Meneruskan penunjukan Budi Gunawan atau mencari calon lain menjadi pilihan sulit bagi Jokowi. Ini mengingat Presiden sudah telanjur mencanangkan "revolusi mental" yang memberi sinyal kepada semua pejabat pemerintahannya untuk bekerja keras dan menjauhi korupsi, suap, dan gratifikasi.

Janji suci ini akan tercemar jika Budi Gunawan, yang diindikasikan KPK memiliki dua bukti yang menjadikan dia tersangka, nantinya tetap dilantik sebagai Kapolri. Presiden Jokowi akan dianggap tidak konsisten dengan deklarasi "revolusi mental" yang didukung masyarakat sipil dan masyarakat pada umumnya.

Sebaliknya, jika Presiden Jokowi memilih calon Kapolri lain, hal ini akan bertentangan dengan putusan DPR dan rekomendasi Komisi Kepolisian Nasional. 

Persetujuan Komisi III dan Rapat Paripurna DPR akan semakin sulit dicerna masyarakat, terutama para pendukungnya yang fanatik dengan program reformasi di segala bidang. Dukungan masyarakat akan turun drastis karena putusannya yang tidak mendengarkan aspirasi masyarakat dan tidak konsisten dengan "revolusi mental".

Presiden terjebak

Presiden Jokowi sudah terjebak dalam beberapa putusan kontroversial dan tidak populis, seperti kenaikan harga BBM dan menalangi Lapindo membayar uang ganti rugi kepada para korban lumpur Lapindo.

Menaikkan harga BBM, seperti sudah diduga sebelumnya, akan menaikkan harga kebutuhan pokok sehari-hari dan biaya transportasi. Walaupun harga BBM sudah diturunkan, kenyataannya harga kebutuhan pokok yang sudah telanjur naik tentu tidak bisa serta-merta diturunkan.

Kebijakan yang dibuat grasa- grusu ini sangat mengkhawatirkan berbagai kalangan, khususnya masyarakat sipil dan pendukungnya. Inilah titik balik pemerintahan Jokowi, apakah mau mendengarkan suara rakyat atau tetap bersikukuh dengan putusannya untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Jika Presiden lebih mendengarkan suara DPR dan menafikan suara rakyat, artinya proses hukum di KPK dikalahkan proses politik di DPR. Keadaan keunggulan supremasi politik terhadap hukum sudah lama berlangsung di Republik Indonesia, sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Jika itu terjadi, "revolusi mental" yang memberi harapan baru, sebagaimana disebutkan majalah Time atas terpilihnya Presiden Jokowi sebagai new hope, hanya akan menjadi das sollen, bukan menjadi das sein.

Prihatin, itulah kata yang paling tepat untuk menyebut keadaan ini, terutama bagi para pemilihnya. Pengangkatan seorang pejabat di puncak pimpinan tertinggi lembaga penegak hukum ternyata malah terindikasi adanya keraguan atas integritasnya. Inilah barangkali kejadian pertama di Indonesia, seorang calon Kapolri menyandang status tersangka sebelum dilantik menduduki jabatannya.

Intervensi politik

Sekarang bermunculan spekulasi bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK adalah karena intervensi politik dan bukan murni atas fakta-fakta yang ada.

Apa pun alasannya, KPK tidak akan menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka jika tidak berdasarkan minimal dua bukti. Yang mengherankan adalah kenapa Komisi III dan Rapat Paripurna DPR begitu cepat memutuskan untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, sementara proses hukum sedang berjalan. Padahal, tujuan pemberantasan korupsi, suap, dan gratifikasi haruslah konsisten dan tidak boleh main-main karena yang dihadapi adalah orang-orang kuat, berkuasa, dan berpengaruh.

Sungguh ironis, Undang-Undang Korupsi yang notabene disusun oleh DPR dalam pelaksanaannya justru dilanggar sendiri oleh DPR untuk menyetujui pelantikan seorang tersangka sebagai Kapolri.

Komisi Kebenaran 

Mengingat banyaknya isu calon menteri dan pejabat yang mau diangkat atau ditunjuk terganjal karena diberi tanda merah oleh KPK, dan keadaan ini akan ada terus jika tidak ada penyelesaian tuntas, perlu dipikirkan kembali pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Commission of Truth and Reconciliation).

Hal ini agar penunjukan dan pengangkatan pejabat publik bisa lepas dari persoalan korupsi dan pelanggaran HAM yang dilakukan para pejabat tinggi di masa lalu melalui permohonan maaf di hadapan publik oleh pelaku korupsi dan pelaku pelanggaran HAM yang merupakan penggagas (auktor intelektualis) dan pelaku demi menyelesaikan masalah korupsi dan pelanggaran HAM di masa lalu.

Frans H Winarta
Ketua Umum Peradin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011423827