Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 17 Januari 2015

Rasionalitas Kapolri Non-tersangka (Denny Indrayana)

Akhirnya Presiden Joko Widodo lulus ujian sebagai negarawan. Kebijakannya untuk tidak melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan adalah kebijakan hukum yang rasional. Meskipun mengangkat Pelaksana Tugas Kapolri bukan berarti tanpa masalah, terlebih jika dikaitkan dengan kasus rekening gendut.

Hukum itu logis, rasional. Maka, jika saja seorang calon Kapolri tersangka yang diusulkan Presiden Jokowi, disetujui DPR, lalu tetap dilantik Presiden, yang dicederai adalah hukum yang rasional, hukum yang berpijak pada akal sehat, hukum yang bersandar pada hati nurani. Mengapa irasional, berikut penjelasannya.

Hukum itu tidak manipulatif. Setiap upaya untuk memanipulasi hukum cenderung akan koruptif. Mengatakan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah hak prerogatif presiden tidaklah 100 persen benar, cenderung manipulatif. Setidaknya, lebih tepat dikatakan ini adalah hak prerogatif yang terbatas. Hak prerogatif yang sebenarnya adalah hak mutlak yang melekat pada presiden seorang, tanpa pembatasan dalam bentuk apa pun, dan dijamin penuh oleh konstitusi. Padahal, dalam urusan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, hak presiden dibatasi oleh persetujuan DPR. Lebih jauh, hak presiden itu tidak dijamin dalam konstitusi, tetapi hanya diatur dalam UU Polri.

Hukum itu untuk adil haruslah konsisten, istikamah. Maka, setiap kebijakan, setiap proses yang tidak konsisten, cenderung tidak adil dan cenderung koruptif. Karena itu, ketika Presiden Jokowi melibatkan KPK dan PPATK ketika menyeleksi menterinya, serta tidak melibatkannya dalam proses seleksi Kapolri, inkonsistensi demikian menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa? Pertanyaan yang sama ditujukan kepada DPR, yang sebelumnya melibatkan PPATK dalam uji kelayakan dan kepatutan Kapolri, dan tidak untuk proses kali ini.

Masih banyak pertanyaan lain soal rekening gendut yang sebenarnya layak ditanyakan dalam proses uji kelayakan dan kepatutan: kenapa DPR hanya mendasarkan keputusan pada keterangan sepihak Komjen Budi Gunawan dan hasil pemeriksaan Bareskrim Polri? Kenapa tidak membandingkan dengan data KPK dan PPATK? Kenapa Budi Gunawan tidak dikejar dengan pertanyaan apa bisnis legal yang keluarganya lakukan? Bisnis apa yang dalam 1 tahun bisa menghasilkan aliran transaksi Rp 50 miliar lebih? Kalau itu pinjaman, kenapa pinjaman bisnis dari luar negeri itu dalam rupiah? Kenapa tanpa agunan?

Penegakan hukum itu menolak politisasi, dipengaruhi oleh pertimbangan politik. Yang bisa menjadikan seorang tersangka harus—dan hanya—adanya minimal dua alat bukti yang cukup. Maka, tepatkah argumentasi bahwa KPK sedang bermain politik ketika menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka? Saya berpendapat KPK tidak memolitisasi.

Saya mengetahui, KPK sudah lama membangun komunikasi dengan pimpinan Polri terkait kasus rekening gendut. Hal itu dilakukan sebagai bentuk sopan santun di antara penegak hukum. Kita juga sama-sama mendengar informasi bahwa ketika Presiden Jokowi menyeleksi calon menteri, KPK sudah memberikan catatan merah kepada calon menteri yang terindikasi kuat korupsi. Saya juga mendengar, KPK telah berusaha keras untuk bertemu dan memperingatkan (lagi) Presiden Jokowi sebelum mengusulkan nama calon Kapolri ke DPR.

Dengan berbagai langkah antisipatif dan strategis demikian, KPK justru telah berusaha keras agar kasus ini tidak menjadi bola panas politik. Tetapi, ketika Presiden tetap saja tanpa mendengar dan menemui KPK mengusulkan nama Komjen Budi Gunawan, maka menjadi sangat tepat ketika KPK mengambil langkah lebih tegas dengan menetapkan yang bersangkutan menjadi tersangka. Tentu dengan harapan dan perhitungan, Presiden dan DPR kemudian menghentikan proses seleksi Budi Gunawan sebelum telanjur menjadi Kapolri. Sebab, pastilah lebih sulit dan berbahaya situasinya jika penetapan tersangka dilakukan setelah Komjen Budi Gunawan menyandang bintang empat dan memegang tongkat komando sebagai Kapolri.

Sayangnya, harapan itu meleset. Dengan bersandar pada argumen adanya proses politik di DPR, Presiden dan DPR lagi-lagi tidak menghiraukan warning hukum KPK, dan tetap kekeh meneruskan proses seleksi Kapolri. Dengan data dan fakta demikian, jelaslah bahwa yang konsisten menegakkan hukum adalah KPK, sedangkan yang enggan menghiraukan dan terus melakukan proses politik adalah Presiden dan DPR. Jadi, harusnya makin jelas pihak mana yang memolitisasi kasus ini, yang pasti justru bukanlah KPK.

Selanjutnya, penegakan hukum yang baik itu dapat diprediksi dan karena itu bisa diantisipasi. Maka, setiap kegagalan mengantisipasi penegakan hukum menjadi cenderung tidak adil. Postulat ini penting sebagai dasar argumen bahwa memaksakan calon Kapolri yang tersangka sangat berbahaya. Berdalih penghormatan pada asas praduga tidak bersalah memang terkesan kokoh, tetapi menyesatkan. Harusnya, Presiden Jokowi dan DPR dengan mudah bisa mengantisipasi, bahwa siapa pun yang ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, hampir pasti menjadi terpidana korupsi.

Rekam jejak kinerja KPK terang benderang menunjukkan 100 persen tingkat keberhasilan KPK dalam penegakan hukum kasus-kasus korupsi. Maka, menggantungkan nasib bangsa Indonesia pada kemungkinan besar Kapolri menjadi terdakwa, dan bahkan terpidana kasus korupsi, adalah keputusan politik yang tidak bijak, padahal sangat mudah diprediksi, dan seharusnya mudah diantisipasi.

Akhirnya, moral principle is the foundation of law (Ronald Dworkin, 1986). Prinsip moral adalah fondasi utama hukum. Hukum bukan semata-mata prosedur. Memang tidak ada aturan hukum bahwa calon Kapolri yang tersangka harus mundur atau dinonaktifkan. Yang ada, UU KPK Pasal 12 Ayat (1) Huruf e mengatur KPK berwenang memerintahkan pimpinan/atasan untuk menonaktifkan anak buahnya yang tersangka. Dalam UU Pemda, yang diberhentikan sementara adalah kepala daerah yang telah menjadi terdakwa.

Meski demikian, kita telah mempunyai tradisi ketatanegaraan di era pemerintahan SBY, ketika Menpora, Menteri Agama, dan Menteri ESDM ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, mereka mundur dari jabatannya. Seharusnya moralitas adiluhung demikian yang dikedepankan. Calon Kapolri yang tersangka mestinya legawa mundur dan bukan justru dilantik menjadi Kapolri definitif.

Saya memilih Presiden Jokowi pada Pemilu Presiden 2014. Besar harapan kami Presiden melanjutkan kebijakannya yang tidak melantik Budi Gunawan dengan segera memilih Kapolri definitif yang betul-betul bersih. Jangan biarkan institusi Polri terlalu lama seakan-akan punya tiga jenderal bintang empat: mantan Kapolri Sutarman yang baru akan pensiun pada Oktober 2014, Plt Kapolri Badrodin Haiti, dan calon Kapolri terpilih Budi Gunawan.

Bagaimanapun, Kapolri definitif sebaiknya segera dilantik, yang tentu berdasarkan rekam jejak anti korupsi yang jelas, dan tentunya tidak terkait persoalan rekening gendut. Kali ini dengan revolusi mental dan hukum yang rasional, harus dipastikan, tidak akan lagi terpilih calon Kapolri yang bermasalah, apalagi tersangka kasus korupsi.

Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011433370  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger