Selama ratusan tahun, mereka hidup dari air hujan untuk masak, minum, mandi, mencuci, dan memelihara ternak sapi.
Namun, rasa rendah diri membuat mereka harus berbohong kepada tamu mahasiswa di desa itu. Ketika mahasiswa bertanya apakah teh yang disajikan berasal dari air hujan, tuan rumah menjawab, "Bukan, untuk minum beli air galon."
Keadaan seperti itu tidak layak dibiarkan. Bukankah ini sebentuk peminggiran budaya?
Ada juga pengalaman hebat berkait dengan hujan. Di lereng Merapi Barat, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Pada 3 November 2010 Merapi erupsibesar. Awan panas hitam bergulung-gulung ke arah barat. Namun, hujan deras datang dan awan panas larut dalam air.
Baru kali ini ada air hujan keruh sekali. Bayangkan, betapa gelapnya jika abu tebal itu tidak disapu hujan. Betapa sesaknya bernapas mengirup butiran-butiran abu dan pasir Merapi.
Dalam bahasa ilmu pengetahuan, air hujan menetralisasi udara yang tercemar abu letusan Merapi. Muncullah ungkapan masyarakat, "hujan itu baik hati". Generasi ilmiah menggunakan kata yang keren, Rain Plus.
Hujan yang baik
Kita tahu sekali datang hujan, turun air jutaan liter jumlahnya. Timbul pertanyaan, apakah masalah yang kita hadapi semata-mata karena sebagian air hujan sekarang bersifat asam, atau karena jumlahnya yang terlalu banyak dan serentak dalam waktu relatif singkat?
Jika hujan cuma rintik-rintik, tentu tidak akan menimbulkan masalah. Bahkan jika tiap hari hujan rintik-rintik, udara menjadi segar, tidak panas, oksigen dan ion negatif berlimpah.
Celakanya belum ada teknologi yang bisa mengatur besarnya curah hujan, kapan,berapa lama, dan di mana. Mau tidak mau kita pasrah menerima hujan. Akan menjadi lebih baik lagi bila kita bersikap arif sehingga kita layak menyebutnyaRain Plus.
Mudah-mudahan kita maumembiasakan peka rasa saat waktu hujan datang. Pasti udara terasa dingin dan segar. Tubuh pun terasa lebih sehat. Ini karena polusi udara disapu bersih oleh hujan, tepatnya dinetralkan.
Maka, menjadi terang mengapa hujan menit-menit awal, jika diukur jumlah mineral terlarut menggunakan TDSmeter (Todal Dissolved Solid) angkanya bisa mencapai 20-30 miligram/liter parts per million (ppm). Tetapi, waktu-waktu selanjutnya angka TDS akan turun. Jika hujan sangat deras disertai petir dan durasinya lama, TDS bisa nol ppm, alias air murni atau H2O. Diukurkeasamannya dengan derajat keasaman (pH) tester, di atas angka 7. Bukankah itu air sangat jernih, bahkan melebihi kaca bening!
Lalu apa peran air hujan di darat? Sebelum sampai ke jawaban, kita tahu Indonesia punya begitu banyak sampah, bahkan di selokan dan sungai. Bahkan, lagu dolanan anak-anak di Jawa pun menyuruh membuang anjing mati di kali.
Jelaslah bahwa sadar tidak sadar, masyarakat mempunyai pandangan bahwa sungai itu tempat membuang sampah. Memang di sungai besar, seperti Sungai Progo atau Bengawan Solo, bangkai anjing atau sampah bisa segera hanyut dan terurai, akhirnya menjadi mineral yang menyuburkan tanah-tanah di kiri kanan sungai. Namun, kenyataannya sampah dibuang di semua tempat yang mengalirkan air.
Perlulah disebut kasus Kota Jakarta dan kota-kota lain yang rutin menjadi langganan banjir. Sementara kemampuan air hujan menetralkan racun di darat juga terbatas. Yang bisa terurai oleh air hujan mungkin terlarut sampai kedalaman tanah 10-20 meter. Yang tidak terurai tetap menjadi sampah bermasalah.
Air tanah
Masalahnya masyarakat umum beranggapan bahwa air di dalam tanah itu lebih bersih dari pada air hujan. Padahal, bukankah di tanah terlarut segala racun dan kotoran sampah baik yang ada di darat maupun dari udara ketika hujan datang.
Ada benarnya bahwa air tanah pada kedalaman 10-20 meter tercemar. Buktikan saja dengan TDS meter, sulit menjumpai air tanah yang angkanya di bawah 50 mg/l. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mematok standar air layak konsumsi maksimal 50 mg/l. Bandingkan dengan air hujan yang hanya 20-30 mg/l!
Demi membela masyarakat yang sepanjang tahun menggunakan air hujan, kami meneliti masyarakat Bunder-Jarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten.
Senjatanya cuma dua tester, yaitu TDS dan pH. Ditambah satu alat buatan sendiri, yaitu bejana elektrolisis air yang sudah diajarkan di SMP dan SMA.
Apa yang kemudian membuka mata warga desa itu? Ternyata air hujan adalah air yang rendah mineral. Dari hujan ke hujan, dari bak yang satu ke bak yang lain, bahkan air hujan yang ditampung dalam kedung, tidak ada yang kandungan mineralnya melebih standar WHO, 50 ppm, meskipun warna air coklat atau hijau berlumut. Bahkan, tidak ditemukan air hujan yang asam, baik yang sudah disimpan dalam bak maupun dalam botol tertutup. Semua pH-nya 8 lebih. Malah ada air dalam bak tandon ber-pH 10.
Dari data itu, warga pun menjadi lebih tahu bahwa air hujan memenuhi standar WHO sebagai sumber air bersih dan layak konsumsi. Warga tidak perlu lagi merasa rendah diri, malah sebaliknya bangga pada air hujan sebagai sumber air paling bersih. Soal bakteri jika ada, cukup dimasak hingga mendidih. Namun, air hujan sebenarnya tidak disukai bakteri karena bersih, murni, dan rendah mineral.
Selanjutnya masyarakat kami ajak belajar "mengionisasi" dengan ilmu elektrolisis. Cukup menggunakan dua bejana berhubungan buatan sendiri, kemudian dialiri listrik searah atau DC. Maka, molekul air diurai menjadi ion bermuatan negatif yang bersifat basa (OH-) dan ion bermuatan positif yang bersifat asam (OH+).
Air basa
Apa yang terjadi dengan percobaan ionisasi didiskusikan. Termasuk mencoba meminumnya, terutama yang basa, karena sangat jernih. Tidak hanya enak di lidah, air basa ini membuat masyarakat merasa lebih sehat dan stamina meningkat. Bahkan keringat, urine, tinja, dan mulut menjadi tidak berbau. Berarti sisa-sisa metabolisme tubuh tidak sampai membusuk di dalam tubuh sudah dikeluarkan.
Pada akhirnya, ajaran ibu guru di sekolah dasar dulu, yaitu "kebersihan pangkal kesehatan" sungguh bisa dibuktikan. Gurau warga pun berkembang. Tidak hanya tubuh manusia yang harus bersih. Negara ini juga perlu dibersihkan dari "sampah-sampah" budaya yang tidak jujur, korupsi, dan anggaran siluman, agar negara sehat. Itulah sebabnya mereka mendirikan KPK, Komunitas Pemberantas Kotoran, menggunakanRain Plus itu.
Selanjutnya, kami mengajak pembaca yang ingin tahu lebih jauh untuk hadir di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan, Selasa (31/3) sampai Kamis (2/4). Kami membuat acara dengan topik "Displai Titik Balik Budaya Air Hujan".
V KIRJITOROHANIWAN, TINGGAL DI DESA JAGALAN, MUNTILAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Hujan yang Baik Hati".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.