Harian Kompas, 21 November 2019 (hlm 13), melaporkan hasil survei global pada pengguna internet di 64 negara. Survei ini menempatkan Indonesia di urutan keempat dalam optimisme terkait kondisi ekonomi negara.
Meski tergolong di urutan teratas, optimisme masyarakat Indonesia turun dari posisi ke-2 atau ke-3 dari hasil survei sebelumnya. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh adanya kekhawatiran akan kondisi ekonomi, kestabilan politik, serta jaminan kesehatan. Hasil survei juga menunjukkan berkurangnya jumlah konsumen yang menabung, bukan karena orang Indonesia tidak suka menabung, melainkan karena uang kas dan dana cadangan memang terbatas.
Informasi tersebut disampaikan menjelang akhir tahun, yang membuat kita tergugah untuk sekaligus mulai mengevaluasi yang sudah kita jalani setahun ini.
Bagaimana saling pengaruh antara faktor makro dengan faktor personal terkait kondisi ekonomi? Apa kaitan antara evaluasi mengenai kondisi ekonomi dengan kepuasan hidup kita? Apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup kita di masa selanjutnya?
Pemenuhan kebutuhan
Joseph Sirgy (2018) me-review beberapa penelitian—umumya bersifat kuantitatif dengan data besar—yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya mengenai kaitan uang atau materi dan kepuasan hidup.
Temuan menunjukkan bahwa kepemilikan materi bagaimanapun berperan terhadap kesejahteraan material dan kepuasan hidup kita. Mereka yang masih berkekurangan atau tidak memiliki aktivitas yang menghasilkan nafkah merasakan kesulitan dan lebih menghayati rasa cemas terkait kemampuannya memenuhi berbagai kebutuhan.
Dari sisi demografi, tampaknya yang paling merasakan tekanan atau ketidakpuasan keuangan adalah mereka yang berusia tengah baya. Itu mungkin karena mereka sedang dalam fase harus mengeluarkan banyak uang untuk keperluan pribadi dan keluarga, seperti membeli rumah, mobil, serta membiayai pendidikan anak.
Perempuan dan laki-laki secara umum tidak menunjukkan perbedaan dalam kepuasan material. Namun, perempuan orangtua tunggal, yang hidup bersama tanpa menikah dan memiliki keluarga tiri, menunjukkan kepuasan yang lebih rendah. Hal ini mungkin karena keterbatasan kondisi ekonomi membuat berbagai kebutuhan sulit untuk terpenuhi dengan baik. Hal itu tampaknya juga berdampak terhadap penghayatan kurangnya kemampuan dan otonomi keuangan.
Menarik, penelitian ini dapat menemukan bahwa individu yang kurang puas dengan sisi-sisi hidupnya, misalnya dalam relasi keluarga atau karier, cenderung mengompensasi dengan menjadi lebih mementingkan materi.
Sebaliknya, penghayatan subyektif akan kepuasan dapat memengaruhi kesejahteraan material. Ini karena orang yang bahagia cenderung senang atau mampu bekerja dengan lebih berkomitmen, dan karena itu juga menghasilkan uang lebih banyak.
Penelitian juga menemukan bahwa semakin besar kesenjangan antara aspirasi material dan capaian nyata keuangan, semakin besarlah ketidakpuasan yang dirasakan. Terkait ini, nilai, gaya hidup, dan kebiasaan berperan penting terhadap kesejahteraan material. Mereka yang menilai tinggi uang dan materi akan punya banyak tuntutan, dan karena itu menjadi lebih sulit merasa puas.
Mereka yang tidak puas dengan kondisi keuangannya pada umumnya akan bekerja lebih keras lagi, dan hal ini membawa perolehan uang lebih banyak. Apakah mereka akan lebih bahagia? Ternyata kebahagiaan tergantung pada bagaimana penghayatan dan perilaku riil kita mengenai uang dan materi.
Pengembangan diri
Mereka yang meninggikan materi dan cenderung pelit akan membanding-bandingkan harga, menawar hingga mendapat harga terendah, punya banyak kepemilikan materi, dan mengumpulkan banyak uang untuk ditabung.
Mereka yang materialistis, tetapi cukup mudah mengeluarkan uang mungkin cenderung ingin pamer, sering mengganti barangnya, mengasosiasikan harga mahal dengan kualitas, mengikuti tren atau gaya-gaya baru yang ditawarkan, dan karena itu, dapat jatuh ke dalam utang.
Sementara mereka yang tidak mengutamakan materi dan sulit mengeluarkan uang cenderung tidak menyukai barang mahal dan hidup sangat membatasi diri.
Penelitian Tatzel (2003) menemukan bahwa yang tidak materialistis dan tidak sebegitu ketat menjaga uangnya adalah yang paling merasa sejahtera apabila dibandingkan dengan kelompok lainnya. Mereka lebih bersedia untuk mengeluarkan uang untuk rekreasi, mengembangkan diri, dan membantu orang lain.
Sikap yang murah hati itu mungkin yang menyebabkan mereka menjadi lebih bahagia. Penelitian lain memberikan jawaban, bahwa mungkin orientasi yang lebih intrinsik (bukan fokus pada materi, tetapi pada pemenuhan kebutuhan yang sifatnya lebih mendalam) yang menyebabkan mereka menjadi lebih bahagia.
Ini harus dibedakan dengan mereka yang sangat senang membelanjakan uang untuk hal-hal konsumtif, apalagi yang sudah menjadi kompulsif. Hal itu justru akan menurunkan kepuasan hidupnya secara umum. Apalagi jika individu banyak membandingkan dengan orang di atasnya, yang ditemukan akan cenderung kurang puas terhadap kehidupannya.
Perlu pula dicatat bahwa ketika kita menghasilkan makin banyak uang, ekspektasi atau tuntutan kita juga akan meningkat. Jadi, belum tentu meningkatnya penghasilan akan meningkatkan kepuasan hidup.
Kondisi ekonomi makro juga akan memengaruhi. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa resesi atau kesulitan ekonomi akan menurunkan perasaan sejahtera dan kepuasan dari masyarakat. Seperti telah disampaikan di atas, kondisi ekonomi, kestabilan politik, serta jaminan kesehatan juga memengaruhi penghayatan akan kesejahteraan ekonomi dan kepuasan hidup secara keseluruhan.
Mengenai hal di atas, pemerintah, dengan dibantu oleh kita semua, perlu terus mengupayakan suasana kehidupan bersama yang positif, menghadirkan jaminan kesehatan dan jaminan hidup yang lebih baik, serta menciptakan peluang-peluang kerja baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar