Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 13 Juli 2015

TAJUK RENCANA: Operasi Paripurna KPK (Kompas)

Apresiasi harus diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi ketika lembaga ini masih mampu melakukan operasi penangkapan paripurna.

Operasi disebut paripurna karena dalam operasi tangkap tangan, para penyelidik KPK menangkap tiga hakim tata usaha negara, panitera pengadilan, dan pengacara. Mereka adalah aktor yang bersidang dalam sidang peradilan. Mereka yang ditangkap KPK pada Kamis, 9 Juli 2015, adalah Tripeni Irianto Putro (Ketua PTUN Medan), Dermawan Ginting dan Amir Fauzi (hakim PTUN Medan), serta Syamsir Yusfan (panitera pengganti), dan seorang advokat M Yagari Bhaskara Guntur (Gerry).

KPK memang sudah beberapa kali menangkap penegak hukum. Namun, baru kali ini KPK menangkap secara lengkap aktor yang bermain dalam persidangan, khususnya persidangan PTUN. Yang mengejutkan atau malah menyedihkan, sengketa tata usaha negara itu terjadi dengan melibatkan Kejaksaan Tinggi Sumut yang digugat mantan Bendahara Umum Pemerintah Provinsi Sumut.

Tripeni disebut-sebut hakim terbaik kedua dalam seleksi hakim PTUN yang dilakukan MA, sedangkan Gerry diakui Afrian Bonjol, rekan sekantornya, sebagai pengacara senior. "Dia rising star dan cukup bagus dalam penanganan perkara," kata Afrian (Kompas, 11 Juli 2015).

KPK bergerak cepat dengan menyegel ruang Ketua PTUN Medan dan ruang panitera serta menggeledah Kantor Gubernur Sumatera Utara. Jaksa Agung HM Prasetyo mendukung langkah KPK dan meminta KPK mengungkap tuntas di balik penyuapan tersebut.

Asas praduga tak bersalah harus dihormati, tetapi kita dorong KPK mengungkap kasus jual beli putusan hakim. Jual beli putusan hakim itu mengejutkan dan merusak sendi negara hukum. Putusan hakim selalu diawali dengan irah-irah, "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", bukan berdasarkan kekuatan uang.

Langkah KPK sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo saat menjadi inspektur upacara Hari Bhayangkara. Presiden memerintahkan Polri memberantas mafia perkara. Dengan terus terjadinya perdagangan perkara yang membahayakan eksistensi Indonesia sebagai negara hukum, perlu langkah radikal untuk menciptakan efek jera. Kita memandang pernyataan pejabat, seperti akan memberhentikan hakim setelah ada vonis kekuatan hukum tetap, terlalu normatif dan tidak menolong keadaan.

Perlu dipikirkan semacam kontrak sebelum menjabat, penegak hukum bersedia mundur dari jabatannya jika tertangkap tangan menerima suap. Organisasi advokat harus berani menindak anggotanya yang terbukti memberi suap dan bukan malah berjuang melemahkan KPK. Universitas perlu berani mencabut ijazah lulusannya yang tertangkap tangan korupsi. Dengan prestasi tersebut, KPK harus dipertahankan dan diperkuat kewenangannya. Pikiran membonsai KPK adalah pikiran sesat. Langkah radikal perlu untuk mengatasi kejahatan korupsi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Operasi Paripurna KPK".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger