Inti dari berita itu adalah bahwa pemerintah, lewat Kementerian Dalam Negeri, menyatakan, penggunaan e-voting dalam pilkada tahun 2015 masih sulit dijangkau. Walaupun demikian, kalau KPU memutuskan memakai e-voting atau e-counting, pemerintah menyatakan siap.
Apa yang jadi substansi tanggapan pemerintah tersebut tentu bukan hal yang terlalu mengagetkan dan berlebihan jika kita berkaca pada negara lain. Data dari ACE Project menunjukkan, di negara-negara tertentu karena penerapan e-voting berkaitan dengan banyak aspek—teknis maupun nonteknis—ada negara-negara yang kemudian ragu-ragu apakah akan diwujudkan atau tidak. Di tiga negara "besar" seperti Jerman, Inggris, dan Belanda, mereka akhirnya lebih memilih kembali memakai cara manual ketimbang bertahan dengan e-voting. Yang sama dari pembatalan penerapan kebijakan e-voting dalam pemilu di ketiga negara tersebut adalah faktor ketidakyakinan bahwa metode e-voting benar-benar aman (secure).
Di Jerman, Mahkamah Konstitusi Federal negara itu memutuskan pada 3 Maret 2009 bahwa e-voting yang digunakan selama 10 tahun ke belakang, termasuk pemilu tahun 2005, tidak konstitusional dan e-voting tidak digunakan lagi pada pemilu berikutnya. Sebelumnya, ada gugatan yang diutarakan seorang ilmuwan politik Jerman, Joachim Wiesner, yang mengomplain bahwa sistem e-voting dengan mesin Nedap tidak transparan karena tidak mencetak paper trail (kertas pilihan pemilih) dan amat rawan dimanipulasi.
Di Inggris, Komisi Pemilihan Umum Inggris secara resmi menghentikan semua percobaan pemilihan dengan metode e-voting pada bulan Agustus 2007. Tahun 2008, Pemerintah Inggris mengumumkan bahwa e-voting tidak akan digunakan, baik pada pemilu lokal di tahun 2009 maupun pemilu Parlemen Eropa. Alasan utama Pemerintah Inggris menghentikan penggunaan metode e-voting adalah persoalan kekhawatiran terhadap sistem, keamanan, dan kerahasiaan dari e-voting. Di samping itu ada beberapa alasan lain, seperti tidak terlampau signifikannya tingkat partisipasi politik setelah menggunakan e-voting dan permasalahan mengenai keamanan dan ketidakberfungsian ketika e-voting dipraktikkan.
Di Belanda, metode e-voting dengan mesin pemilihan berhenti diterapkan setelah ada demonstrasi yang dilakukan kelompok We Don't Trust Voting Computers pada tahun 2006. Kelompok itu menyuarakan aspirasi mereka, yaitu bahwa kerahasiaan pemilih dengan menggunakan mesin Nedap dan mesin Sdu tidak terjaga.
Empat aspek
Kembali ke soal Indonesia, sejauh ini maju-mundurnya pemanfaatan e-voting dalam pemilu, khususnya pilkada 2015, terjadi dikarenakan banyak sebab.
Pertama, belum ada political will yang jelas dari para pengambil kebijakan. Isu mengenai akan digunakannya e-voting dalam pemilu (baca: pilkada) berawal dari dimasukkannya Pasal 85 Ayat 1 Perppu No 1/2014 yang menyebutkan pemberian suara untuk pilkada dapat dilakukan dengan cara memberi tanda satu kali pada surat suara atau dengan memberikan suara melalui peralatan pemilihan suara elektronik. Kalau tidak ada usulan ketentuan itu, belum tentu ada jalan terbuka ke arah pemakaian e-voting. Belum lagi, perppu tersebut masih akan dibahas di DPR sehingga masih terbuka untuk diterima DPR untuk menjadi aturan resmi atau justru ditolak.
Kedua, ketiadaan cetak biru yang dipakai pemerintah dan DPR. Pemakaian teknologi dalam kompetisi politik tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba, ketika mau, maka langsung saat itu juga dijalankan. Harus ada rencana jangka panjang yang disusun, yang setidaknya terdiri dari tahap pembahasan aturan hukum, penetapan model e-voting apa yang akan digunakan, uji coba, baru setelah itu dilanjutkan ke fase implementasi. Sejauh yang penulis ketahui, BPPT sudah sejak lama menyusun cetak biru tentang e-voting, tetapi karena ketiadaan political will tadi, usulan cetak biru BPPT tidak tersentuh.
Ketiga, aspek yang lebih teknis bertautan dengan belum ada pula keputusan yang "benar" ingin memakai e-voting model apa untuk Indonesia. Sejauh yang penulis ketahui, ada banyak model e-voting, antara lain 1) direct recording electronic (DRE) yang portabel dan tidak memerlukan penggunaan listrik; 2) intranet poll site voting yang menggunakan internet untuk mengirim data dari TPS ke otoritas penyelenggara pemilu; 3) kiosk voting yang menggunakan komputer khusus yang ditempatkan di tempat-tempat publik; atau 4) internet voting yang menggunakan jaringan internet untuk memilih calon.
Dari keempat model itu, pertanyaan mendasarnya, model mana yang akan digunakan untuk pilkada tahun 2015 dan apakah model pilihan tersebut memang paling sedikit risikonya di antara model yang ada.
Keempat, kalau kita berandai-andai model e-voting yang akan digunakan sudah diputuskan, problem berikutnya adalah belum ada uji coba yang serius dan memadai yang dilakukan pemerintah. Uji coba ini menyinggung sederet hal, seperti kepercayaan dari masyarakat dan peserta pemilu, reliabilitas dan validitas mesin e-voting, dan banyak atau sedikit pemilih yang mampu menggunakan cara e-voting.
Kesimpulannya, berangkat dari melihat perkembangan yang ada ditambah keempat sebab yang diuraikan di atas, penulis berkeyakinan bahwa penggunaan metode e-voting dalam pemilu Indonesia masih akan terus berkutat pada jadi atau tidak jadi digunakan. Pengecualian terhadap kesimpulan tersebut hanya berlaku jika pemerintah dan DPR menuntaskan langkah-langkah konkret menuju realisasi dari e-voting itu sendiri.
Ikhsan Darmawan Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010017910
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar