KOMPAS/DANU KUSWORO

Rektor IPB Arif Satria

Tulisan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Siti Nurbaya (Kompas, 5/9/2019) tentang Indonesia dalam kancah global perubahan iklim sangat menarik dan mencerahkan. Siti Nurbaya menekankan juga komitmen Indonesia untuk adaptasi, meliputi peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem. Disinilah konteks ciri negara berkembang menjadi relevan untuk terus dielaborasi.

Saat ini FAO sedang mencoba mengintegrasikan penanganan masalah perubahan iklim dan kemiskinan. Selama ini perubahan iklim semata dilihat sebagai masalah lingkungan, dan kemiskinan dilihat sebagai masalah sosial ekonomi. Padahal perubahan iklim punya dampak serius pada kemiskinan, dan kemiskinan juga menjadi variabel penting dalam efektivitas mitigasi maupun kapasitas adaptasi perubahan iklim. Menurut FAO (2018), pada 2030 diprediksi perubahan iklim akan menambah orang miskin hingga 100 juta, dan meningkatkan harga pangan 12 persen padahal pengeluaran orang miskin untuk pangan mencapai 60 persen.

Pada 2050, produksi tanaman pangan diperkirakan turun 10-25 persen dan akan mengancam ketahanan pangan, serta dapat menciptakan 1 miliar penduduk migran. Bagaimana langkah mengintegrasikannya?

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Sejumlah anak jalanan dan pemulung di pusat Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (21/5/2019). Di Kota Kendari, kemiskinan terlihat jelas di sudut-sudut kota.

Menurut FAO (2018), pada 2030 diprediksi perubahan iklim akan menambah orang miskin hingga 100 juta, dan meningkatkan harga pangan 12 persen padahal pengeluaran orang miskin untuk pangan mencapai 60 persen.

Paradigma baru

Hal paling mendasar adalah pentingnya perubahan paradigma. Pertama, paradigma melihat perubahan lingkungan. Selama ini persoalan lingkungan seolah hanya sebagai masalah teknis, yang penyelesaiannya pun cenderung hanya  bersifat teknis. Padahal perubahan lingkungan bisa terjadi akibat suatu kebijakan, aktivitas ekonomi maupun gaya hidup, yang dengan demikian sebenarnya lebih bersifat struktural ataupun kultural. Bahkan Bryan dan Beiley (2000) menyebut perubahan lingkungan sebagai politized environment atau lingkungan yang "terpolitisasi", sebagai arena interaksi dan kontestasi  para aktor yang berkepentingan terhadap sumber daya alam.

Distribusi manfaat dan biaya perubahan lingkungan itu dinikmati secara tak merata oleh para aktor, sehingga orang miskin dapat benefit lebih kecil dan ketika terjadi kerusakan terkena dampak lebih besar karena tak bisa berbuat apa-apa. Tatanan seperti inilah yang sering ditemukan di dunia ketiga. Dengan demikian seperti sering diungkap pakar lingkungan IPB Soeryoadiwibowo, perubahan lingkungan dianggap sebagai akibat perubahan sosial, dan begitu pula perubahan sosial bisa disebabkan perubahan lingkungan.

Kedua, paradigma melihat kemiskinan dan lingkungan. Ada cukup kuat mitos yang mengatakan kemiskinan adalah penyebab kerusakan lingkungan. Juga mitos orang miskin tak bisa mengelola lingkungan karena tak punya  pengetahuan. Ukuran tak punya pengetahuan umumnya dikaitkan dengan tingkat pendidikan formal yang relatif rendah. Hal ini telah dibantah oleh Forsyth (2003) yang mengatakan orang kaya membutuhkan dan memanfaatkan sumber daya lebih banyak dari orang miskin sehingga memiliki dampak lingkungan lebih besar dari orang miskin. Seperti, konsumsi energi orang kaya yang lebih tinggi dari orang miskin.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sejumlah pengemudi becak bermotor dan aktivis yang tergabung dalam aksi Muda Mudi Membumi menggelar long march untuk memperingati Hari Bumi di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Senin (22/4/2019). Dalam aksi itu mereka meminta Pemerintah segera menangani masalah pembangunan yang dinilai serampangan dan berpotensi mendorong timbulnya bencana ekologis.

Distribusi manfaat dan biaya perubahan lingkungan itu dinikmati secara tak merata oleh para aktor, sehingga orang miskin dapat benefit lebih kecil dan ketika terjadi kerusakan terkena dampak lebih besar karena tak bisa berbuat apa-apa.

Begitu pula, orang miskin sebenarnya punya pengetahuan untuk mengelola lingkungan karena mereka punya pengetahuan lokal namun sering kali diabaikan. Buktinya, hutan adat dan laut dijaga oleh sistem lokal yang ternyata lebih efektif.

Langkah penting

Beberapa langkah penting dilakukan pada beberapa hierarki: akademis dan kebijakan. Pertama, secara akademis perlu dilakukan rekonstruksi paradigma baru ilmu-ilmu lingkungan yang lebih inklusif dengan selalu mengaitkan antara sistem alam dan sistem manusia sehingga isu lingkungan dapat dipandang secara lebih luas dengan memasukkan kompleksitas dimensi sosial-ekonomi-politik. Integrasi dimensi ekologis dan sosial itulah yang kini populer dengan istilah transdisiplin.

Di IPB kini telah dikembangkan pendekatan ekologi-manusia, ekologi-politik, dan terakhir dikembangkan ilmu keberlanjutan (sustainability sciences) yang transdisiplin. Pendekatan baru ilmu keberlanjutan ini tak saja berbasis sains tapi juga mencoba mengakomodasi pengetahuan lokal, memuat nilai keadilan, dan memandang relasi manusia-alam tidak saja sebagai relasi instrumental melainkan relasi moral. Bagaimana dampak kerusakan lingkungan pada kemiskinan sangat mudah dipahami, namun bagaimana peran orang miskin menjaga lingkungan karena relasi moralnya, masih belum dipahami. Di sinilah letak pentingnya ilmu keberlanjutan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto aerial sampah yang didominasi plastik memenuhi permukaan Kali Jambe di perbatasan Desa Mangunjaya dan Desa Karangsatria, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/9/2019). Menurut warga sekitar, sampah sudah menumpuk dan memanjang hingga 300 meter tersebut sudah terjadi sejak tiga bulan terakhir. Mereka mengeluhkan bau tak sedap dari tumpukan sampah tersebut terutama malam hari. Sampah Kali Jambe menambah panjang riwayat pencemaran kali akibat sampah yang menumpuk di Kabupaten Bekasi. Sebelumnya, Kali Pisang Batu di Tarumajaya pada Desember 2018 dan Kali Busa di Babelan pada Juli 2019.

Kini perguruan tinggi tak bisa lagi arogan dengan ilmunya, melainkan mesti terbuka dengan pengalaman dan pengetahuan lokal yang terbukti efektif atasi masalah lingkungan. Dengan demikian keilmuan makin inklusif. Bagi penganut positivisme tentu pendekatan baru ini aneh karena memang di luar pakem aksiologi, ontologi, dan epistemologi mereka. Namun kejutan muncul pada pertemuan penulis dengan pakar-pakar lingkungan Barat di Halifax Kanada Mei 2018 yang justru kian mengukuhkan pendekatan baru ini.

Pendekatan baru ilmu keberlanjutan ini tak saja berbasis sains tapi juga mencoba mengakomodasi pengetahuan lokal, memuat nilai keadilan, dan memandang relasi manusia-alam tidak saja sebagai relasi instrumental melainkan relasi moral.

Ternyata para ilmuwan positivis di Barat pun kian mengakui kelemahannya dan bahkan lebih agresif mendorong pengembangan pendekatan baru ini. Pendekatan baru ini dapat jadi landasan dan kerangka dalam mengintegrasikan kebijakan penanganan lingkungan dengan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Ini karena kerangka akademis akan memengaruhi kerangka kebijakan.

Kedua, ketika secara akademis kaitan lingkungan dan kemiskinan sudah diletakkan dalam satu kerangka yang terintegrasi maka mestinya sudah cukup kuat menjadi  modal mencapai integrasi kebijakan. Di level global telah ditetapkan Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 tujuan dan 169 capaian yang juga dapat jadi arahan bagi implementasi kebijakan lingkungan dan kemiskinan di setiap negara. Persoalannya bagaimana integrasi antar tujuan dalam SDGs, dan bagaimana tafsir setiap negara terhadap komponen capaiannya.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO (ICH)

Emanuel Oenunu, warga Desa Humusu Sainiup Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara di NTT, Selasa (14/4), menunjukkan jagung hasil pertanian konservasi yang dipraktikkan kelompok taninya, Alek Lalan. Pertanian konservasi yang didampingi Badan Dunia untuk Pangan (FAO) melalui Yayasan Mitra Tani Mandiri (NGO Lokal YMTM) ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas jagung sekaligus memberikan ketahanan pada lahan kering. Metode ini menggunakan prinsip minim pengolahan tanah, penutupan tanah, dan rotasi. Sistem ini mulai direplikasikan Pemprov NTT ke sejumlah kabupaten.

Sebagai contoh, salah satu capaian Tujuan 14 Life Below Water adalah target 10 persen wilayah pesisir dan laut adalah konservasi, ternyata di lapangan di berbagai negara disambut dengan semangat tinggi untuk menetapkan banyak daerah perlindungan laut tanpa mempertimbangkan aspek mata pencaharian nelayan. Akibatnya terjadi marginalisasi dan berbuah pada kemiskinan nelayan. Jadi kebijakan lingkungan malah menyebabkan kemiskinan.

Pendekatan baru ini dapat jadi landasan dan kerangka dalam mengintegrasikan kebijakan penanganan lingkungan dengan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Instrumen baru

Masa lalu kita juga mirip, namun kini di Indonesia hal semacam ini sudah kian berkurang seiring perubahan paradigma kebijakan konservasi yang kian inklusif. Juga, jangan sampai ada kebijakan atasi kemiskinan malah menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti pemberian subsidi untuk petani kentang di sepadan sungai yang ternyata malah menimbulkan sedimentasi sungai. Oleh karena itu agenda penting yang segera harus dilakukan adalah mengontrol capaian SDGs dan integrasi antar tujuannya melalui mekanisme audit dan pengawasan pembangunan.

Salah satu desain penataan Sungai Ciliwung di wilayah Pulo Armin yang dipaparkan mahasiswa IPB di hadapan Wali Kota Bogor Bima Arya.

Oleh karena itu agenda penting yang segera harus dilakukan adalah mengontrol capaian SDGs dan integrasi antar tujuannya melalui mekanisme audit dan pengawasan pembangunan.

Tentu menarik kalau kita mampu menciptakan instrumen baru pengawasan pembangunan untuk mengontrol ini pada kementerian dan lembaga pemerintah. Dengan demikian, pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan bisa lebih terjamin karena harus tercermin dalam setiap kebijakan pembangunan. Sekaligus menjamin  adanya kebijakan lingkungan yang pro-orang miskin dan kebijakan penanggulangan kemiskinan pro-lingkungan