Setiap momen revolusi "mentransformasi hati dan pikiran orang-orang yang terlibat di dalamnya", kata jurnalis-petualang Ryszard Kapuscinski. Reformasi Mei 1998 adalah suatu momen revolusi. Bukan revolusi politik, melainkan suatu revolusi psikis, revolusi mental. Ia mengentak bangsa Indonesia dari kematirasaan psikis (
Kematirasaan psikis membuat manusia menerima dan membiarkan segala macam kejahatan berlangsung di hadapannya tanpa munculnya rasa marah, sedih, atau benci seolah-olah dunia batinnya tertidur lelap. Kondisi itu merupakan akibat dari atmosfer represif yang begitu lama mewarnai kehidupan sehari-hari selama masa Orde Baru yang mengajarkan "tidak usah macam-macam" demi keselamatan diri.
Gaung reformasi yang terdengar di segala penjuru negeri menyadarkan bangsa Indonesia bahwa kejahatan (kriminalitas, tipu-tipu politik, korupsi, dan semacamnya) akan berjaya apabila mereka tidak turut menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran; bangsa ini telah sadar bahwa, meminjam ungkapan negarawan Inggris abad ke-18 Edmund Burke,
Sudah terbukti bahwa sikap peduli ini dapat melahirkan gelombang besar volunterisme semua lapisan masyarakat sebagaimana kita lihat dalam dukungan dan aktivisme sukarelawan (bukan bayaran) yang memastikan terpilihnya Jokowi sebagai presiden dan dukungan kuat yang spontan terhadap Komisi
Revolusi politik dan institusional
Namun, revolusi mental di atas tidak dibarengi dengan revolusi politik dan institusional. Memang menjadi pilihan politik ketika itu untuk tidak memutus segala keterkaitan dengan Orde Baru. Bahkan, partai pendukung Orde Baru pun diakomodasi di dalam rezim politik yang baru. Pilihan politik ini di satu sisi memastikan adanya transisi yang mulus, tetapi di sisi yang lain membuka peluang munculnya kooptasi dan bias-bias terhadap reformasi. Tidak mengherankan apabila kemudian di tataran politik dan institusi muncul kecenderungan
Reformasi tandingan ini ada di relung-relung tiga cabang kekuasaan negara dengan protagonis yang fasih menggunakan bahasa reformasi, mengerti betul hukum dan prosedur-prosedurnya, serta terlibat dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, di tengah hiruk-pikuk politik selama ini, tidak ada perubahan fundamental yang terjadi. Realitas inilah yang oleh John McBeth, penulis laporan utama
Tak bisa dibantah bahwa trias politika Indonesia praktis terkorupsi ketiga cabang kekuasaan ini sampai hari ini masih sarat dengan praktik-praktik korupsi. Demikian pula hasil Indeks Demokrasi Indonesia yang dikeluarkan BPS, Bappenas, dan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan selama lima tahun terakhir menggambarkan kondisi demokrasi di Indonesia yang ditandai adanya ruang dan gairah kebebasan sipil yang tinggi, tetapi tidak disertai kinerja lembaga-lembaga demokrasi yang memadai untuk menjawab tuntutan-tuntutan demokratik yang muncul dari kebebasan tadi.
Akibatnya, tuntutan-tuntutan demokratik yang sah tadi sering mengambil ekspresi yang justru anti demokratik, seperti kekerasan. Parahnya, lembaga legislatif justru merupakan lembaga dengan capaian kinerja yang paling buruk (lihat laporan IDI 2013). Sementara itu, penelitian lain menunjukkan, kinerja lembaga-lembaga penegakan hukum masih dinilai sangat buruk. Konflik KPK dengan Polri yang terjadi berulang kali adalah simtom dari kapasitas dan integritas institusi penegak hukum yang masih belum memadai. Di sinilah revolusi diperlukan.
Presiden Jokowi berada di posisi yang sangat krusial untuk melengkapi revolusi mental rakyat yang sudah terjadi pada Mei 1998 dengan revolusi institusional dan mengoreksi bias-bias reformasi yang telah terjadi. Wewenang dan wibawa kantor kepresidenan yang besar dapat menjadi ujung tombak perubahan yang mendasar di ketiga cabang kekuasaan negara kita. Peluang untuk itu ada dan rakyat pasti mendukung. Sila Presiden Jokowi.
ABDUL MALIK GISMAR,
Associate Director Paramadina Graduate SchoolVersi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Revolusi Institusional, Bukan Revolusi Mental".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar