Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 17 September 2019

KOLOM: Kisah dari Taman Firdaus (TRIAS KUNCAHYONO)

INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Sore itu, Hawa berjalan-jalan sendirian di Taman Firdaus, tidak seperti biasanya ke mana-mana selalu bersama Adam. Adam lebih memilih tinggal di rumah. Ketika Hawa melintasi sebatang pohon di tengah taman—yang disebut Pohon Pengetahuan Baik dan Buruk—seekor ular menyapanya. Ular lalu menawarkan kepada Hawa untuk memakan buah dari Pohon Pengetahuan Baik dan Buruk.

Hawa menolaknya. Ia ingat sabda Tuhan: Adam dan Hawa diberi kekuasaan penuh atas seluruh ciptaan yang ada di Taman Firdaus kecuali satu, yakni memakan buah dari Pohon Pengetahuan Baik dan Buruk. Itulah pohon terlarang. Kalau melanggarnya, mereka akan mati.

Namun, ular begitu lihai membujuk Hawa dan memberikan sebuah buah dari pohon terlarang. Hawa pun akhirnya tergoda. Ia memakan buah larangan itu, tidak menaati larangan Tuhan. Ketika pulang, Hawa memberikan buah itu kepada Adam, yang juga langsung memakannya meski semula agak ragu.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural dan grafiti bertema korupsi di Kebon Nanas, Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Mengetahui apa yang dilakukan Hawa,  Tuhan pun murka dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Sejak itu, kematian menjadi bagian dari kehidupan; binatang dan manusia sekarang akan mati. Itulah korupsi pertama manusia.

Mereka telah merusak, membusukkan dunia, mengotori dunia, mengingkari kesucian, dan merusak kehidupan manusia. Menurut asal muasalnya, kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin corruptio (Fockema Andreae: 1951) atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Kata corruptio itu berasal pula dari kata asalcorrumpere suatu kata Latin yang lebih tua.

Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris:corruption, corrupt; Peranciscorruption, dan Belanda corruptie(korruptie); dan dari sinilah turun ke bahasa Indonesia menjadi "korupsi". Arti harfiah dari kata itu ialah: kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, serta kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Karena tindakan Hawa dan Adam, dunia rusak, dunia kotor, dan manusia pun bisa membusuk. Bisa dikatakan, fenomena korupsi tidak dapat dipisahkan dari sejarah umat manusia. Meskipun tindakan Hawa (dan juga Adam) itu tidak memiliki konsekuensi ekonomis. Akan tetapi, tindakan mereka berdua berdampak sangat nyata bagi umat manusia. Hawa telah mengajak Adam untuk memakan buah terlarang. Dan, akibat dari tindakan mereka, dunia pun rusak. Tubuh manusia rusak, membusuk!

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Maraknya kepala daerah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat gerah masyarakat. Kegeraman warga diekspresikan melalui mural bertema korupsi, seperti terlihat di kawasan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (20/10/2018). Berdasarkan data KPK, hingga Oktober 2018, sebanyak 18 kepala daerah (1 gubernur dan 17 bupati/wali kota) terjaring operasi tangkap tangan lembaga antirasuah itu.

Itulah sebabnya, Kautilya (350-275 SM), Perdana Menteri Kaisar India Chandragupta, penguasa dari Dinasti Maurya, mengatakan, sifat dasar manusia cenderung koruptif. Sebab, sejak awal mula manusia sudah koruptif. Korupsi itu merupakanpsyche manusia. Pendapat Kautilya itu diungkapkan dalam bukunya yang berjudul Arthashastra.

Kata-kata bijak lama menyatakan, "corruptio est extraordinarium crimen", korupsi adalah kejahatan luar biasa. Karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, tindakan untuk memberantas korupsi harus juga luar biasa.

Hukuman terhadap koruptor pun sangat berat. Di Persia, Raja Persia Cambyses II (530-522 SM), putra Koresh II dari Dinasti Achaemenian, menghukum mati seorang hakim yang korup. Raja Darius Agung (550-486 SM) bahkan menjatuhkan hukuman mati dengan cara disalib terhadap seorang hakim yang ketahuan korup.

Selain di Persia dan India, di China pun pada masa lalu masalah korupsi sudah menjadi sorotan. KUHP Dinasti Quin (221-207 SM) di China juga telah memperkenalkan fenomena korupsi. Hukuman bagi para koruptor pun sangat berat (vonis hukuman berat—termasuk hukuman mati—hingga kini masih dilakukan di China) dan diatur hukuman yang sangat keras untuk praktik korupsi.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural dan grafiti bertema korupsi di Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Di Yunani kuno, untuk mengurangi ancaman korupsi, Plato mengusulkan hukuman mati bagi pejabat atau pejabat tinggi yang menerima hadiah untuk melakukan tugas mereka. Menurut Plutarch (46-119), seorang pengarang Yunani, orang Athena tidak memaafkan tindakan korupsi. Menurut Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), negarawan Romawi kuno, korupsi adalah salah satu kejahatan paling serius.

Para koruptor dihukum berat (termasuk Adam dan Hawa) di masa lalu, sebab  korupsi identik dengan kematian dan dekadensi moral. Karena itu, Niccolo Machiavelli (1469-1527) menyebut korupsi sebagai "proses pembusukan moral".

Satu hal yang pasti, sejak zaman dahulu, korupsi adalah fenomena kompleks yang hampir tidak pernah terjadi karena satu sebab. Jika disebabkan hanya oleh satu alasan, satu sebab, solusinya pun sederhana. Definisi yang disodorkan oleh Transparency International mengenai korupsi menjelaskan hal ini.

Jack Bologne dalam teorinya menyatakan korupsi terkait dengan keserakahan dan kerakusan (greedy) para pelaku korupsi. Itu pertama. Lalu, juga berhubungan dengan kesempatan (opportunity). Artinya, koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Dan, karena sistem memberi peluang, terjadilah korupsi itu.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Mantan Ketua DPR Setya Novanto (kanan) dan pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo memberikan keterangan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (19/2/2019). Keduanya dihadirkan di persidangan sebagai saksi atas terdakwa mantan Menteri Sosial dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.

Hal itu ditambah dengan sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan (needs) yang tidak pernah usai. Apalagi, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku ataupun orang lain.

Dengan demikian, tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara (juga di negeri ini). Ada yang mengatakan bahwa korupsi ibarat penyakit "kanker ganas" yang sifatnya tidak hanya kronis, tetapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan, tetapi pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas.

Menurut Transparency International, korupsi mencakup perilaku dari pejabat-pejabat di sektor publik, apakah politikus atau pegawai negeri, di mana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka. Jelas bahwa korupsi berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena telah terjadi kebusukan, ketidakjujuran, dan melukai rasa keadilan masyarakat.

Samuel Huntington dalam bukuPolitical Order in Changing Societies(1968) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma yang diterima untuk melayani kepentingan pribadi. Melihat dari definisi tersebut jelas bahwa korupsi tidak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi dan politik, tetapi juga menyangkut perilaku manusia (behavior) yang menjadi bahasan utama serta norma (norms) yang diterima dan dianut masyarakat.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Direktur Utama PT PLN (nonaktif) Sofyan Basir menjalani sidang pembacaan dakwaan perkara dugaan suap PLTU Riau-1 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/6/2019).

Tidak mengherankan karenanya kalau korupsi selalu membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi dan pembangunan sebab korupsi telah mendelegetimasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang. Korupsi juga telah mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, tiadanya akuntabilitas publik, serta menafikan the rule of law.

Itulah sebabnya korupsi adalah persoalan yang sangat rumit di banyak negara, apalagi di Indonesia. Sebab, di negeri ini korupsi menyangkut kultur, pandangan hidup, mentalitas, serta tidak semata-mata hanya masalah ekonomi dan keterpaksaan. Karena itu, barangkali tidak salah-salah amat kalau dikatakan bahwa korupsi seperti diabetes yang hanya bisa dikontrol, tetapi tidak dapat dihilangkan secara total.

Apalagi, sekarang ini, terjadi kegaduhan luar biasa menyangkut KPK. Sulit untuk dimungkiri bahwa upaya gerakan antikorupsi Indonesia telah menjadi komoditas politik untuk menghasilkan dukungan publik atau, paling buruk, sebagai senjata politik. Bukan berlebihan kalau dikatakan bahwa dorongan antikorupsi Indonesia dalam bahaya.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Bunga dan keranda sebagai simbol "matinya" KPK diletakkan di depan pintu masuk lobi Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, di Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Kalau kegaduhan yang sarat kepentingan itu berlarut-larut, pembusukan, kebusukan yang melanda banyak (untuk tidak mengatakan semua) institusi di negeri ini, akan semakin menjadi-jadi. Hidup kita bersama pun akan busuk.

Dan, apabila kegaduhan terus berkanjut dan dimanfaatkan untuk beragam kepentingan tertentu oleh banyak pihak, pada akhirnya upaya gerakan antikorupsi itu hanya akan menjadi lelucon yang sebenarnya tidak lucu, seperti ular yang berhasil membujuk Hawa makan buah terlarang.

Ular—Raja Kegelapan (Lucifer)—akan terus berusaha mencari mangsa untuk membuat kegaduhan tak peduli bahwa pada akhirnya Taman Firdaus hilang. Sebab, avarus animus nullo satiatur lucro, pikiran rakus tidak puas dengan keuntungan berapa pun; entah itu keuntungan ekonomi ataupun politik. 
***

Kompas, 17 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger