Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 17 September 2019

MANUFAKTUR: Disharmoni Kementerian Menyandera Industri Nasional (BANU ASTONO)

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Aktivitas bongkar muat di pelabuhan peti kemas, Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (09/08/2019). Badan Pusat Statistik mencatat  Ekspor Juni 2019, mencapai  11,78 miliar dollar AS, sedangkan nilai impor mencapai 11,58 miliar dollar AS.

Satu per satu sektor industri manufaktur unggulan Indonesia terpuruk. Mereka tidak saja tertekan di dalam negeri akibat disharmoni kebijakan antarkementerian yang membuat menurunnya daya saing, tetapi juga beratnya menembus pasar ekspor yang kian ketat. Persoalan kian runyam karena ancaman disrupsi dan krisis global makin nyata sejak perang dagang Amerika Serikat dan China yang tak segera diantisipasi.

Kombinasi keadaan itu membuat kinerja beberapa sektor industri manufaktur unggulan, seperti industri kayu olahan, elektronika, serta tekstil dan produk tekstil (TPT) kian menurun. Bahkan, industri kayu olahan yang kaya akan sumber bahan baku justru merana di lumbung kayu dan rotan. Kinerja sektor ini terus merosot, bahkan untuk menembus 10 besar produsen dan pasar ekspor mebel dunia tidak mampu.

Ekspor produk kayu olahan atau mebel pada tahun 2018 hanya mampu mencapai 1,7 miliar dollar AS (Rp 23,8 triliun). Padahal, Indonesia pernah berjaya meraup devisa di pasar ekspor dari produk kayu olahan pada tahun 1995 hingga mencapai nilai sekitar 4,6 miliar dollar AS (Rp 64,4 triliun). Namun, kisah manis itu kini tinggal kenangan. Produksi kayu olahan Indonesia tak mampu berkembang dengan baik. Produsen kayu dunia dipegang China, Vietnam, Malaysia, dan Singapura, negeri yang justru miskin sumber bahan baku.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Sejumlah pegawai PT Kendal Eco Furindo mengerjakan tahapan pembuatan kursi di ruang produksi perusahaan tersebut, di Kawasan Industri Kendal (KIK), Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Kamis (10/1/2019). Menteri Pendidikan Singapura Ong Ye Kung dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, mengunjungi PT Kendal Eco Furindo, setelah meresmikan kampus Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu di KIK.

Persoalan tidak berhenti sampai disitu. Pelaku industri manufaktur kayu dan rotan Indonesia juga tidak optimal menembus pasar ekspor. Banyak faktor penyebab, namun yang paling utama adalah disharmoni kebijakan antarkementerian sehingga membebani  langkah eksportir menembus ekspor. Contoh yang paling nyata adalah benturan kepentingan antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin),  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Terhambat regulasi

Kemenperin ingin menggenjot ekspor sekuat mungkin dan meminta kemudahan pengadaan bahan baku, serta aturan ekspor kayu maupun rotan hanya dalam bentuk jadi. Dengan demikian industri di dalam negeri tidak kelabakan dan kehabisan bahan baku. Sementara Kemendag juga tak mudah mengikuti aturan itu, karena benturan dan tarik menarik kepentingan antara produsen kayu serta  rotan di hulu dan keinginan pelaku industri kayu olahan di hilir. Mereka menginginkan agar bahan baku yang ada diprioritaskan untuk  produksi mebel dalam negeri. Persoalan itu sampai sekarang belum juga ada jalan keluarnya.

Persoalan lain adalah aturan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang digariskan oleh KLHK. Peraturan Menteri LHK Nomor P.43/Menhut-II/2014 juncto Nomor P.95/Menhut-II/2014, yang mengatur kewajiban SVLK dianggap menghambat pelaku industri. Mereka menilai, SVLK  seharusnya hanya diberlakukan di sektor hulu dan bukan dari hulu hingga hilir. Kebijakan itu, menurut kalangan pelaku industri yang tergabung dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), mempersulit mereka mendapatkan bahan baku yang kompetitif.

Meski terus diprotes oleh HIMKI, pihak KLHK bergeming dan mereka menilai penerapan SVLK  tetap diperlukan. Kebijakan itu bertujuan untuk memastikan bahwa rangkaian produksi itu legal.  SVLK itu sejatinya justru untuk mempermudah pelaku industri kayu olahan masuk ke pasar ekspor tanpa gangguan sebagai produk yang tidak ramah lingkungan.

Terlepas benar atau tidak alasan penerapan SVLK, yang pasti tarik ulur kepentingan telah membuat ekspor industri mebel dan kerajinan stagnan dan nyaris turun. Bahkan, untuk masuk 10 besar negara produsen industri kayu olahan dunia saja tidak  mampu. Posisi terbesar tetap dipegang China dengan nilai sekitar 192 miliar dollar AS (Rp 2.688 triliun). Posisi kelima ditempati India dengan nilai sekitar 16 miliar dollar AS (Rp 224 triliun), disusul Vietnam di posisi ketujuh 10 miliar dollar AS (Rp 140 triliun) lebih, dan Kanada di posisi kesepuluh dengan nilai sekitar 10 miliar dollar AS (Rp 140 triliun).

Sementara untuk ekspor, Indonesia malah jauh dari China dan Vietnam. Bahkan, hanya unggul sedikit dari Singapura yang tidak memiliki bahan baku. Ekspor China mencapai 52 miliar dollar AS (Rp 728 triliun), Vietnam 8,9 miliar dollar AS (Rp 124,6 triliun), Indonesia 1,7 miliar dollar AS (Rp 23,8 triliun), Filipina 1,65 miliar dollar AS (Rp 23,1 triliun), dan Singapura 1,6 miliar dollar AS (Rp 22,4 triliun).

Sektor lain yang juga tertekan adalah industri elektronika. Menurut analis dan pelaku industri, sektor ini tidak hanya terpental di pasar domestik oleh produk impor dari China, tetapi juga terkapar di pasar global. Mereka bukan hanya kalah dalam persaingan kualitas, tetapi juga tidak mampu memenuhi pasar dengan harga yang kompetitif.

KOMPAS

Pekerja merakit lemari es di pabrik LG Electronics di kawasan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (6/9). Tahun ini LG Electronics menargetkan mampu merakit sekitar 1.200.000 unit lemari es, dimana 70 persen diantaranya adalah untuk pangsa ekspor.

Semakin dangkal

Ironinya, di tengah tekanan itu terjadi penurunan kandungan lokal. Kedalaman industri elektronika di dalam negeri sejak beberapa tahun terakhir semakin dangkal dibandingkan dengan beberapa puluh tahun lalu. Fenomena itu merupakan gambaran bahwa banyak industri pendukung atau komponen di dalam negeri yang tutup atau pindah ke negara lain yang lebih menggiurkan. Mungkin para pelaku pindah ke Vietnam, Thailand, atau Malaysia.

Pemicunya kemungkinan besar versi mereka karena tuntutan upah buruh yang terus menerus setiap tahun tanpa diimbangi kenaikan produktivitas, iklim usaha yang tidak kondusif, dan rente ekonomi yang semakin panjang. Penurunan kandungan lokal itu bisa dilihat dari produk lemari es, televisi, dan mesin cuci yang lebih banyak mendapatkan dukungan dari produk komponen impor.

Padahal, sektor ini sangat dibutuhkan karena mampu menyerap tenaga kerja tinggi untuk semi terampil maupun tidak terampil. Belum lagi bicara pengembangan listrik masuk desa maupun pedalaman yang semakin masif. Perkembangan ini menjadi ceruk pasar yang tidak kecil, namun jika industri elektronik terus menurun maka pasar tersebut akan diisi oleh produk impor dari China. Apabila fenomena ini terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan para pelaku industri akan beralih menjadi pedagang elektronika.

Pukulan lain yang tak kalah memilukan adalah yang dialami oleh sektor industri TPT. Sejak dua atau tiga tahun terakhir berembus  kabar tidak sedap, beberapa pabrik TPT yang bergerak pada perajutan, serat benang, dan pencelupan tutup dan melakukan pemutusan hubungan kerja. Produsen banyak yang mati karena tak mampu bersaing dengan produk  impor dari China yang harganya sangat kompetitif dan lebih bervariasi dalam desain.

Banyak faktor yang memukul para pelaku industri TPT. Pertama, kebijakan pelemahan yuan yang dilakukan Pemerintah China pasca-perang dagang dengan Amerika Serikat. Hal itu membuat produk TPT China tidak hanya murah di pasar dunia,  tetapi juga di  Indonesia yang nyaris tidak mampu dilawan pemain lokal. Mereka bisa sangat murah karena struktur industrinya kuat, skala ekonominya besar, dan kandungan lokalnya tinggi. Ujungnya harga jual produk TPT China sangat murah, bahkan terkadang harga jualnya diluar logika para pelaku industri sejenis di Indonesia.

Selain faktor tersebut, persoalan kian bertambah rumit  dengan adanya peraturan Menteri Perdagangan yang membuka pintu impor semakin lebar. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor TPT mengizinkan impor dilakukan oleh  perusahaan yang memiliki API-P (produsen) dan perusahaan yang memiliki API-U (pedagang). Bahkan, dalam aturan itu juga ditegaskan, perusahaan pemilik API-U dapat diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Ilustrasi _ Produsen mesin dan peralatan penunjang untuk industri tekstil dan garmen dari sejumlah negara mengikuti pameran industri tekstil dan garmen Indo Intertex 2017 di JI Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (19/4/2017) lalu.

Kebijakan ini membawa dampak yang tidak kecil karena produk yang dihasilkan oleh industri TPT di hulu tidak terserap pasar. Para pelaku di sektor tengah atau hulu antara dan hilir tidak lagi membeli bahan baku dari industri hulu. Para pemilik pabrik garmen, misalnya, lebih memilih impor bahan baku kain untuk produksinya ketimbang membeli serat benang. Selain harganya lebih murah juga lebih cepat dan efisien.

Industri hulu tutup

Mirisnya lagi, impor tidak hanya dilakukan oleh importir produsen, tetapi juga importir pedagang. Mereka boleh melakukan impor langsung sebagai bahan baku untuk produksi garmen. Hal ini mengakibatkan kapasitas produksi terpasang di industri hulu, yakni industri serat benang dan pencelupan merosot drastis tinggal separuh.

Sejak adanya Kemenperdag No 64/2017, impor kain bergerak liar. Ujung-ujungnya sektor industri di hulu seperti perajutan, pemintalan, dan pencelupan kritis dan akhirnya tutup. Kebijakan ini memang ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi kebijakan itu mematikan industri hulu, namun di sisi lain mendukung pertumbuhan industri hulu antara dan hilir yang maju karena dukungan impor kain dari China.

Tiga kasus yang menimpa sektor industri unggulan Indonesia itu seharusnya tidak boleh terjadi jika pemerintah, khususnya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengantisipasi dengan mengeleminasi disharmoni kebijakan dan pengamanan pasar (safeguard). Tim ekonomi kabinet yang berada dalam pengendalian Kemenko Perekonomian  harusnya memiliki visi yang sama menggenjot ekspor untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Menyiapkan kebijakan yang strategis dengan menerapkan kebijakan tarif yang rasional dan pengamanan pasar dari membanjirnya impor kain dari China yang tidak terkendali.

Pada saat yang sama tim ekonomi menyiapkan insentif pajak bagi para pelaku industri yang melakukan riset untuk pengembangan produk bagi industrinya maupun industri pendukungnya. Tanpa riset yang handal akan membuat produk industri nasional rendah kandungan lokalnya, sehingga tergantung dari impor produk bahan baku dan bahan penolong. Selain tidak ada insentif, pemerintah juga tidak membuat kebijakan yang memaksa dengan tahapan yang jelas agar investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia memindah pusat penelitian dan penanganan industrinya di Indonesia.

Selain memberikan pengembangan industri di dalam negeri yang handal, pemerintah juga harus menyakinkan industri inti memberikan kepastian pasar pada industri pendukung di dalam negeri. Selama ini mereka hanya memberi peluang pasar kepada industri pendukung yang notabene juga berasal dari negaranya.

DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS

Suasana di Indonesia International Furniture Expo 2018, Jakarta, Minggu (11/3). Amerika Serikat masih menjadi pasar utama ekspor industri mebel Indonesia.

Tanpa gebrakan yang signifikan dan strategis secara komprehensif industri nasional unggulan ekspor akan terus terpuruk. Seluruh keungggulan komparatif pasar, bahan baku, dan insentif yang ada hanya menguntungkan produk impor. Industri nasional kian terpuruk, kandungan lokal kian dangkal dn struktur industri kian rentan. Pertanyaan besar, buat apa seluruh pembangunan itu dilakukan jika pada aujungnya kebijakan yang dibuat di lingkup pemerintah sendiri tidak mampu dipadukan dan saling bertabrakan. Pekerjaan besar hanya dua, lakukan  koordinasi dengan baik dan harmoni kebijakan yang padu.

Kompas, 16 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger