Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 05 September 2015

Formasi Baru Koalisi Jokowi (SYAMSUDDIN HARIS)

Tak ada angin tak ada hujan, Partai Amanat Nasional tiba-tiba menyatakan resmi bergabung ke pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ada apa? Bagaimana masa depan Koalisi Merah Putih setelah PAN pindah ke pangkuan Koalisi Indonesia Hebat?

Pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan di Istana Negara tersebut cukup mengejutkan. Sebab, PAN selama ini dikenal sebagai parpol yang jadi basis politik Koalisi Merah Putih (KMP), koalisi politik yang semula dibentuk untuk mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pemilu Presiden 2014. Seusai Kongres IV PAN di Bali, yang dihadiri segenap elite politik KMP, Zulkifli yang menggantikan Hatta Rajasa masih mengatakan PAN tetap akan berada di luar pemerintahan bersama-sama dengan KMP.

Perombakan kabinet jilid II?

Tanda-tanda perubahan sikap politik PAN sudah tampak menjelang Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PAN, 6-7 Mei 2015. Sebelum rakernas Zulkifli telah menyatakan untuk mendukung pemerintah meskipun masih berada di lingkungan KMP. Karena itu, rakernas yang turut dihadiri oleh Presiden Jokowi dan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati tersebut akhirnya jadi momentum politik bagi PAN di bawah kepemimpinan Zulkifli untuk meninggalkan KMP dan bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH), koalisi longgar pendukung Jokowi-JK.

Momentum lain yang mengindikasikan perubahan sikap politik PAN adalah kehadiran Zulkifli dalam Kongres PDI-P, yang juga berlangsung di Bali setelah Rakernas IV PAN, pada pekan kedua April 2015. Indikasi berikutnya yang kurang dicermati oleh banyak kalangan adalah fakta bahwa Zulkifli sendiri sebenarnya jarang hadir dalam rapat-rapat petinggi KMP seperti para ketua umum parpol anggota koalisi lain.

Lalu, apa yang diperoleh PAN dengan bergabung ke pemerintah? Seperti dijelaskan secara formal oleh Zulkifli, PAN ingin membantu pemerintah karena turut prihatin dengan kondisi perekonomian nasional yang melambat beberapa bulan terakhir. Dalam bahasa Zulkifli, PAN bergabung untuk "menyukseskan program-program pemerintah". Akan tetapi, apakah benar obsesi Zulkifli hanya untuk membantu pemerintah yang tengah kesulitan mengelola ekonomi?

Sebagai parpol yang pernah berada di dalam pemerintahan bersama-sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode (2004-2014), wajar jika PAN juga berharap memperoleh bagian kue kekuasaan di bawah Presiden Jokowi. Hanya saja karena tak kunjung ada sinyal dari Jokowi terkait keterlibatan PAN dalam Kabinet Kerja hasil perombakan yang lalu, Zulkifli akhirnya mengumumkan perubahan sikap politik PAN tanpa kompensasi politik apa pun dari Jokowi-JK.

Dukungan politik tanpa konsesi apa pun tentu sangat positif. Jika benar tidak ada transaksi politik soal PAN mendapat apa, kapan, dan bagaimana, realitas ini tentu patut diapresiasi. Meski demikian, dalam kehidupan politik bangsa kita yang masih keruh dewasa ini, banyak orang percaya: tidak ada makan siang gratis dalam politik. Karena itu, sebagian kalangan menduga, Presiden Jokowi mungkin saja tetap akan memberikan kompensasi politik kepada PAN, yakni melalui perombakan kabinet jilid II. Kapan waktunya, mungkin hanya Jokowi yang tahu saat yang tepat untuk itu.

Jika benar demikian, kelak akan muncul soal baru bagi Jokowi. Kehadiran PAN, bagaimanapun, bakal memicu munculnya resistensi parpol KIH yang telah mendukung Jokowi selama ini. Masalahnya, setiap bagian kue kekuasaan yang diberikan bagi anggota baru koalisi tentu berdampak pada pengurangan jatah kekuasaan bagi parpol anggota lama. Mungkin faktor resistensi anggota lama ini pula yang menjelaskan mengapa hanya Ketua Umum Partai Hanura Wiranto yang hadir di Istana Negara ketika PAN mengumumkan bergabung ke pemerintahan Jokowi. Bukankah KIH mencakup pula Megawati (PDI-P), Surya Paloh (Nasdem), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Sutiyoso (PKPI)?

Keuntungan Jokowi

Sebaliknya, apa yang diharapkan Jokowi dari bergabungnya PAN? Pertama, keputusan Zulkifli, bagaimanapun, akan mengubah peta formasi koalisi pendukung pemerintah (KIH) dan koalisi oposisi (KMP) di DPR Senayan. Bergabungya PAN (48 kursi) akan menambah kekuatan KIH, yakni PDI-P (109 kursi), PKB (47), Nasdem (36), dan Hanura (16), menjadi total 256 kursi DPR. Itu pun dengan catatan, Partai Golkar dan PPP yang tengah mengalami konflik internal dimasukkan sebagai pendukung KMP. Apabila Partai Demokrat (61) tidak masuk ke dalam salah satu koalisi, kekuatan KMP di DPR tinggal 243 kursi.

Kedua, melalui formasi baru koalisi pendukung pemerintah yang keanggotaannya bertambah tersebut, Presiden Jokowi kini lebih percaya diri dalam mengambil keputusan, terutama berkaitan dengan pembenahan kehidupan ekonomi nasional bangsa yang tengah melambat akhir-akhir ini. Presiden Jokowi tentu berharap agar tak ada lagi hambatan politik di DPR dalam memutuskan kebijakan-kebijakan strategis yang diambil. Melalui tambahan dukungan PAN, Jokowi mungkin juga berharap agar kebijakan pemerintah tidak dipenjara oleh parpol pendukung pemerintah itu sendiri.

Ketiga, dengan bergabungnya PAN, Jokowi kini dapat "sekutu" sekaligus partner politik baru dalam menghadapi friksi internal KIH yang cenderung didominasi oleh Ketua Umum PDI-P Megawati dan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Kehadiran Zulkifli dan PAN akan memberi ruang yang lebih lebar bagi Jokowi untuk mempertahankan pilihan-pilihan politik sendiri di tengah tekanan politik para ketua umum parpol anggota KIH.

Sementara itu, koalisi pengusung Prabowo-Hatta, KMP, dapat diibaratkan kapal besar di tengah samudra yang tidak hanya kehilangan arah dan terombang-ambing ombak, tetapi juga tidak kunjung berlabuh. Setelah gagal mengantar Prabowo-Hatta di Pilpres 2014 yang lalu, tidak begitu jelas siapa sesungguhnya nakhoda kapal KMP hingga saat ini. Prabowo tidak lagi sempat turun langsung memimpin KMP, Hatta sudah tidak memimpin PAN, sementara Aburizal Bakrie sibuk dengan urusan konflik internal Partai Golkar.

Satu-satunya partai yang komitmennya tetap utuh terhadap KMP bisa jadi hanya Gerindra yang kini dipimpin sendiri oleh Prabowo sebagai ketua umum. Golkar dan PPP yang semula mendukung KMP terbelah dalam konflik internal yang belum kunjung terselesaikan. Sementara dukungan PKS di bawahpresiden baru, M Sohibul Iman, mungkin saja tak lagi sekuat ketika partai Islam berbasis tarbiyah ini masih dipimpin oleh Anis Matta.

Di tengah ketidakjelasan arah dan nakhoda kapal KMP itulah, Zulkifli akhirnya memutuskan segera meninggalkan kapal dengan sekoci sendiri menuju pelabuhan KIH. Bagi PAN di bawah Zulkifli, berbuat untuk turut "menyukseskan program-program pemerintah" mungkin dipandang lebih nyata ketimbang bertahan dalam kapal tanpa arah serta tanpa nakhoda yang jelas. PAN di bawah Zulkifli memilih menyelamatkan diri sebelum turut karam bersama-sama dengan parpol KMP lainnya.

Jadi, terlepas berbagai penilaian minor terhadap manuver Zulkifli, perubahan sikap politik PAN di bawah kepemimpinannya patut diapresiasi. Perubahan sikap Zulkifli dan PAN sekurang-kurangnya bisa mendorong para petinggi parpol KMP untuk berkaca: ke mana sesungguhnya arah kapal koalisi yang tak kunjung berlabuh tersebut? Bukankah tujuan akhir setiap kekuasaan adalah berbuat yang terbaik bagi negeri ini tanpa harus dilabeli dengan "KIH" ataupun "KMP"?

SYAMSUDDIN HARIS,

PROFESOR RISET LIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Formasi Baru Koalisi Jokowi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger