Sebagai pelanggan PLN, kami mohon penegasan PLN atas kebijakan cabang PLN Wilayah NTT yang sangat meresahkan masyarakat Kupang. Mereka dipaksa PLN untuk mengganti meteran lama dengan meteran prabayar atau meteran pulsa.
Awal Juli lalu, pada saat kami berada di Jakarta, petugas PLN datang ke rumah kami akan membongkar meteran listrik yang lama untuk digantikan dengan meteran pulsa. Penjaga rumah mencegah pembongkaran itu dan minta agar petugas menghubungi kami melalui telepon seluler.
Kami tegas menolak penggantian itu karena, setahu kami, pemasangan meteran pulsa hanya dilakukan terhadap pelanggan baru atau atas permintaan pelanggan. Petugas PLN mengatakan bahwa penggantian meteran ini merupakan keharusan di seluruh wilayah NTT karena sudah menjadi keputusan PLN.
Pada 7 Juli lalu, penjaga rumah kami mengecek tagihan pemakaian listrik Juni di kantor pos dan memperoleh angka tagihan. Namun, dua hari kemudian, saat akan membayar di kantor pos, data tagihan sudah tidak terlihat di komputer. Begitu pula di kantor PLN; tagihan dimaksud tidak ada. Kami menduga ini merupakan siasat PLN agar kami tidak bisa membayar tagihan pemakaian listrik bulan lalu sehingga dianggap lalai membayar dan menjadi alasan bagi PLN membongkar meteran lama lalu menggantinya dengan meteran pulsa.
Mohon perhatian serius dan penegasan dari pemimpin PLN Pusat.
PAUL DOKO, JALAN JATI PALEM 22, JATI, PULOGADUNG, JAKARTA TIMUR
Negara Hadir di Jalan Tol?
Saya benar-benar tidak setuju dengan pendapat Bapak Warsito di surat pembaca Kompas (22/7), "Negara Hadir di Jalan Tol". Kita sebaiknya tidak melihat kebijaksanaan pemerintah yang cuma bersifat sesaat, lalu kita menjadi terlena.
Diskon tol dari H-10 sampai H+3 Lebaran (14 hari) dengan be- saran 25-35 persen hanya dirasa- kan yang punya mobil. Berapa kali masuk tol sehari? Katakan dua kali sehari. Berarti, untuk tol dalam kota, kita diberi hadiah 14 x 2 x Rp 2.000 = Rp 56.000. Untuk tol termahal, Cikopo-Palimanan, dari Rp 96.000 menjadi Rp 72.000, kita diberi hadiah 14 x 2 x Rp 24.000 = Rp 672.000.
Beberapa kebutuhan rakyat banyak naik tidak terkontrol. Listrik dan air PAM naik tiap tiga bulan entah sampai kapan. Bensin, bahan kebutuhan pokok, dan hampir semua kebutuhan rakyat kecil naik. Sebentar lagi premium dihapus dan diganti pertalite yang harganya jelas di atas premium, berarti BBM kembali naik. Bagaimana dengan tarif angkot?
Nilai rupiah melemah dan ada pejabat bilang, "Tidak apa-apa." Nilai beli kita tambah. Apanya yang tambah? Barangkali tambah bagi yang punya simpanan dollar dan eksportir, sementara utang negara kita dalam dollar AS.
Saya khawatir ada untung yang dikejar, yakni biarlah rakyat mandiri mengatasi masalah sendiri; mau sulit memperoleh kebutuhan pokok, silakan urus sendiri; silakan kencangkan ikat pinggang atau malah mungkin banyak rakyat tak punya ikat pinggang.
Saya sangat salut kepada pemerintah apabila, misalnya, bisa mempertahankan dan menstabilkan kebutuhan khalayak ramai sehingga rakyat kecil bisa hidup tenteram, bukan cuma dalam slogan. Tarif angkutan bisa stabil, tidak seperti saat ini, apabila bensin naik, tarif angkot naik; bensin turun, tarif angkot tetap.
YUS PRIYADI USMAN, KOMPLEKS PELNI BLOK G-VI/9, DEPOK, JAWA BARAT
Uang Insidental di SMA Negeri
Kami orangtua murid hendak menanyakan pungutan uang di sekolah negeri. Saat pendaftaran ulang siswa baru, SMA negeri paling favorit di Medan mensyaratkan pembayaran uang insidental Rp 3 juta serta uang bulanan untuk Juli dan Agustus yang ditandatangani ketua komite dan kepala sekolah.
Mohon penjelasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena, setahu kami, di sekolah negeri tidak ada pungutan sebab sudah ada dana BOS.
Komite sekolah belum melakukan rapat dengan orangtua calon murid, tetapi sudah dimintai uang saat pendaftaran ulang. Lebih baik dihapuskan saja komite sekolah karena menjadi ajang melegalkan pungutan sekolah.
Uang komite di sekolah negeri, terutama yang favorit, sekarang nyaris melebihi uang sekolah di sekolah swasta. Sekolah negeri tak lagi ramah terhadap seluruh lapisan masyarakat. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Protes organisasi dan berbagai elemen masyarakat sudah tak terhitung, tetapi belum ada tindakan pemerintah.
DYAS AMAR, PRINGGAN, MEDAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat kepada Redaksi ".