Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 13 Maret 2015

Psikologis Rupiah (ANTON HENDRANATA)

Sepintas, level rupiah sedikit di atas Rp 13.000 per dollar AS menjadi beban tambahan yang cukup berat di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Persepsi ini wajar karena nilai rupiah saat ini jauh lebih lemah dibandingkan dengan krisis ekonomi global 2008 yang maksimum Rp 12.650 per dollar AS.

Tampaknya rupiah belum memasuki zona krisis, belum terlihat kepanikan luar biasa di pasar valas, seperti krisis ekonomi global 2008. Pelaku ekonomi dan investor memang mulai getir, tetapi belum dalam tensi tinggi. Likuiditas dollar AS di pasar kelihatan masih dalam taraf normal karena rentang beli (bid) dan jual (offer) di kisaran 5-10 poin.

Bank Indonesia (BI) dan pemerintah melihat, pergerakan rupiah masih bisa ditoleransi, dengan alasan semua mata uang melemah karena penguatan dollar AS. Dalam APBN Perubahan 2015, rupiah diasumsikan Rp 12.500 per dollar AS, dengan deviasi 3-5 persen, saya kira rupiah masih rasional bergerak ke arah Rp 13.200 per dollar AS. Di atas itu, kita patut waspada dan berhati-hati karena sentimen negatif bisa menambah momentum rupiah bergerak liar dan tidak terkendali. Ekspektasi dan psikologis sulit terukur dan bisa melupakan fundamental ekonomi Indonesia yang sebenarnya baik.

Psikologis rupiah akhir-akhir ini jauh berbeda dibandingkan dengan krisis ekonomi global 2008. Tahun 2008, secara mendadak rupiah melemah 39 persen hanya dalam tempo tiga bulan dari Rp 9.073 per dollar AS menjadi Rp 12.650 per dollar AS. Jadi, wajar menimbulkan guncangan dahsyat dalam perekonomian domestik.

Batas ambang pelemahan

Situasi sekarang tampaknya berbeda, pelemahan rupiah terhadap dollar AS bergerak perlahan dan gradual sejak tahun 2011 pada saat Uni Eropa terbelit krisis utang. Dibutuhkan waktu hampir 3,5 tahun untuk mencapai rupiah Rp 13.000 per dollar AS dari Rp 8.500 per dollar AS pada Agustus 2011. Ini artinya, secara rata-rata rupiah melemah sekitar 15 persen per tahun.

Depresiasi rupiah secara gradual menyebabkan pelaku ekonomi mampu beradaptasi dengan baik dan belum pada level ketakutan luar biasa. Namun, level rupiah tersebut tetap saja menjadi tanda tanya besar, sampai level berapa rupiah berhenti melemah terhadap dollar AS. Apalagi, tren indeks dollar AS terus menguat dan selalu mencatatkan rekor tertinggi setiap bulannya. Indeks dollar AS sudah tercatat di 98 per 9 Maret 2015, jauh berada di atas kondisi krisis ekonomi global 2008 dengan indeks 89.

Harus disadari, perekonomian domestik pasti mempunyai batas ambang pelemahan rupiah terhadap dollar AS. Jika terus melemah dan menimbulkan persepsi sangat negatif terhadap rupiah, bukan tidak mungkin rupiah bergerak jauh lebih lemah daripada sekarang. Ini artinya krisis mata uang sudah terjadi dan mungkin berujung pada krisis ekonomi yang tidak kita inginkan bersama.

Melihat arus masuk modal asing di saham dan obligasi yang terus mengalir ke perekonomian domestik sampai Maret 2015, seharusnya bisa menjadi obat penenang bagi pelemahan rupiah saat ini. Persepsi investor asing masih positif terhadap aset finansial Indonesia. Ukuran risiko credit default swap (CDS) lima tahun masih dalam tahap normal, bahkan cenderung menurun ke level 147 per 6 Maret 2015, jauh lebih rendah ketika krisis ekonomi global 2008, yang tercatat 1.257 per 23 Oktober 2008.

Para investor seolah-olah tidak terganggu dengan tren pelemahan rupiah. Bisa jadi, ekspektasi investor, pelemahan rupiah hanya sementara dan akan berbalik menguat. Ini artinya potensi keuntungan yang sangat menjanjikan, berinvestasi pada saat rupiah melemah (mendapatkan barang dengan harga murah), kemudian bisa mendapat tambahan keuntungan dari kemungkinan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Ironis memang, arus modal asing terus mengalir di saham dan obligasi serta investasi langsung (FDI), tetapi rupiah dalam tren melemah. Di saham, nilai beli bersih investor asing sebesar Rp 10,3 triliun (sampai 5 Maret 15), sedangkan kepemilikan asing di obligasi pemerintah terus meningkat menjadi Rp 508 triliun (40 persen dari total obligasi).

Melihat arus modal asing tersebut, bukankah seharusnya rupiah terapresiasi karena peningkatan suplai dollar AS. Apalagi, data neraca pembayaran Indonesia 2014 mencatat surplus 17,4 miliar dollar AS, jauh lebih baik dari kondisi 2013 yang defisit 7,1 miliar dollar AS.

Depresiasi rupiah tahun 2015 agak unik karena harga saham dan obligasi pemerintah masih menunjukkan kinerja positif. Umumnya ketika rupiah terpuruk, akan diikuti rontoknya harga saham dan obligasi. Fenomena janggal ini sebaiknya harus disikapi dengan hati-hati, bukan tidak mungkin keterpurukan rupiah yang terlalu lama, akhirnya akan berimbas buruk ke pasar saham dan obligasi. Kemudian merambat ke sektor perbankan dan perekonomian secara keseluruhan.

Faktor positif perekonomian domestik seolah menjadi mubazir. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan membaik dibandingkan dengan tahun lalu, inflasi yang turun signifikan, dan masuknya arus modal asing terlihat tak berdaya mengangkat rupiah terhadap dollar AS. Yang menyedihkan lagi adalah rupiah juga melemah terhadap semua mata uang negara lain di Asia sampai saat ini. Fenomena yang sama seperti krisis ekonomi dunia 2008.

Situasi global dan arah rupiah

Divergensi pemulihan ekonomi dunia dan mengakibatkan dualisme kebijakan moneter, saya kira penyebab rupiah dan mata uang negara lain melemah terhadap dollar AS. Pemulihan ekonomi AS terlihat membaik sendirian, sedangkan Uni Eropa dan Jepang terlihat masih terjebak kesulitan besar. Sementara Tiongkok berjuang agar penurunan pertumbuhan ekonominya tidak terpuruk terlalu dalam. Suku bunga rendah dan tren penurunan suku bunga terjadi di Uni Eropa, Jepang, Tiongkok, dan lain-lain. Sementara AS cenderung akan menaikkan suku bunganya, menambah pemicu beralihnya modal ke aset finansial yang aman, yaitu dollar AS. Dan, ini yang membuat dollar AS begitu perkasa terhadap mata uang negara lain.

Loyonya rupiah sampai Maret 2015 mungkin ada keterkaitan dengan kinerja rupiah beberapa tahun sebelumnya, terutama tahun 2014. Harus diakui, rupiah jauh lebih perkasa dibandingkan dengan mata uang negara di kawasan Asia selama tahun 2014. Rupiah hanya terdepresiasi 1,75 persen terhadap dollar AS, sedangkan yen Jepang melemah tajam 12,1 persen, diikuti ringgit Malaysia (-6,3 persen), dollar Taiwan (-5,8 persen), dollar Singapura (-4,7 persen), won Korsel (-3,2 persen), yuan Tiongkok (-2,4 persen), dan terakhir rupee India (-1,81 persen). Akibatnya, sekarang rupiah menjadi yang terlemah 4,6 persen dibandingkan dengan mata uang negara di Asia. Ironisnya, rupee India, baht Thailand, peso Filipina, dan dollar Taiwan menguat terhadap dollar AS.

Berkaitan dengan arus modal asing di saham dan obligasi yang tak mampu melawan penguatan dollar AS, ada kemungkinan dana untuk membeli saham dan obligasi sebenarnya sudah ada dalam perekonomian domestik dalam rekening vostro (giro dalam rupiah yang dimiliki orang asing pada bank lokal). Vostro naik signifikan 66 persen, dari 1,4 miliar dollar AS tahun 2013 menjadi 2,4 miliar dollar AS tahun 2014.

Dari sisi penerimaan eksportir, tampaknya sulit diharapkan membantu meningkatkan suplai dollar AS. Penurunan harga komoditas (batubara, kelapa sawit, dan karet) kelihatannya masih berlanjut, ditambah dengan permintaan yang masih lemah karena perekonomian global yang cenderung belum kuat, terutama Tiongkok. Selanjutnya, kemungkinan ada peningkatan yang signifikan terhadap kebutuhan lindung nilai yang tinggi utang luar negeri BUMN dan perusahaan swasta, ditambah adanya utang jangka pendek yang akan jatuh tempo pada April/Mei. Jika ini benar, sifatnya hanya sementara, permintaan terhadap dollar AS akan kembali normal lagi.

Oleh karena itu, menarik untuk ditunggu kira-kira rupiah akan bergerak ke mana lagi? Apakah rupiah sudah bergerak ke nilai fundamentalnya dengan memperhatikan inflasi dan pelemahan mata uang mitra utama dagang Indonesia?

Berdasarkan perhitungan kami menggunakan metode real effective exchange rate (REER), rupiah saat ini sudah berada pada indeks 97. Dengan kata lain, barang ekspor Indonesia lebih kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Ini artinya, level pelemahan rupiah saat ini dalam tahap wajar dan bisa mendukung ekspor Indonesia. Yang menjadi pusat perhatian sekarang adalah sampai seberapa jauh psikologis dan ekspektasi negatif yang akan mewarnai pasar valas domestik.

Ketika psikologis negatif tidak terkendali, bukan tidak mungkin rupiah akan bergerak irasional. Fundamental ekonomi domestik yang sudah cukup baik saat ini bisa sirna digerus krisis rupiah. BI dengan cadangan devisa 115,5 miliar dollar AS pada Februari 2015 saya kira memiliki modal yang bisa diandalkan untuk menjaga rupiah agar pasar valas dan finansial tidak panik. Tentunya juga didukung oleh kebijakan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan BI yang mampu bersinergi dengan baik. Kebijakan yang kredibel dengan arah yang jelas, saya kira menjadi obat yang manjur untuk menenangkan pasar dan pelaku ekonomi. Kepanikan muncul berlebihan ketika kita sendiri panik yang tidak pada tempatnya.

ANTON HENDRANATA

Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Psikologis Rupiah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger