Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 13 Maret 2015

Menanam Benih Kemandirian (ARIFIN PANIGORO)

Menginjak usia ke-70, sebagai warga negara Indonesia, sudah begitu besar karunia yang saya terima. Saya mesti bersyukur, tetapi tak cukup sekadar menikmati semua hasil kerja selama ini. Harus ada hal lain yang lebih besar untuk dikontribusikan bagi negara dan bangsa di sisa usia ini.

Mengingat rekam jejak dan kompetensi saya di sektor energi, khususnya minyak, gas bumi, dan kelistrikan, mengapa tidak dari sektor tersebut saja saya berbuat yang lebih besar lagi? Begitu pula dengan sektor pangan, yang belakangan menarik minat saya dengan berbagai inisiatif pada pengembangan padi organik dan pencetakan sawah modern.

Kebun energi nasional

Untuk minyak bumi, saya tahu betul Indonesia sudah mengalami fase krisis. Cadangan kita sudah hampir habis. Kurang dari 10 tahun lagi, jika tidak ada temuan baru, produksi minyak dalam negeri akan mencapai titik nol. Padahal, kebutuhan minyak dalam negeri per hari di kisaran 3 juta barrel. Sebuah volume yang jauh di atas kemampuan lifting oilskita, sehingga pemerintah mesti mendatangkan si emas hitam ini dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan warganya.

Belanja impor minyak ini jumlahnya luar biasa. Hitung-hitungan yang ada bahkan pernah mencapai 50 miliar dollar AS per tahun. Suka atau tidak, Indonesia kini memiliki ketergantungan besar dari pasokan impor minyak bumi. Pemerintah sekarang, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, berusaha memangkas besaran belanja negara untuk impor minyak dan merealokasikannya untuk sektor produktif lainnya bagi warga.

Inisiatif pemerintah perlu kita dukung. Tetapi, perlu menjadi renungan bersama. Mengapa? Coba hitung saja. Dengan sisa cadangan minyak bumi yang ada kurang dari 10 tahun, dan meningkatnya aktivitas perekonomian nasional yang diramalkan oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) bakal mencapai negara dengan produk domestik bruto terbesar kelima tahun 2030, bahkan nomor empat pada 2050 dari sisi purchasing power parity, maka perlu upaya luar biasa besar untuk mencukupi kebutuhan sektor energi nasional. Sekarang saja dengan kebutuhan 3 juta barrel per hari, negara sudah keluar duit ratusan miliar dollar AS, mau berapa banyak lagi yang kita gelontorkan untuk mengantisipasi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, seperti yang diramalkan PwC?

Tak heran bila Kompas, edisi 6 Maret 2015, mengangkat peringatan keras dari mentor senior saya, Profesor Subroto, di halaman depan dengan judul "Indonesia di Ambang Krisis Energi". Pak Broto-demikian saya memanggilnya, yang usianya 20 tahun di atas saya-masih tak kenal lelah menyuarakan kepeduliannya pada sektor energi.

Apakah situasi krisis yang diutarakan Pak Broto harus kita diamkan? Kita harus lakukan sesuatu. Jangan sampai anak-cucu kita bergantung pada pasokan impor minyak dengan belanja hingga ratusan miliar dollar AS per tahunnya.

Indonesia mulai sekarang juga mengupayakan lahirnya alternatif sumber energi nonhidrokarbon. Di antaranya dari kelapa sawit yang bisa kita proses menjadi green diesel untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional. Mengapa sawit? Komoditas ini boleh dibilang cukup seksi dan menarik minat berbagai kalangan untuk ikut investasi. Kehadiran sektor ini di Tanah Air sudah cukup panjang untuk masuk ke tingkat industri perkebunan yang menguntungkan bagi banyak pihak.

Alasan lain, Indonesia punya lahan luas. Dari data yang pernah saya pelajari, ada lebih dari 50 juta hektar lahan kritis di Tanah Air. Demi kepentingan nasional, sebagai ikhtiar untuk memperoleh tambahan setara 1 juta barrel per hari minyak bumi, maka kita perlu tambahan lahan sawit sekitar 10 juta ha. Pengembangan sawit sebagai kebun energi nasional ini perlu dukungan kebijakan komprehensif dan keberpihakan dari pemerintah.

Begitu pula masyarakat: mesti terlibat penuh. Pemerintah dengan kebijakan nasionalnya dapat mengalokasikan lahan-lahan kritis dan permodalan untuk membangun kebun energi nasional. Pengembangan kebun energi ini bisa berjalan jika: a) melibatkan semua provinsi yang memiliki lahan kritis untuk dikonversi menjadi kebun energi; b) pemerintah memberi kemudahan kepada pengusaha kelas menengah untuk terlibat agar tidak sepenuhnya mata rantai produksi kebun energi ini hanya untuk perusahaan raksasa semata.

Investasi untuk kebun energi nasional memang tidak murah. Namun, ini untuk memenuhi amanah anak-cucu kita kelak agar mereka memiliki kemandirian energi yang cukup. Besaran permodalan dalam bentuk financial inclusion yang diperlukan dari pemerintah mencapai Rp 750 triliun. Budget sebesar ini muncul dari kalkulasi: setiap 10.000 ha lahan sawit perlu dibangun satu pabrik pengolahan dengan modal mencapai Rp 500 miliar. Artinya, untuk pengembangan 10 juta ha lahan baru, kita perlu 1.000 perusahaan pengelola dengan modal sekitar Rp 500 triliun. Sementara untuk pembangunan 100 green refinery dengan kapasitas 10.000 barrel per hari mencapai Rp 250 triliun.

Dengan komitmen tinggi pemerintah, pembangunan sekian ratus kilang minyak dan kebun energi nasional melalui skemafinancial inclusion yang melibatkan ribuan pengusaha menengah akan lahir pengusaha-pengusaha nasional baru. Gagasan besar ini tak mustahil kita capai. Indonesia dikenal sebagai produsen terbesar dunia dengan total produksi 30 juta ton kelapa sawit per tahun. Keberanian kita untuk alokasikan tanah kritis, dan budget pemerintah, akan melahirkan penghematan setara 50 miliar dollar AS per tahun dari hasil konversi impor minyak oleh produksigreen diesel nasional.

Ekonomi di daerah-daerah yang memiliki lahan kritis yang dibangun kebun energi akan menggeliat kencang. Begitu pula dengan efek berganda dari pembangunan ratusan kilang minyak yang diikuti lahirnya ribuan pengusaha kelas menengah. Langkah besar ini harus dimulai dari sekarang.

Sektor pangan

Di sektor pangan kita harus menggagas kemandirian nasional pula. Indonesia kini dikenal sebagai negara penghasil beras paling mahal dibandingkan negara tetangga. Kondisi ini lahir akibat belum tercapainya kemandirian pangan berupa pasokan beras dalam negeri. Padahal, kita memiliki banyak lahan yang bisa dikembangkan menjadi sawah dengan produktivitas tinggi. Saya telah merintis pengembangan sawah modern di Merauke, Papua. Dari total 1.000 ha yang saya kerjakan, 300 ha di antaranya mulai panen awal April nanti.

Sawah modern yang dilengkapi mekanisasi pertanian dari kegiatan bercocok tanam sampai panen produktivitasnya akan meningkat. Kita perlu tidak kurang 1 juta ha lahan sawah baru. Pada setiap 5.000 ha sawah kita bangun satu pabrik beras dengan kapasitas 40.000 ton gabah kering giling per tahun, yang bisa dikelola satu perusahaan dengan modal sekitar Rp 200 miliar. Artinya, untuk 1 juta ha lahan yang tersebar di berbagai provinsi diperlukan 200 perusahaan baru.

Gagasan besar dalam renungan sektor energi dan pangan ini tentu indah bila menjadi kenyataan. Indonesia akan mandiri energi dan pangan. Juga diikuti lahirnya barisan pengusaha muda yang melibatkan kepemilikan lahan dan proses produksi bersama masyarakat lokal. Semoga, upaya menanam benih kemandirian-seperti judul tulisan ini-dapat menjadi kenyataan.

ARIFIN PANIGOROPRAKTISI BISNIS ENERGI-PANGAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Menanam Benih Kemandirian".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger