Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 17 Januari 2015

Mengawal Laut Arafura (Augy Syahailatua)

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti gencar memberantas sistem perikanan ilegal dan tidak taat aturan di perairan Indonesia. Salah satu wilayah laut yang menjadi sasaran operasi pembersihan kapal-kapal penangkap ikan ilegal adalah Laut Arafura, termasuk di dalamnya Laut Aru dan wilayah sebelah barat Laut Timor.  

Wilayah Laut Arafura memang telah diketahui marak dengan penangkapan ikan secara ilegal atau biasa disebut IUU (illegal, unregulated, and unreportedfishing. Kerugian negara akibat praktik ini diperkirakan mencapai Rp 20 triliun per tahun (data tahun 2000-2005).

Jumlah kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura saat ini diperkirakan ada lebih dari 1.200 walaupun data resmi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut izin operasi yang dikeluarkan hanya untuk 1.009 alat penangkapan. Dari jumlah itu didominasi pukat ikan, pukat udang, dan pancing rawai dasar, yakni sebanyak 720 unit.

Sejak Ekspedisi Baruna pada 1964, Laut Arafura diketahui memiliki potensi sumber daya laut—khususnya udang— yang sangat melimpah. Kekayaan sumber daya hayati laut ini sangat didukung oleh pasokan unsur hara, terutama fosfat dan nitrat, dari aliran sungai dan hutan mangrove yang berada di sepanjang pesisir timur Papua, Kepulauan Aru, dan bagian utara Australia (Teluk Carpentaria).

Foto satelit juga memperlihatkan kesuburan perairan Arafura hampir terjadi sepanjang tahun dengan tingkat konsentrasi klorofil-a 1-1,5 mg/meter kubik. Selain itu, antara Mei dan Agustus terjadi peristiwa upwelling, yaitu perpindahan vertikal masa air dari dasar perairan ke permukaan, yang mana dalam fenomena ini terjadi juga pengayaan unsur hara yang turut menyuburkan lapisan permukaan Laut Arafura.  Jadi, tak mengherankan, Laut Arafura ini akan tetap menjadi lokasi yang sangat ideal bagi keberlangsungan hidup biota laut, khususnya ikan dan udang, sebagai komoditas perikanan utama nasional.

Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 jenis ikan dan sedikitnya 400 jenis krustasea  yang hidup di Laut Arafura. Belum lagi ditambah dengan hewan laut, seperti lobster, teripang, bulu babi, dan cumi-cumi. Semua potensi hayati laut ini diperkirakan mencapai 855,5 ton/tahun (Kepmen KP No 45/MEN/2011). Udang memang menjadi target utama dari perikanan di Laut Arafura dan biasanya kelompok udang metapenaeus ataumetapenaeopsis sebagai jenis yang diminati pasar domestik dan internasional.

Harus dikawal ketat

Kekayaan biota laut, khususnya ikan dan udang, di Laut Arafura menarik perhatian berbagai pihak untuk meraup keuntungan besar lewat kegiatan penangkapan ikan. Namun, sebenarnya status sumber daya hayati yang masih dianggap layak untuk dieksploitasi adalah ikan pelagis kecil, sedangkan yang lain sudah masuk dalam kategori capaian eksploitasi yang optimal dan berlebih (over-exploited). Hal ini membuat KKP mempercepat penerbitan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Arafura, yang dikenal dengan WPPNRI 718 Laut Arafura.

Dokumen RPP ini memuat tiga tujuan utama, yaitu (1) mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan habitatnya secara berkelanjutan; (2) meningkatnya manfaat ekonomi dari perikanan berkelanjutan untuk menjamin kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan; serta (3) meningkatnya partisipasi aktif dan kepatuhan pemangku kepentingan dalam rangka memberantas kegiatan IUUfishing.

Berbagai pemangku kepentingan dilibatkan dalam implementasi RPP WPPNRI 718 Laut Arafura, termasuk unsur pemerintah pusat dan daerah, TNI dan Polri, perguruan tinggi, lembaga penelitian, LSM, masyarakat nelayan, pimpinan adat, serta mitra kerja nasional dan internasional. Jadi, boleh dikatakan cukup banyak unsur atau lembaga yang terlibat dalam pengelolaan perikanan di Laut Arafura.

Walaupun berbagai unsur telah dilibatkan dalam pengelolaan perikanan di Laut Arafura, negara tetap harus mengawal kawasan seluar 143,5 km persegi tersebut. Masalahnya,  sembilan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan Laut Arafura, yaitu meliputi Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Kota Tual, Maluku Barat Daya, Kepulauan Aru,  Merauke, Mappi, Asmat, dan Mimika, hanya didiami oleh 615.000 jiwa (hasil Sensus Penduduk 2010).

Jumlah penduduk yang relatif sedikit dan tak semuanya menekuni kegiatan di laut membuat Laut Arafura tampak sepi bagaikan rumah tanpa penghuni. Di samping itu, kondisi penduduk yang relatif miskin, dengan tingkat kesehatan rendah dan minim infrastruktur, tak dapat diharapkan banyak berperan dalam membantu mengawal berbagai aktivitas penangkapan di Laut Arafura. Jadi, sangat wajar jika Menteri Susi meminta sampai tujuh kapal perang TNI AL untuk mengawal kawasan itu (Kompas.com, 15 Desember 2014).

 Laut Arafura memang harus dikawal ketat oleh negara, baik dari unsur TNI maupun Polri; kementerian terkait; dan pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sebab, selain memiliki sumber daya laut yang melimpah, Laut Arafura juga wilayah perbatasan negara dengan Australia, PNG, dan Timor Leste. Jadi, tanpa pengawasan yang ketat dan terus-menerus, impian membersihkan Laut Arafura dari praktik perikanan ilegal merupakan isapan jempol.

Konsep untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan Provinsi Maluku sebagai lumbung ikan nasional harus dapat mengakomodasikan rencana-rencana aksi dalam RPP WPPNRI 718 Pengelolaan Terpadu Laut Arafura yang sudah harus dimulai pada 2015. Target utama adalah menjadikan Laut Arafura sebagai lokasi penangkapan ikan dan udang yang potensial dan lestari.  Pertanyaannya, apakah memang benar negara dan pemerintah daerah berkomitmen melaksanakan pengawasan di Laut Arafura ini dengan konsisten?

Augy Syahailatua
Peneliti Utama di Pusat Penelitian Laut Dalam, 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011384128  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger