Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 Oktober 2015

Format Baru Penanggulangan Terorisme (HERMAWAN SULISTYO)

Tak terasa 13 tahun telah berlalu sejak terjadi peristiwa bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002. Kini, banyak yang sudah lupa akan peledakan bom dengan magnitudo yang luar biasa tersebut. Bom Bali I adalah peristiwa terorisme terbesar pertama sejak peledakan gedung WTC dua tahun sebelumnya, yang kemudian disebut 9/11.

Setelah kejadian bom Bali tersebut, kembali terjadi peledakan bom di Bali, tetapi dengan intensitas yang lebih rendah. Karena dua peristiwa teror bom Bali itu, keduanya diberi denominasi bom Bali I dan bom Bali II. Bom Bali I telah mengubah wajah Indonesia di dunia internasional, mengubah cara pandang dan strategi pemerintah dalam menangani terorisme, dan mengubah nasib Polri secara drastis.

Sebelum bom Bali I, Polri adalah "bekas adik tiri" TNI yang dipandang sebelah mata oleh berbagai kalangan, termasuk para aktivis civil society yang pro demokrasi. Mereka menafikan fakta bahwa justru atas dorongan merekalah Polri berubah dari sebuah institusi militer menjadi institusi sipil untuk memenuhi norma penyelenggaraan negara modern yang demokratis.

Peran koordinatif

Sebelum bom Bali I, Polri tampil terseok-seok, miskin tak punya anggaran, tidak bergengsi sama sekali, dan dilecehkan di semua sektor. Ibaratnya, dijadikan pramuka tidak mau, dijadikan tentara tidak mampu. Oleh karena itu, tidak ada yang percaya polisi mampu menangani bom Bali I secara profesional. Polri saat itu baru memiliki satuan tugas (satgas) bom yang kecil, yang kemudian tumbuh menjadi Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88 AT).

Bahkan, setelah kasus bom Bali I selesai pun masih ada pihak yang tak percaya bahwa anggota-anggota Polri sendiri yang menangani proses investigasi hingga terbongkar. Banyak yang percaya, keberhasilan penanganan bom Bali I itu karena peran Kepolisian Australia (AFP) dan FBI Amerika Serikat. Saya kebetulan saksi sejarah atas kemampuan Polri saat itu.

Kini, secara umum ancaman terorisme telah berhasil dikendalikan oleh aparat keamanan. Setelah bom Bali I, Polri membentuk Densus 88 AT dari sebuah unit satgas bom yang tak signifikan. Densus 88 AT mengalami jatuh bangun dalam perkembangannya, khususnya ketika terjadi dualisme dengan "satgas" khusus yang dibentuk Polri. Mereka menangani kasus-kasus yang sama.

Sementara itu, ketiga matra TNI lain juga membentuk, mengembangkan, dan memapankan unit-unit khusus yang diarahkan pada penanganan terorisme. TNI AD memapankan Detasemen 81 Penanggulangan Teror (Den 81 Gultor) di bawah Kopassus, tetapi relatif otonom dari induknya. Unit ini produk langsung dari kasus pembajakan pesawat Garuda Indonesia Woyla di Thailand. Sementara TNI AL meningkatkan kemampuan Detasemen Jala Mangkara (Den Jaka) dan TNI AU memapankan Den Bravo.

Sekalipun kemampuan keempat detasemen itu tak diragukan lagi, sifat rahasia dan ketertutupan mereka menyebabkan sulit mengukur akuntabilitas publik jika terjadi kasus terorisme. Publik, misalnya, disodori berbagai pemberitaan tentang kasus terorisme berupa pembajakan dan perompakan kapal berbendera Indonesia dan berawak warga negara Indonesia (WNI) di Somalia. Penanganan dan pembebasan sanderanya luput dari akuntabilitas publik, padahal seharusnya membanggakan.

Namun, isu eksistensi dan operasional keempat detasemen itu justru menjadi masalah klasik, terutama dalam hal koordinasi. Pada tingkat kelembagaan, pemerintah memang sudah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dipimpin oleh jenderal bintang tiga. Namun, BNPT masih belum sepenuhnya mampu mengatur overlapping tugas pokok dan fungsi (tupoksi) satuan-satuan khusus tersebut.

Jika terjadi lagi "kecolongan aparat" dengan munculnya kasus terorisme besar, seperti bom Bali I, mungkin sekali keempat unit khusus anti teror tersebut akan overlapping penanganan atau bahkan mungkin saling lempar tanggung jawab. Pada kasus hipotetis seperti itu, BNPT dapat mengambil peran koordinatif yang efektif dan memenuhi norma penyelenggaraan pemerintahan demokratis ataupun norma universal, antara lain sebagai berikut.

Pertama, pemilahan fungsi dan pembagian tugas didasarkan pada kategori korban, pelaku, dan lokasi kejadian (TKP). Jika semua korban dan pelaku adalah WNI dan peristiwa terorisme terjadi di wilayah hukum RI, seluruh penanganan dilakukan oleh polisi. TNI tidak perlu ikut campur karena persoalan akuntabilitas di dunia internasional dan Densus 88 AT punya kemampuan untuk tugas ini.

Kedua, jika TKP di dalam negeri RI, tetapi ada warga negara asing yang terlibat sebagai pelaku ataupun korban, leading sector penanganan adalah Polri dengan bantuan atau dukungan (BKO) TNI. Bantuan TNI diperlukan mengingat hadirnya unsur asing yang dapat dikategorikan masuk dalam ranah pertahanan sesuai amanah Pasal 30 UUD 1945.

Ketiga, jika TKP di luar wilayah hukum RI, tetapi melibatkan pelaku atau korban WNI, leading sector penanganannya pada TNI dengan BKO dari Polri. Kasus perompakan kapal di Somalia dengan korban WNI adalah contoh gamblang. Jika saja waktu itu penanganan gagal, mungkin akan saling lempar tanggung jawab.

Alasan akuntabilitas

Polri dilibatkan dalam semua kategori kasus karena alasan akuntabilitas investigasi dan penyelesaian hukum. Betul bahwa terorisme merupakanextraordinary crime (kejahatan luar biasa), tetapi "it is still a crime". Terorisme tetap saja tindak kejahatan sehingga penanganannya perlu akuntabilitas hukum.

Konsekuensi dari status terorisme sebagai tindak kejahatan adalah akuntabilitas  penanganan melalui kerja dan bukti forensik. Pada kasus bom Bali I, saya didatangi lima duta besar yang warganya jadi korban. Mereka menegaskan, kalau kerja polisi Indonesia tidak bisa dipertanggungjawabkan, pemerintah mereka akan mengambil tindakan tegas.

Konstitusi negara mereka mewajibkan perlindungan mutlak bagi warga negaranya. Pada kasus ekstrem, dimungkinkan untuk melakukan investigasi sendiri. Jika kesimpulannya adalah tersangka berbeda dari temuan polisi Indonesia, mereka akan "mencomot sendiri" tersangka versi mereka, bahkan kalau perlu perang dengan Indonesia.

Memang tidak mudah syarat rules of engagement untuk suatu perang dari kasus terorisme yang terpenuhi. Waktu itu, saya juga tak percaya kemungkinannya akan sampai sejauh itu. Namun, tetap saja opsi yang mereka ancamkan merupakan sesuatu yang bukan mustahil terjadi.

Pekerjaan untuk mendapatkan jejak dan bukti forensik adalah fungsi kepolisian universal. Di negara tertentu, fungsi ini ditopang oleh lembaga forensik independen. Netherlands Forensic Institute di Belanda, misalnya, yang pernah menemukan jejak forensik peracunan Munir sekalipun kasusnya menguap ke langit.

Pembagian fungsi seperti ini juga dilakukan oleh Jerman. Satuan khusus anti teror mereka, yaitu GSG-9, salah satu unit khusus anti teror terbaik di dunia, adalah unit kepolisian perbatasan Jerman. Namun, GSG-9 tak memonopoli tupoksi unit anti teror. Mereka justru melatih unit-unit serupa di bawah militer.  Dengan pembagian tupoksi tersebut, setiap unit bisa lebih fokus. Setiap detasemen juga lebih mudah mengembangkan subspesialisasi masing-masing. Densus 88 AT, misalnya, tidak lagi berpretensi jadi seperti unit pasukan tempur. Ketiga detasemen matra TNI lain juga tidak berpretensi menguasai kemampuan forensik karena itu bukan tupoksinya.

Tanpa pengaturan "kapling-kapling" seperti itu, yang terjadi adalah rebutan panggung. Jika demikian, detasemen-detasemen khusus itu diganti saja namanya menjadi Den Bagus, Den Ayu, Den Mas, dan Den Ngabehi karena mereka rebutan panggung yang sama.

 HERMAWAN SULISTYO

KEPALA PUSAT KAJIAN KEAMANAN NASIONAL UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA; EKSPONEN INVESTIGASI BOM BALI I

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Format Baru Penanggulangan Terorisme".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger