Kabar soal kenaikan harga bahan pokok selalu datang silih berganti. Kenaikan harga garam, beras, daging sapi dan ayam, telur, cabai, serta bawang putih dan merah bukan lagi cuma 5 persen atau 10 persen. Kenaikannya bisa jauh di atas itu, bahkan bisa mencapai 100 persen lebih.
Ironisnya, kenaikan itu terjadi pada momen-momen besar keagamaan seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Padahal, semua momen tersebut terjadi setiap tahun dan terus berulang. Demikian juga ketika memasuki musim kemarau panjang yang menyebabkan penurunan produktivitas tanam sehingga hasil panen dan stok pangan melorot.
Sebaliknya, saat musim hujan, wilayah sentra produksi pangan banyak mengalami bencana banjir dan longsor. Lahan sentra tanaman padi di beberapa wilayah di Jawa kebanjiran sehingga banyak tanaman fuso dan gagal panen. Pada saat yang sama, urat nadi logistik untuk pasokan pangan terganggu sehingga terjadi ketimpangan antara permintaan dan pasokan sehingga memicu kenaikan harga.
Kekacauan harga komoditas itu seharusnya tidak perlu terjadi karena semua momen itu bukan sesuatu yang mendadak. Kondisi itu selalu terjadi setiap tahun sehingga seharusnya sangat mudah diantisipasi dengan cara kementerian teknis menyiapkan solusi efektif sejak dini berdasarkan data permintaan dan pasokan sejak lima tahun terakhir.
Namun, kenyataannya tidak, pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan Perdagangan seperti tidak berdaya.
Kementerian teknis ini selalu terkesan kelabakan saat harga naik karena tidak menguasai stok. Begitu ada kabar harga bahan pangan melonjak langsung menyatakan akan melakukan operasi pasar. Padahal, stok terbatas. Itu pun bukan berada di tangan pemerintah.
Ujungnya, pemerintah melakukan impor bahan pangan, apakah itu gula, beras, garam, atau bawang putih, dan daging. Kebijakan itu sama sekali tidak keliru dan banyak dilakukan oleh sejumlah negara yang tidak memiliki kemampuan produksi pangan.
Namun, mereka melakukan impor bahan baku untuk industri pangan ataupun konsumsi dengan perencanaan yang baik. Dengan demikian, komoditas itu bisa diperoleh dengan harga yang kompetitif di pasar internasional atau melalui kebijakan skema kerja sama perdagangan antarnegara.
Sementara pemerintah Indonesia tidak. Kebijakan impor dilakukan tanpa perencanaan. Kebijakan itu dilakukan karena desakan mengatasi keterbatasan stok untuk meredam gejolak harga.
Akan tetapi, karena kebijakan itu dilakukan mendadak dengan volume yang besar, mendorong para pemilik barang di pasar internasional menaikkan harga jual. Dengan demikian, upaya menekan harga melalui produk impor menjadi tidak optimal.
Naifnya lagi, kebijakan impor khususnya beras dan gula menjadi rutinitas bagi Indonesia. Padahal, jika pemerintah mau mengacu pada perkembangan harga kebutuhan dan pasokan dalam lima atau 10 tahun terakhir, persoalan itu tidak harus terjadi.
Minimal, persoalan itu bisa dieliminasi semaksimal mungkin. Akan tetapi, karena kajian data itu tidak pernah dilakukan, akibatnya dari tahun ke tahun pemerintah terpaksa harus impor.
Impor beras, misalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sejak 2000-2019 Indonesia tidak pernah berhenti membeli beras dari luar negeri. Impor tersebut mencapai puncaknya pada 2011 dengan volume 2,75 juta ton dan tahun 2018 sebanyak 2,14 juta ton.
Jika harga impor beras per ton pada tahun itu sekitar 375 dollar AS, berarti negeri ini harus mengeluarkan devisa sebesar 850 juta dollar AS atau setara dengan Rp 11 triliun. Besaran itu baru untuk impor beras, belum garam, gula, daging, dan bawang putih.
Wajar jika saatnya pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, lebih fokus mengatasi masalah laten itu dalam lima tahun ke depan. Hal ini sebagai upaya untuk menekan pemborosan devisa dan upaya bertahap menuju ketahanan pangan nasional.
Pada saat yang sama, kebijakan itu juga dimaksudkan untuk merangsang sumber daya produktif masuk ke sektor pertanian. Pada akhirnya akan memacu investasi untuk pengembangan industri dan teknologi pangan olahan yang lebih kompetitif.
Berangkat dari kepentingan tersebut, sudah saatnya Presiden Jokowi menyiapkan kementerian yang lebih fokus mengurusi perdagangan dalam negeri yang kerapkali menjadi duri dalam daging. Lonjakan itu bukan hanya menurunkan daya beli masyarakat dan mendorong laju inflasi bergerak naik, tetapi juga melemahkan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Presiden untuk melakukan perbaikan organisasi birokrasi yang fokus pada urusan perdagangan dalam negeri mengingat persoalan perdagangan dalam negeri yang begitu besar dan laten. Fokus tersebut dimaksudkan agar kementerian ini bekerja lebih detail pada masalah mengatasi keseimbangan antara permintaan dan pasokan.
Pekerjaan ini tidak bisa dianggap remeh-temeh dibandingkan dengan mengurusi perdagangan internasional. Sebab, persoalan itu jauh lebih penting dan strategis untuk diselesaikan demi menjaga stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri.
Dengan fokus kerja yang jelas dan efisien, kementerian ini bisa memberikan telaah secara akurat mengenai berbagai hal, seperti soal kebutuhan konsumsi rumah tangga dan bahan baku bagi industri manufaktur. Oleh karena itu, meski hanya terkesan masalah sepele, penyelesaiannya tidak mudah.
Sebab, kementerian ini harus memiliki basis data yang kuat untuk mengetahui secara riil berapa total produksi beras, gula, daging, ayam, telur garam, cabai, ataupun bawang setiap tahunnya.
Di mana saja sentra produksinya, berapa besar produksinya, cukup untuk memenuhi permintaan atau tidak setiap tahunnya. Bagaimana mengatasinya jika terjadi kekurangan, apakah membuka lahan baru atau impor. Jika harus impor, dari negara mana yang paling kompetitif harganya.
Melalui laporan akurat tersebut, kementerian terkait bisa bekerja lebih fokus mana yang akan menjadi prioritas dan mana yang reguler. Misalnya, Kementerian Pertanian harus bekerja seperti apa untuk memenuhi kebutuhan stok, daerah mana lagi yang bisa dikembangkan menjadi sentra produksi, bagaimana peningkatan produksinya dari mulai bibit sampai teknologinya jika tidak dari mana impornya.
Demikian juga dengan Kementerian Kehutanan dan Agraria, bagaimana mereka harus mengoptimalkan lahan yang ada dengan proses perizinan investasi yang terukur. Bagaimana pula tugas Kementerian Koperasi, lalu menyiapkan usaha kecil dan menengah.
Dengan peta sentra produksi yang seperti itu, bagaimana Kementerian Perhubungan harus bekerja. Bagaimana kementerian ini menjaga jalur logistik agar efisien dalam biaya dan waktu, melalui jalur laut, darat atau udara.
Sementara persoalan perdagangan internasional bisa dileburkan ke dalam sektor perindustrian seperti yang dilakukan oleh sejumlah negara. Penyatuan industri dan perdagangan internasional akan membuat sektor produksi manufaktur menjadi lebih efisien dan berdaya saing tinggi.
Mereka akan dengan mudah membuat peta jalan industri yang strategis, menarik investor melalui berbagai skema kerja sama, sekaligus memberikan kemudahan berbagai kebijakan impor bahan baku untuk sektor produksi manufaktur.
Ide ini memang bukan hal yang mudah. Namun, sudah beberapa tahun, bahkan puluhan tahun, impor dan persoalan harga tidak pernah tuntas ditangani dengan baik oleh kementerian teknis yang ada. Bahkan, impor yang ada justru banyak berpotensi menimbulkan beban bagi negeri ini, menguras cadangan devisa karena harga pembelian yang tinggi.
Selain itu, hal itu banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan pribadi. Ujungnya, rakyat yang terbebani, neraca perdagangan terus mengalami defisit, dan cita-cita membangun ketahanan pangan ibarat jauh panggang dari api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar