Kekosongan posisi Jaksa Agung, kendati sudah ada Pelaksana Tugas Jaksa Agung, tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Posisi Jaksa Agung begitu strategis karena sosok Jaksa Agung memegang peran sentral sebagai lembaga penuntut umum yang mewakili kepentingan publik. Adanya beberapa jaksa yang terkena kasus kian memperpuruk citra kejaksaan. Kondisi itu menjadi tugas berat Jaksa Agung untuk memulihkan kepercayaan publik.
Pertimbangan memilih Jaksa Agung tidak boleh hanya terjebak atau sengaja dimaksudkan untuk menciptakan harmoni di dalam Kejaksaan Agung. Dengan model kepemimpinan Presiden Jokowi, Jaksa Agung haruslah sosok progresif dan punya visi, bagaimana membawa kejaksaan bergerak maju sebagai ujung tombak penegakan hukum di Indonesia dan melakukan reformasi di tubuh kejaksaan.
Kehati-hatian Presiden dalam memilih Jaksa Agung bisa dimengerti. Namun, kehati-hatian itu harus sejalan dengan niat Presiden Jokowi untuk segera bekerja, bekerja, dan bekerja. Membiarkan kursi Jaksa Agung terlalu lama kosong bisa menciptakan kesan bahwa isu penegakan hukum tidak menjadi prioritas.
Kejaksaan sudah punya 19 Jaksa Agung, 7 orang berlatar belakang militer, 8 orang dari sipil di luar kejaksaan, dan 4 orang dari unsur internal. Kelemahan dan kekuatannya bisa dilihat. Yang penting adalah apakah sosok Jaksa Agung itu punya komitmen kuat dan berkelanjutan untuk memperkuat Kejaksaan Agung atau tidak? Unsur kemandirian kejaksaan dari partai politik haruslah tetap dijaga.
Kita mendorong Presiden Jokowi melihat rekam jejak dan kompetensi calon Jaksa Agung. Jika mereka calon internal, harus dilihat apa yang mereka lakukan selama bertugas di kejaksaan. Adakah pikiran progresif yang dikembangkan untuk membangun kejaksaan dan melakukan penuntutan korupsi, narkotika, serta penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
Kita mau mendorong Jaksa Agung membentuk tim yang kuat dan berorientasi melakukan reformasi Kejaksaan Agung secara serius. Tim itu terdiri dari Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda yang punya visi dan sejalan dengan prinsip penegakan hukum Jaksa Agung. Tim bisa merupakan kombinasi unsur internal atau eksternal. Untuk wilayah pengawasan jaksa yang terasa lemah, ada baiknya dipegang orang dari eksternal kejaksaan.
Dalam semangat tim dengan dipimpin Jaksa Agung yang punya jiwa kepemimpinan, reformasi kejaksaan bisa dilakukan, kemandekan penanganan perkara bisa diselesaikan, intervensi terhadap kejaksaan bisa dihindari, dan pada akhirnya bisa meningkatkan kembali rasa memiliki masyarakat terhadap kejaksaan. Sistem kontrol terhadap penanganan perkara yang melibatkan masyarakat harus terus dikembangkan.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009960087
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar