KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga menandatangani spanduk Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi yang menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (15/9/2019). Sejumlah pihak menilai RUU KUPH banyak berisi pasal karet dan bermasalah yang bisa meningkatkan potensi masyarakat tersandung kasus pidana.

Dewan bersikeras mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada akhir periode 2014-2019. Kualitas RKUHP itu dinilai lebih buruk daripada KUHP.

Padahal, KUHP yang kini berlaku adalah peninggalan pemerintah Hindia Belanda, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (1918). KUHP disahkan menjadi aturan yang berlaku di Indonesia dengan UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah KUHP.

Menurut Dewan, RKUHP sudah empat tahun dibahas DPR periode ini dan pemerintah sehingga saatnya disepakati untuk diundangkan. DPR periode 2014-2019 akan berakhir 24 September mendatang. Apalagi RKUHP, terdiri atas dua buku dan 627 pasal, sudah berulang kali disosialisasikan.

Jika ditarik ke belakang, rencana mengubah KUHP itu muncul sejak 1973. Namun, hingga kini harus diakui masih banyak warga, termasuk akademisi dan peminat hukum pidana, yang belum tahu rancangan KUHP itu.

Seperti diberitakan Kompas, Sabtu (14/9/2019), dari tujuh poin krusial yang dibahas DPR dan pemerintah, yaitu hukuman mati, hukum adat, penghinaan pada presiden, kesusilaan, tindak pidana khusus, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup, tersisa dua poin yang masih dibahas. Dua poin itu terkait penghinaan pada presiden dan kesusilaan.

Parlemen menargetkan dalam minggu ini akan mengambil keputusan tingkat pertama dan berharap KUHP baru itu bisa diterima publik. Namun, dari diskusi di masyarakat, tak mudah publik menerima keputusan DPR dan pemerintah itu.

Pasal penghinaan terhadap presiden, atau pasal haatzaai artikelen (penyebar kebencian), misalnya, pada 2006 dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi dalam RKUHP itu dihidupkan lagi. Di sisi lain, aturan soal kesusilaan tak hanya dikhawatirkan akan membatasi hak pribadi, tetapi juga dipenuhi ancaman pemidanaan terhadap masyarakat.

Hukum pidana adalah ultimum remedium atau obat terakhir dalam mengelola masyarakat. Sebagai cara pamungkas, suara rakyat harus lebih banyak lagi didengarkan oleh pemerintah dan wakil rakyat. Walaupun DPR dan pemerintah berwenang membuat UU, rakyatlah pemilik kedaulatan.

Jangan ada warga yang merasa tak didengar. Hukum pidana akan keras dirasakan rakyat karena penerapannya bisa merenggut hak asasi mereka. Orang bisa dipenjara, bahkan dihukum mati, kalau melanggar pidana. Pidana pun harus menjerakan.

Pembahasan RKUHP semestinya juga memperhatikan dinamika masyarakat, termasuk internasional. Belanda tahun 1983 menghapuskan hukuman mati setelah 1870 hanya memberlakukannya untuk kejahatan perang.