membeli tiket manual (karena tidak ada gate otomatis), kemudian mereka harus antre lagi untuk masuk ke dalam bus di bawah panas atau hujan.
Sungguh merupakan pengalaman yang berat bagi masyarakat dalam menggunakan transportasi publik. Semoga pemerintah segera membangun halte yang layak untuk para penumpang Transjakarta di Cibubur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar