Pemilu dan hoaks adalah dua hal yang identik. Inilah fenomena di sejumlah negara belakangan ini, ketika media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan publik.
Dalam urusan pemilu, media sosial (medsos) begitu identik dengan perkubuan dan permusuhan. Alih-alih menjadi sarana berdialog dan berbagi, medsos justru lebih operasional sebagai sarana penyebaran rumor, syak wasangka, kebohongan, dan kebencian, hingga taraf memecah belah masyarakat.
Pengalaman India, Sri Lanka, Brasil, Austria, dan AS menunjukkan titik kulminasi hoaks terkait pemilu adalah pada jeda minggu tenang dan pagi hari menjelang pemungutan suara. Apa yang gencar disebarkan pada momentum itu?
Jawabnya adalah hoaks dan rumor tentang ketidakberesan penyelenggaraan pemilu atau kecurangan sistem pemungutan suara. Dalam hal ini, apa yang mengemuka di Indonesia hari-hari ini menunjukkan kemiripan dengan yang terjadi di negara lain, termasuk Brasil.
Serangan pada kandidat
Seperti di Indonesia, pemilu Brasil tahun lalu diwarnai polarisasi politik tajam. Konfrontasi politik antara kubu kanan dan kubu kiri paling keras dan paling memecah belah dalam sejarah pemilu Brasil. Keadaan yang ideal bagi tumbuh suburnya rumor dan kabar bohong.
Menurut riset Mind Miners, 83 persen penduduk menggunakan medsos sebagai sumber informasi dan mayoritas (92 persen) tak tahu yang mereka dapatkan dari medsos fakta atau kebohongan.
Salah satu jenis hoaks yang menyebar adalah jati diri kandidat presiden. Menjelang pemilu, menyebar video yang menggambarkan kandidat presiden sayap kiri Fernando Haddad sebagai komunis yang akan menjadikan Brasil negara komunis seperti Kuba. Foto yang paling banyak menyebar selama kampanye putaran pertama adalah foto hitam-putih Fidel Castro dengan keterangan "Idola Fernando Haddad".
Hoaks lain menyatakan Haddad pendukung LGBT yang akan mengarahkan anak-anak Brasil jadi gay. Betapapun telah dibantah dan dimentahkan dengan verifikasi media massa dan organisasi pemeriksa fakta (fact checking) independen, hoaks-hoaks itu telanjur memengaruhi opini masyarakat.
Seperti di Indonesia, komunisme dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender) juga menjadi menu utama hoaks di Brasil. Dalam Pilpres AS 2016, menu utama adalah isu agama, ras, dan imigran. Di mana pun, isu ideologi, agama, dan ras menjadi obyek untuk mempermainkan emosi rakyat.
Bukan rasionalitas, melainkan sentimen primordial yang digarap. Medsos tak mengenal batas intelektualitas. Begitu tersentuh sentimen primodial, apa pun latar pendidikan dan kelas sosialnya, pengguna medsos jadi jahat terhadap sesamanya. Mereka kehilangan kemampuan berempati dan mempersempit lingkup pergaulan jadi sealiran.
Kian mendekati hari pemungutan suara, hoaks tentang kandidat presiden tergeser oleh hoaks tentang kecurangan pemilu. Hoaks yang paling menggemparkan Brasil dalam hal ini adalah video tentang kerusakan mesin voting otomatis yang digunakan dalam pemilu. Hal ini mengingatkan kita pada hoaks yang mengklaim server Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah dirancang untuk memenangkan salah satu paslon pilpres.
Investigasi pers dan pemeriksa fakta independen Brasil memastikan video itu hoaks. Lembaga pemantau pemilu AS juga memastikan mesin voting otomatis aman dan siap digunakan. Namun, hoaks telanjur menyebar. Masyarakat telanjur curiga terhadap penyelenggara pemilu.
Serangan terhadap legitimasi penyelenggara pemilu di medsos kian gencar jelang hari pemungutan suara. Menurut organisasi pemeriksa fakta Brasil, Aos Fatos, sembilan dari 10 pesan yang paling banyak dibagikan di Whatsapp pada jeda minggu tenang adalah rumor bahwa Lembaga Penyelenggara Pemilu Brasil akan menghalangi para pendukung Bolsonaro memberikan suara. Hoaks yang juga menyebar adalah tuduhan bahwa Haddad telah menerima 10.000 suara dari 777 orang pada pemilu pertama.
Menurut Aos Fatos, ribuan hoaks dan rumor politik yang mewabah jelang pilpres memiliki kerangka cerita sama bahwa sedang terjadi konspirasi untuk menggagalkan salah satu kandidat dan mendukung kandidat lain. Berbagai peristiwa, gejala, fakta, dan kabar burung yang sebenarnya tak saling berhubungan dikait-kaitan dalam kerangka konspirasi ini.
Semua permasalahan yang muncul dalam kehidupan politik dan penyelenggaraan pemilu dikonstruksi sebagai kesengajaan pemerintah untuk memenangkan satu kandidat. Pers dan organisasi pemeriksa fakta yang mencoba memverifikasi hoaks juga dituduh bagian dari konspirasi.
Tampaknya kubu Bolsonaro terilhami sukses Trump dalam memenangi Pilpres AS 2016. Hoaks kecurangan pemilu dengan kerangka teori konspirasi juga jadi garapan pendukung Trump.
Klaim palsu dan kebohongan tentang kecurangan pemungutan pemilu dan keberpihakan penyelenggara pemilu mereka sebarkan selama kampanye dan minggu tenang. Tidak heran apabila Bolsonaro sebagai presiden terpilih Brasil dijuluki Trump-nya Brasil.
Melawan takut dan panik
Hoaks yang mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu bertujuan menyebarkan kebingungan tentang sistem pemungutan suara dan ketakutan untuk memilih.
Jika tujuan ini tak berhasil dan ternyata masyarakat masih mengikuti pemungutan suara, tujuan berikutnya, menurut Aos Fatos, adalah mendelegitimasi kandidat yang menang pemilu Brasil.
Pengalaman negara lain semestinya menyadarkan masyarakat kita untuk tak mudah terjebak dalam ketakutan dan kebingungan. Medsos memang rimba raya tak bertuan di mana kebaikan sekaligus kejahatan dapat datang kapan saja.
Yang dibutuhkan adalah ketenangan dalam memilah informasi. Medsos adalah sumber informasi, tetapi informasi itu perlu diverifikasi lebih dulu.
KPU/Bawaslu juga semestinya tidak defensif. Pada era medsos sekarang, sudah menjadi risiko KPU/Bawaslu menjadi sasaran apriori dan tuduhan. KPU hanya dapat membalasnya dengan membuktikan tidak ada kecurangan.
Maka, membandingkan informasi medsos dan berita media massa sangat dianjurkan. Jangan sampai perasaan panik dan takut mewarnai keputusan karena itulah yang diharapkan para operator politik penghalal hoaks dan ujaran kebencian.
Dengan tetap waspada terhadap kemungkinan kecurangan, mari kita hilangkan panik dan takut, jalani pesta demokrasi dengan gembira!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar