Siapa pun aspiran atau orang yang ingin menjadi gubernur DKI hanya mendapat dua amanah yang lugas dan gamblang: menanggulangi kemacetan dan banjir. Gubernur telah silih berganti, alih-alih kemacetan berkurang, menurut survei Castrol's Magnetic Stop-Start Index awal Februari, Jakarta justru merupakan kota termacet di dunia.
Kondisi semakin terasa absurd karena kemacetan gila- gilaan terjadi di depan gubernur, menteri, bahkan presiden. Jakarta tidak kekurangan pengamat transportasi, atau planologi, tetapi kemacetan tidak semakin berkurang. Siapa pun akan merasa bahwa pergi ke mana pun sekarang ini membutuhkan waktu lebih lama.
Bahwa kota bertumbuh, ada pembangunan jalan layang, ada pembangunan transportasi massal cepat, hal itu tak bisa dimungkiri. Wajar pula orang harus menerima dampak pertumbuhan ini. Meminjam bahasa sana, ada
Namun, sebagian lain, ada penyebab yang sulit diterima akal, seperti membangun pusat perbelanjaan di tengah jalanan padat, gelontoran kendaraan bermotor tak terkendali, serta adab berlalu lintas yang buruk. Akibatnya pun jelas, miliaran liter bahan bakar senilai puluhan triliun rupiah kita bakar setiap tahun di jalan raya.
Kita tidak menafikan apa yang telah diupayakan Pemerintah Provinsi, mulai dari pembatasan penumpang di jalan protokol, seperti
Semuanya nyaris tidak ampuh. Menurut laporan harian ini Senin (9/3) kemarin, hingga dua-tiga tahun mendatang kemacetan lalu lintas dipastikan kian membelit warga Jakarta dan sekitarnya.
Dibutuhkan inovasi brilian untuk menyelesaikan masalah ini, seperti yang telah banyak dikemukakan, semisal 17 langkah mengatasi kemacetan yang disampaikan Wakil Presiden Boediono tahun 2010. Inisiatif itu bisa ditambah menjadi 20. Namun, tampaknya bukan banyaknya langkah yang bisa mengurai masalah, melainkan bagaimana menerapkan langkah yang tepat untuk situasi dan kondisi yang tepat. Merekayasa lalu lintas secara efektif, misalnya.
Sebagian warga, dengan apa yang tampak dan dirasakan sekarang, sayangnya memendam rasa tak berpengharapan. Bagaimana tidak, sementara infrastruktur tumbuh terbatas dan suplai kendaraan bermotor melimpah, politisi dan birokrat terlibat dalam pertikaian yang menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Kita dan Absurditas Kemacetan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar