Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa pada saat itu proporsi penduduk perkotaan (urban) di Jawa sudah mencapai lebih dari 60 persen dan akan meningkat terus, jauh melampaui angka untuk Indonesia keseluruhan yang mencapai 49,7 persen.
Harus dicatat bahwa sesungguhnya laju pertambahan penduduk perkotaan di Jawa mengalami deselerasi dari 4,38 persen per tahun dalam (1990-2000) ke 3,10 persen (2000-2010), sementara laju kenaikan penduduk total di Jawa menunjukkan 1,25 persen per tahun. Penurunan ini tetap tidak mengurangi derasnya urbanisasi, perkembangan kota.
Hal itu sebenarnya sejalan dengan penurunan tingkat fertilitas yang ditunjukkan dengan semakin merendahnya angka laju total fertilitas dari 5,7 pada pertengahan 1960-an (Adioetomo, 1997) ke 2,5 di akhir 2000-an (FMS, 2014).
Pada 2010 terdapat 12 kota di Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa, sembilan di antaranya berada di Jawa. Lebih menarik lagi dari sembilan kota tersebut, enam di antaranya berlokasi di Jabodetabek, kecuali Surabaya, Bandung, dan Semarang. Pada saat ini diperkirakan 20 persen penduduk perkotaan di Indonesia berada di Jabodetabek, yang juga merupakan sekitar 30 persen penduduk perkotaan di Jawa.
Laju tahunan pertambahan penduduk Jabodetabek 3,60 persen. Data tersebut mengindikasikan Jabodetabek semakin menjadi Kota Unggul di Indonesia, sementara itu kontribusi produk domestik bruto (PDRB) metropolitan ini lebih dari 25 persen atas produk nasional bruto selama akhir 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Pola seperti ini mirip dengan Metropolitan Bangkok-Thonburi di Thailand, sebuah Kota Unggul yang sempurna, yang sebagian besar kegiatan ekonomi nasional terpusat di metropolitan itu.
Hasil Sensus Penduduk 2010 memperlihatkan relatif rendah- nya laju tahunan kenaikan kota- kota besar sebagai inti metropo- litan, khususnya Jakarta (1,49 persen), Surabaya (0,53 persen), dan Bandung (1,19 persen), sementara angka untuk kabupaten dan kota yang berdekatan dengan kota besar tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai wilayah tepi jauh lebih tinggi.
Kota Bekasi (4,03 persen), Tangerang (3,71 persen), Cimahi (2,06 persen), Kabupaten Bandung dan Bandung Barat (2,00 persen), Kabupaten Sidoarjo (2,21 persen), dan Kabupaten Gresik (1,59 persen).
Kota Yogyakarta malah mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif, tetapi tetangganya, Kabupaten Sleman, meningkat dengan angka 1,56 persen. Gejala ini sering disebut sebagai Metropolian Turnaround (Jones dkk, 1999).
Perkembangan penduduk perkotaan di Jawa juga sangat dipengaruhi naiknya jumlah lokalitas yang semula berstatus sebagai desa rural menjadi desa urban karena meningkatnya ciri perkotaan pada lokalitas tersebut. Menurut Sensus 2000, di Jawa terdapat 30 persen desa urban dari total 25.015 lokalitas, yang kemudian meningkat pada 2010 menjadi hampir 37 persen dari total 25.202 lokalitas. Jadi, yang juga terjadi di Jawa selama 2000-2010 bahkan hingga sekarang adalah suatu
Kajian yang agak rinci memperlihatkan pula bahwa struktur lapangan kerja pada kota-kota besar di Jawa sudah sangat didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa, tentunya termasuk yang berada di sektor informal sementara manufaktur relatif kecil adanya.
Contoh di Jakarta, dari 4,3 juta pekerjaan yang tercatat, manufaktur hanya 15,6 persen, perdagangan 25,4 persen, jasa 36,9 persen, dan sektor lain-lain 22,1 persen, sementara pola yang sama juga ditunjukkan oleh Kota Surabaya dan Bandung.
Secara keseluruhan olahan data di atas sesungguhnya mengindikasikan suatu proses suburbanisasi secara masif pada kota-kota di Jawa di mana kota inti lebih berfungsi sebagai pusat kegiatan bisnis dan jasa sementara manufaktur dan permukiman bergeser ke pinggiran kota, membentuk perkembangan pita yang tidak terkendali, suatu gejala yang banyak terjadi di sejumlah negara berkembang dan mantan negara sosialis.
Kekhususannya di Jawa adalah bahwa proses ini terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk yang luar biasa tinggi, serta terbentuknya sabuk-sabuk perkotaan yang tumbuh secara masif menghubungkan kota besar, seperti Jakarta-Bandung, Jakarta-Semarang-Surabaya, Yogya-Semarang, dan Surabaya-Malang, sebagai koridor perkotaan yang terbentuk dari jaringan kota-kota besar ataupun kecil.
Keadaannya sangat kontras bila dibandingkan dengan pertumbuhan pusat-pusat perdesaan serta kota-kota kecil dan menengah di Jawa, yang tumbuh dengan laju kenaikan penduduk yang sangat kecil, umumnya di bawah 1,00 persen, kecuali Cilegon (2,44 persen) dan Serang (2,88 persen) yang sangat menonjol yang sebenarnya sudah dapat dianggap dalam wilayah pengaruh Jabodetabek karena jaraknya yang sangat dekat dengan Jakarta. Demikian pula Cimahi (2,06 persen) yang merupakan bagian dari Metropolitan Bandung (Bandung Raya).
Hal itu mengindikasikan kurang berperannya kota-kota kecil dan menengah dalam proses Mega-Urbanisasi di Jawa.
Pertumbuhan perkotaan di Jawa seperti ini sebenarnya sudah mulai terdeteksi sejak pertengahan 1970-an, berkembang terus hingga saat ini menjadi suatu Megaurbanisasi. Proses ini sukar dibendung dan dihindari sesuai dengan kemajuan dalam sosio- ekonomi dan teknologi. Namun, yang menjadi masalah besar pada dewasa ini adalah bahwa proses tersebut tidak terkendali dengan baik, yang telah dan akan berdampak negatif pada kondisi sosial-ekonomi, lingkungan dan geografi, serta keberlanjutan kehidupan di Jawa pada masa yang akan datang.
Masalah seperti perkembangan permukiman yang seperti pita, konversi lahan, penurunan muka air tanah, kemacetan lalu lintas adalah sedikit dari persoalan yang diakibatkan dari urbanisasi serta perkembangan kota dan wilayah yang tidak terkendali. Kekhawatiran yang lain juga adalah daya tampung jika tren perkembangan tersebut terus berlalu seperti saat ini.
Kini sudah saatnya segera mengevaluasi pola pembangunan kota dan wilayah serta penataan ruang beserta implementasinya di Jawa bahkan secara nasional pada berbagai skala (nasional, provinsi, kabupaten/kota, bagian kota), apa yang kurang berjalan dengan baik selama ini, dan mengapa tidak dapat bekerja dengan baik.
Sebagai contoh, apakah pembangunan permukiman berskala besar dan kota baru di pinggiran kota yang sangat lapar lahan akan dipertahankan terus polanya seperti sekarang? Demikian juga pembangunan jalan tol, atau mal yang marak di sejumlah kota. Hal ini sama sekali bukan berarti penolakan secara mutlak akan hal-hal tersebut karena harus diakui ada kebutuhannya. Namun, pembangunan yang tidak terkendali akan membawa masalah bahkan kemungkinan petaka di kemudian hari. Banyak harapan, agar hal-hal tersebut mendapat perhatian dari administrasi Jokowi/JK dan seluruh jajarannya.
Guru Besar ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar