Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 Desember 2020

Maudy Berbicara Kepada Pohon (PUTU FAJAR ARCANAY


Memuat data...

Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas

Akhir-akhir ini aktris Maudy Koesnaedi sering berbicara kepada pohon. Ketika hari terik, ia dekati pohon-pohon di sekitar rumahnya, lalu berkata,"Everything is okay guys, tapi kalau misalnya lagi berhujan, kebasahan enggak, kelembaban enggak? Kalau ada yang kuning, kamu kenapa? Kalau ada yang tumbuh beda, kamu kenapa beda sendiri?"

Pohon-pohon tak langsung menjawab. Keesokan harinya, ketika Maudy kembali mengunjungi pot-pot di mana pohon-pohon itu tumbuh, ia mendapati suasana yang berbeda. Terkadang muncul tunas-tunas baru atau daun-daun yang makin menghijau.

Maudy seolah mendapatkan harapan baru di tengah situasi pandemi yang tak mudah dilewati. Setidaknya, ia mendapatkan hari-harinya dilumuri kegembiraan walau telah lebih dari delapan bulan hanya berdiam diri di rumah saja.

Tak mudah melalui hari-hari di rumah sendiri. Ketika kecemasan dan ketakutan terhadap sergapan Covid-19 menjelma jadi kepanikan, banyak orang berharap pada pohon. Sejak beberapa bulan terakhir, Maudy menumpahkan segala keresahannya kepada pohon.

Banyak orang juga menanam dan merawat pohon dalam pot-pot yang cantik, lalu diletakkan di sekitar rumah. Tempat-tempat penjualan pohon di ruas-ruas jalan selalu penuh di akhir pekan. Ini pertanda banyak orang menemukan "kasih sayang" dari pohon-pohon.

Ketika berbicara kepada orang, apalagi orang asing, dianggap sebagai ancaman, maka kenyamanan dan keteduhan itu dipancarkan oleh pohon-pohon. Ingat cerpen berjudul "Kecubung Pengasihan" dari Danarto? Perempuan bunting merasa jauh lebih aman berbicara dengan bunga-bunga yang tumbuh mekar di sebuah taman, ketimbang bercerita kepada para lelaki di sekitarnya.

Memuat data...
ARSIP MAUDY KOESNAEDI

Aktris Maudy Koesnaedi dan koleksi tanaman hiasnya.

Sapaan pertama kali yang selalu ia dapatkan justru dari gerumbul pohon bunga di taman itu. Perempuan bunting bahkan meneruskan hidup sebelum mencapai pencerahan dengan memakan bunga-bunga kecubung. Penderitaan sebagai perempuan bunting, yang bahkan tak kebagian makanan di tong sampah, terobati oleh bunga-bunga kecubung.

Aku jadi ingat kisah Siddharta Gautama ketika memutuskan pergi bertapa ke hutan Gaya, yang terletak di tepi Sungai Neranjara. Siddharta kemudian memilih menuju sebuah pohon, yang kelak dikenal dengan pohon bodhi. Di bawah pohon bodhi, Siddarta melakukan tapa semadi untuk menghilangkan keterikatan dirinya pada nafsu-nafsu yang menjerumuskan manusia pada penderitaan.

Ketika benar-benar memperoleh pencerahan, Siddharta melakukan apa yang disebut dengan "menatap tanpa berkedip". Siddharta selama seminggu menatap pohon bodhi yang telah memberikan keteduhan dan melindungi dirinya dari kekejaman hutan Gaya. Ia mengucapkan rasa terima kasih tak terhingga kepada pohon bodhi dan meneguhkan janji tak akan memasuki pintu nirwana, sebelum makhluk lain mencapai pencerahan.

Baca juga: Ada Apa dalam Sate Lilit?

Kelak kau akan mengenal istilah bodhisatwa, seseorang yang menyerahkan diri dengan segala welas asih yang ada pada dirinya untuk kebahagiaan makhluk lain. Bodhisatwa berasal dari pohon bodhi, yang telah menjelma menjadi simbol pencerahan, dan satwa tak lain adalah bermakna dirimu dan makhluk-makhluk Tuhan di sekitar dirimu. Kisah yang berlangsung tahun 588 SM ini, telah menjadi catatan penting untuk menandai relasi intim antara manusia dengan pepohonan.

Tahun 1830, menurut cerita, para pemeluk Nasrani di Jerman mulai mendekorasi rumah-rumah mereka dengan pohon Natal atau cemara saat memasuki bulan Desember. Pohon Natal, kemudian menjelma menjadi simbol "kehijauan" rohaniah yang terus menerus tumbuh, bahkan ketika musim salju.

Ia tidak hanya mengabarkan aura kebahagiaan dan kegembiraan, tetapi menjadi harapan peningkatan dunia rohaniah umat manusia. Jika hari-hari ini kau menemukan begitu banyak pohon Natal menghias sudut-sudut kota atau plasa sebuah mal, semoga hari-hari ini juga ikatan kita kepada pohon semakin lekat.

Memuat data...
KOMPAS/ERIKA KURNIA

Pohon Natal raksasa menyambut pengunjung di Mal Kota Kasablanka, Jakarta Selatan.

Kalau kau pergi ke negeri tetangga seperti Singapura, hampir seluruh ruas jalan meriah oleh lampu kerlap-kerlip, dengan pohon Natal yang tiba-tiba tumbuh di bulan Desember. Betapa pun artifisialnya, kau tak perlu terlalu risau, karena begitulah cara kita dewasa ini menghayati pertemanan kita dengan pohon-pohon.

Jika hutan-hutan telah ludes oleh tumbuhnya gedung-gedung di kotamu, di desaku orang-orang masih merayakan hari raya pohon. Kami menyebutnya sebagai Tumpek Uduh, sebuah hari raya penghormatan terhadap pepohonan.

Tumpek Uduh selalu dirayakan pada hari Saniscara Kliwon Wariga, sebuah pertemuan hari dalam perhitungan kalender Bali, di mana Dewa Sangkara akan turun ke Bumi memberi berkat kepada pohon-pohon agar tumbuh subur, hijau, dan memberi manfaat.

Baca juga: Mak Erot dan Sindrom Maskulinitas

Pada prakteknya, nenekku selalu pergi ke teba(kebun) di sudut barat laut, di mana Dewa Sangkara "bermukim" dalam kosmologi Bali, untuk berbicara dengan pohon. Aku masih ingat nenek selalu berhadap-hadapan "muka" dengan pohon mangga golek yang tumbuh besar dan rimbun.

Dengan terbata-bata nenek berucap,"Nini Nini, buin selae dina Galungan, mabuah apang nged nged…nged…nged…". Doa sederhana ini artinya,"Nenek Nenek, 25 hari lagi Galungan, berbuahlah yang lebat selebat-lebatnya…".

Lalu nenek biasanya, komat-komat dan menepuk-nepuk batang pohon mangga seolah-olah sedang menyentuh kaki seorang tua yang ia hormati. Kalau aku hanya diam saja, nenek memerintahkan kepadaku untuk menatap lekat-lekat pohon mangga golek, dari akar-akarnya sampai kepada pucuk-pucuk daunnya.

Memuat data...
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Saung dibawah keteduhan pohon mangga.

Nyatanya, pohon mangga golek yang besar dan rimbun itu selalu memberi buah tanpa henti. Kendati begitu, nenek tak pernah menjualnya. Ia selalu meminta kepada para cucunya, kalau mengunjunginya ke kebun, yang jaraknya kira-kira 10 kilometer dari rumahku di kota Negara, agar melihat apakah mangga golek sudah ada yang matang. "Kalau sudah matang, silakan kau petik, sisakan kepada saudara yang lain," selalu begitu kata nenek.

Dalam perayaan Tumpek Uduh, memandang pohon sebagai Nini, menjadi semacam pengakuan bahwa pohon-pohon diposisikan sebagai "leluhur", sebagai cikal-bakal atau asal mula. Kitab Bhagawadgita menyebutkan:patram, puspam phalam toyam//yo me bhaktya prayacchati/tad aham bhakti-upahrtam/asnami prayatatmanah// (Siapa saja yang sujud kepada-Ku dengan persembahan/setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah atau seteguk air/Aku terima sebagai bakti/persembahan dari orang yang tulus hati).

Sloka ini menempatkan daun (patram), bunga (puspham), buah (phalam), dan air (toyam), sebagai inti dari persembahan kepada Tuhan. Sudah pasti kau tahu, bahwa daun, bunga, buah, dan air adalah bagian tak terpisahkan dari sebatang pohon.

Baca juga: Kisah yang Tak Betah Jadi Kata-kata

Kita bisa menafsirkannya, jika kitab suci meletakkan bagian-bagian dari pohon sebagai inti dari persembahan, maka sudah selayaknya manusia menghormati pohon sebagai simpul yang menghubungkannya dengan sifat-sifat ketuhanan.

Pada bagian ini, aku harus mengutip kisah mitologi yang amat populer di Bali tentang seorang pemburu bernama I Lubdaka. Sebagai pemburu hewan di hutan, Lubdaka dicap telah "menimbun" dosa yang begitu besar.

Pekerjaannya tiada lain seorang pembunuh, yang memburu hewan-hewan liar lalu dagingnya diperjual-belikan. Kau tahu, membunuh sesama makhluk Tuhan adalah salah satu yang dilarang dalam ajaranku.

Memuat data...
KOMPAS/BENNY DWI KOESTANTO

Puluhan gebogan atau persembahan berupa susunan dan rangkaian makanan, buah dan bunga diusung dalam perayaan Tumpek Uduh di pusat Kota Denpasar, Bali, Sabtu (21/2/2009). Dalam perayaan Tumpek Uduh atau biasa disebut Tumpek Pengatag dan Wariga, umat Hindu Bali memuja Dewa Sangkara, manifestasi Tuhan sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan.

Suatu hari, I Lubdaka sudah jelajahi seisi hutan, tetapi ia tak mendapatkan hewan buruan satu pun. Sore hari ketika lamat-lamat ia menemukan bayangan seekor kijang, ia coba memburunya. Kijang yang lincah itu seketika menghilang di balik rerimbunan hutan. Ketika hari benar-benar gelap dan suara-suara hutan menggema menyeramkan, membuat bulu kuduk I Lubdaka berdiri.

Auman suara harimau, telah membawanya memanjat sebuah pohon rindang yang tumbuh di tepi sebuah telaga. Lubdaka menyelamatkan diri dari sergapan hewan buas dengan duduk di sebuah dahan pohon bilva. Karena takut jatuh jika tiba-tiba ia terserang rasa kantuk, Lubdaka memetik daun-daun bilva dan kemudian menjatuhkannya satu per satu.

Tanpa sengaja daun-daun bilva yang melayang itu menyentuh bagian-bagian tubuh (lingga) Dewa Siwa yang sedang melakukan tapa semadi di bulan mati. Siapa pun yang melakukan laku bakti dengan cara "bergadang" dan merapal ayat-ayat suci semalam suntuk di saat Dewa Siwa sedang melakukan tapa semadi, seluruh dosa-dosanya akan dibersihkan. Benar, ketika I Lubdaka meninggal dunia, ia memperoleh surga, karena dinilai telah melakukan penyucian diri saat hari suci, yang kemudian disebut sebagai Siwaratri.

Baca juga: Misi Kejujuran pada Tubuh

Secara populer kemudian hari raya Siwaratri diperingati setahun sekali, tepat pada Purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kepitu (bulan ketujuh) sebelum bulan benar-benar mati. Biasanya, Siwatri jatuh sekitar bulan Januari dalam penanggalan Masehi. Pada malam Siwaratri, umat Hindu memanjatkan doa dan bergadang semalam suntuk dengan membaca sloka-sloka kitab suci untuk menebus dosa.

Oleh sebab itu, Siwaratri kemudian dikenal sebagai malam peleburan dosa. Daun-daun pohon bilva, di Indonesia dikenal dengan pohon bila, yang dipetik dan diluncurkan Lubdaka, menjadi representasi sloka-sloka suci yang dilantunkan untuk memuja kebesaran Dewa Siwa.

Kalau akhir-akhir ini di sekitar dirimu banyak yang menanam, merawat, dan bahkan berbicara dengan pohon-pohon di pekarangan rumahnya, hendaknya jangan kau cap sebagai keanehan, apalagi "kebodohan". Jika kau lihat Maudy menayangkan gambar-gambar pohon di akun media sosialnya, itu pertanda ia sungguh-sungguh mencintai pohon. Bahkan kalau ia bangun di pagi hari, pohon-pohon selalu menjadi yang pertama ia pikirkan, sebelum menyapa,"Hai…semoga kalian baik-baik saja…"

Memuat data...
ARSIP MAUDY KOESNAEDI

Artis Maudy Koesnaedi.

Sudah pasti aktivitas ini menjadi pengalihan yang jitu akibat penerapan social distancing dan ketakutan berbicara kepada orang asing. Pohon-pohon akan memberimu aura persahabatan, kebahagiaan, dan kedamaian, lewat daun, bunga, dan buah-buahnya yang segar dan ranum.

Luangkanlah waktumu setiap hari untuk berbicara kepada pohon-pohon, ia akan dengan setia mendengarkan segala keresahan, kecemasan, dan ketakutanmu di saat pandemi seperti sekarang ini.


Kompas, 9 Desember 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger