REUTERS/STRINGER

Rakyat Sudan berunjuk rasa menjelang shalat Jumat di dekat kantor Kementerian Pertahanan di Khartoum, Sudan, Jumat (12/4/2019). Mereka memprotes langkah militer membentuk dewan transisi yang dipimpin militer untuk menggantikan Presiden Omar al-Bashir, yang dipaksa mundur pada Kamis lalu.

Setelah berkuasa selama 30 tahun, Presiden Sudan Omar al-Bashir lengser. Namun, krisis politik di negara itu belum berakhir. Masa transisi bakal menjadi ujian berat.

Lengsernya Bashir di Sudan hanya terpaut sembilan hari dengan mundurnya Presiden Abdelaziz Bouteflika yang berkuasa sekitar 20 tahun di Aljazair. Kedua pemimpin itu dipaksa turun takhta menyusul gelombang unjuk rasa rakyat selama berminggu-minggu. Muncul istilah "Musim Semi Arab mini" pada gerakan massa tersebut, pengasosiasian pada Musim Semi Arab 2010-2011 yang menumbangkan rezim di Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, dan memantik perang Suriah.

Meski pemicu unjuk rasa berbeda, pergantian dua rezim ini memiliki kesamaan, ada peran militer dalam penggulingan kekuasaan. Kesamaan lain, lengsernya rezim lama tak memuaskan pengunjuk rasa. Rakyat di dua negara itu menuntut perubahan dan penataan ulang sistem politik.

Unjuk rasa di Aljazair meletus awal Maret lalu setelah Bouteflika (82)—meski beberapa tahun menderita sakit sehingga tak bisa memimpin negerinya—berupaya mencalonkan diri dalam bursa calon presiden, sekaligus memperpanjang jabatan untuk periode kelima. Unjuk rasa di Sudan mulai lebih dulu, sejak 19 Desember 2018, dipantik oleh kenaikan harga roti dan kelangkaan bahan kebutuhan pokok.

Bouteflika memutuskan mundur pada 2 April setelah tekanan rakyat lewat unjuk rasa dan—yang tak kalah penting— tekanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Letnan Jenderal Ahmed Gaid Salah agar Konstitusi Nomor 102, yang mengatur pengunduran diri presiden karena kesehatan, diberlakukan. Di Sudan, selain akibat tekanan unjuk rasa selama hampir empat bulan, Bashir (75) baru bisa dipaksa mundur setelah militer menerapkan langkah-langkah mirip kudeta.

Diberitakan harian ini, Jumat (12/4/2019), militer Sudan mengambil alih kantor radio dan stasiun televisi pemerintah, mengerahkan tentara di jalanan ibu kota Khartum, menangkap orang-orang dekat Bashir, menutup bandara dan semua akses keluar dari Khartum, serta menetapkan tahanan rumah terhadap Bashir. Setelah Bashir dilengserkan, militer membentuk dewan militer yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Awad Mohamed Ahmed Ibn Auf.

Dewan militer itu akan menjalankan pemerintahan transisi selama dua tahun, dengan sejumlah aturan mengekang, mulai dari penetapan status darurat tiga bulan, pembekuan konstitusi, hingga pemberlakuan jam malam mulai pukul 22.00 hingga 04.00. Dalam dua tahun transisi itu, dijanjikan akan digelar pemilu bebas dan demokratis.