Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 18 November 2014

ANALISIS POLITIK: Perhitungan Baru (Sukardi Rinakit)

SAYA dan teman-teman terharu ketika para senior, seperti Harry Tjan Silalahi, Fahmi Idris, Daoed Joesoef, Abdul Latief, Franky Welirang, Maher Algadri, J Kristiadi, HS Dillon, dan Clara Joewono, dengan sepenuh hati menguatkan hati kami. Mereka menyatakan, Soegeng Sarjadi Syndicate harus dilanjutkan sepeninggal Mas Soegeng yang wafat pada 30 Oktober 2014.

Tentu perhitungan baru harus dilakukan menyangkut kelangsungan hidup lembaga. Namun, itu tidak berarti harus mengorban- kan cita-cita institusional yang sudah diteguhkan selama ini. Hal yang hampir sama, yaitu melakukan perhitungan baru, saya sampaikan kepada beberapa indonesianis muda ketika mereka bertanya tentang nasib Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, dan langkah politik Joko Widodo menghadapi Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen.

Pijakan terpenting bagi PPP dan Golkar untuk melakukan perhitungan baru adalah kesadaran bahwa Pemilu 2019 adalah serentak. Suka atau tidak, para senior yang mengendalikan kedua partai itu telah gagal dalam kontestasi pemilu presiden lalu. Bahkan, kenyataan yang berlaku pada Partai Golkar lebih pahit. Aburizal Bakrie tidak mendapat pintu untuk menjadi calon presiden, wakil presiden, dan otomatis tidak juga menjadi menteri utama karena pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ditundukkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Fakta itu ironis bagi partai sebesar Golkar yang sudah malang melintang lebih dari empat dasawarsa dengan infrastruktur dan kualitas kader partai paling prima. Oleh karena itu, dalam Rapat Pimpinan Nasional Golkar yang akan dibuka hari ini, Selasa (18/11), kesadaran akan perlunya perhitungan baru harus menyebar di seluruh pimpinan Golkar. Evaluasi menyeluruh, khususnya menyangkut praktik oligarki yang melingkar di entitas elite partai, tak bisa dihindari.

Oleh karena roh partai sejatinya ada di tangan ketua umum, siapa pun yang akan terpilih menjadi ketua umum Golkar pada musyawarah nasional awal 2015, dia harus memahami budaya politik masyarakat. Gempuran iklan politik, seperti yang dilakukan Aburizal Bakrie pada Pemilu 2014, terbukti tidak menumbuhkan benih dukungan karena tanahnya belum digemburkan. Dengan bahasa lain, gagal membaca alam bawah sadar masyarakat dan menyentuh budaya politik rakyat (sejarah kampung) serta memperkuat jejaring partai, gagal pula menuai hasil.

Situasi itu akan semakin kritis pada Pemilu 2019 ketika pemilihan anggota legislatif dan presiden dilaksanakan serentak. Salah pendekatan, tidak saja kandidat presiden yang diusung akan gagal mendapatkan dukungan publik, tetapi nasib Golkar tidak tertutup kemungkinan juga akan terjungkal. Pendeknya, Golkar dituntut membangun budaya politik baru yang berbasis pada meritokrasi secara politik dan nir-oligarki.

Selain PPP dan Golkar, perhitungan baru juga harus dilakukan pemerintahan Jokowi. Meskipun kini ada mufakat antara KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bahwa beberapa aturan dalam UU MD3 yang melemahkan prinsip presidensialitas akan dihapus dan 21 unsur pimpinan alat kelengkapan Dewan akan dipegang KIH, secara obyektif dominasi parlemen tetap dikuasai KMP. Secara prediktif, mereka akan konsisten melakukan kontestasi terhadap pemerintah.

Padahal, Jokowi tidak lagi bisa bersandar pada dukungan para relawan. Setelah Konser Salam 2 Jari dan Syukuran Rakyat, mereka telah kembali ke habitat masing-masing dan tidak mudah untuk bergerak bersama lagi, apalagi dimobilisasi guna memberikan dukungan pada kebijakan pemerintah. Sehubungan dengan hal itu, pola constructive engagement yang coba digagas oleh lingkaran dalam istana, misalnya, kemungkinan besar tidak efektif karena tak lebih hanya sekadar bincang-bincang.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa setelah pengumuman kabinet pada 20 Oktober 2014, segitiga politik keseimbangan (relawan-Jokowi-oposan) tidak bisa lagi dipertahankan. Selain para relawan sudah kembali ke ranah masing-masing dan sebagian ada yang kecewa ketika melihat susunan Kabinet Kerja yang secara subyektif kurang sesuai dengan harapan mereka, ibarat suatu ikatan, salah satu sisi dari segitiga itu, yaitu sudut relawan, mengendur jika tidak boleh disebut lepas.

Situasi itu menghadapkan pemerintahan Jokowi langsung dengan para oposan, khususnya yang berada di parlemen. Maknanya, meskipun sudah ada kesepakatan revisi beberapa aturan MD3 guna menegakkan prinsip presidensialitas, semua kebijakan Jokowi tetap potensial untuk dihadang KMP secara terus-menerus. Manuver ini berguna untuk memperkuat eksistensi dan popularitas mereka di mata publik.

Untuk menghadapi situasi tersebut, Jokowi harus mengambil langkah drastis. Penerapan "kartu sakti" (Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera) memang penting, tetapi kebijakan radikal, seperti pengurangan subsidi bahan bakar minyak, perluasan investasi, dan pembersihan mafia, adalah utama. Ini tidak saja akan mengakselerasi cakupan program "kartu sakti", tetapi juga pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik.

Setelah perhitungan baru itu diambil, Jokowi layak mencontoh sikap Megawati Soekarnoputri yang kukuh dan tak pernah tunduk ketika dihantam lawan. Bagi saya pribadi, akan tetap mendukung Jokowi karena dia ujung tombak generasi kami.

Sukardi Rinakit Pendiri dan Ketua Soegeng Sarjadi Syndicate

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010158991
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger