Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 20 Juli 2015

Strategi Pengadaan Alutsista Baru FAHMI ALFANSI P PANE

Pemerintah dan DPR telah menyatakan tidak akan melakukan pembelian alutsista (alat utama sistem persenjataan) bekas atau dengan hibah lagi.

Namun, pengadaan alutsista baru lebih kompleks daripada pembangunan infrastruktur, pengadaan bahan makanan pokok, dan semacamnya. Anggaran ada, pemerintah dan DPR juga setuju mengadakan alutsista tertentu, namun itu belum tentu terealisasi.

Ambil contoh kasus pengadaan pesawat F-16 dan tank tempur utama Leopard. Rencana awal yang dibeli adalah enam unit F-16 Blok 52 baru, tetapi setelah DPR menyetujui, pemerintah justru menyatakan akan membeli F-16 Blok 25 bekas yang diperbarui dengan jumlah lebih banyak. Begitu pula, rencana pembelian 100 unit Leopard yang semula berspesifikasi 2A6 generasi tahun 2000-an. Setelah dijajaki ke Jerman, sebelumnya sempat ditolak oleh parlemen Belanda, pemerintah menyatakan akan membeli tank Leopard 2A4 generasi 1980-an, plus tank Marder 1A3 dari generasi yang lebih tua.

Dilihat dari perencanaan pengadaan alutsista yang merupakan kombinasi pendekatan teknokratis dan politis, diusulkan secara berjenjang dari pengguna di lapangan dan dibahas oleh Kementerian Pertahanan, Bappenas, dan Kementerian Keuangan. Lalu anggarannya diusulkan kepada DPR, maka TNI dan pemerintah terlihat mampu membuat perencanaan yang baik. Bahkan, sebenarnya TNI juga telah membuat daftar alutsista kondisi kritis yang harus segera diganti karena berisiko bagi keselamatan prajurit.

Perubahan mendadak pada fase pembelian menunjukkan ada tangan tak terlihat di luar mekanisme suplai-permintaan yang biasa dijumpai pada pasar beras, semen, mobil, dan lain-lain. Ada pertimbangan ekonomi, misalnya, menciptakan nilai finansial bagi alutsista yang sudah masuk fase penghapusan, dan menghidupkan industri produsen suku cadang. Namun, yang lebih signifikan adalah pertimbangan politik dari negara produsen, seperti keseimbangan kekuatan di kawasan dan konsekuensi perlindungan bagi sesama aliansi pertahanan dan kerja sama keamanan.

Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara merupakan anggota aliansi pertahanan/keamanan, seperti Five Power Defence Arrangements, atau Mutual Defense Treaty secara bilateral. Bila di antara negara-negara tersebut mempunyai F-16 Blok 52 atau tank Leopard 2A4 yang dapat dicek di The Military Balance, maka Indonesia yang berpolitik bebas aktif akan sulit membeli pesawat tempur dan tank yang melampaui kapabilitas alutsista mereka. Sekurang-kurangnya kapabilitas dan jumlah yang dapat kita beli setara, atau malah kurang darinya.

Indonesia telah menggariskan beberapa prinsip pengadaan alutsista. Dalam Pasal 43 UU Industri Pertahanan terdapat beberapa prinsip, antara lain, impor alutsista dapat dilakukan jika belum dapat dibuat di dalam negeri, mengikutsertakan industri pertahanan dalam negeri, adanya alih teknologi, tak ada syarat politik, dan sebagainya. Namun, niat mulia itu tidak dapat mengikat negara penjual alutsista.

Butuh waktu

Pengadaan oleh industri pertahanan dalam negeri juga membutuhkan waktu, dukungan politik, dan modal. Yang tersulit bukan modal dari APBN, tetapi modal manusia, para ahli dan pakar yang sebagian telah bergabung dengan Boeing, Embraer, dan lain-lain pasca pembubaran IPTN.

Meskipun demikian, seruan Presiden Joko Widodo agar pengadaan alutsista diarahkan pada kemandirian industri pertahanan (Kompas, 2/7) harus diwujudkan. Namun, seruan teknonasionalisme tersebut perlu dilakukan secara cerdik. Penulis mengusulkan untuk pengadaan alutsista berjenis senjata mematikan (lethal weapon) sebaiknya digarap mandiri. Riset dikembangkan oleh Litbang Kementerian Pertahanan/TNI, BUMN, perguruan tinggi pertahanan, dan perusahaan swasta karena industri komponen utama/penunjang/perbekalan dapat dimiliki oleh swasta (Pasal 12-13 UU Industri Pertahanan).

Alternatifnya ada dua. Pertama, produksi bersama dengan industri luar negeri sepanjang memenuhi prinsip Pasal 43. Kedua, pembelian alutsista baru dari negara yang tidak memiliki aliansi pertahanan di kawasan ini.

Adapun pengadaan alutsista non-lethal weapon untuk meningkatkan kapabilitas TNI/Polri, seperti pesawat angkut, kapal medis, kapal survei, dan lain-lain dilakukan secara mandiri, atau dengan produksi bersama BUMN dan industri luar negeri. Pemerintah tinggal meningkatkan kapabilitas pakar dan kapasitas organisasi BUMN, seperti PT DI dan PT PAL.

Yang sangat pelik adalah pengadaan untuk penggantian alutsista kondisi kritis, baik lethal weapon maupun non-lethal weapon. Penggantian harus cepat, dan daftarnya akan bertambah seiring berjalannya waktu.

Akan tetapi, tantangan telah berubah mulai dari konflik antarnegara menjadi konflik dengan pelaku bukan negara. Kini muncul fenomena konflik tumpang tindih negara dan bukan negara dalam bentuk konflik hibrida. Tantangan konflik hibrida akan sulit diatasi dengan pesawat tempur dan kapal perang konvensional.

Amerika Serikat lebih memilih drone, kapal penjelajah pantai yang lebih kecil, penguatan kapabilitas siber, dan kapasitas personel untuk menghadapi konflik hibrida. Bila kita mengadopsinya, maka pengadaan alutsista baru bukan untuk menggantikan yang tua karena alutsista tersebut dibeli saat Perang Dingin dan konflik antarnegara. Selain itu, Indonesia memerlukan alutsista yang lebih banyak untuk misi kemanusiaan dan bantuan bencana alam. Bila prioritas pengadaan alutsista untuk menghadapi konflik hibrida dan bencana, maka industri strategis Indonesia akan lebih mudah memenuhinya.

FAHMI ALFANSI P PANE

Alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Strategi Pengadaan Alutsista Baru".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger