Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 19 Oktober 2015

"Kejutan" Tahun Pertama (SALDI ISRA)

"Kami berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi lembaga penegak hukum."
DIDIE SW

Komitmen ini merupakan janji pertama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada sembilan agenda prioritas (angka 4) ihwal penegakan hukum yang tertuang dalam Nawacita.

Tak sampai di situ, guna memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum, Jokowi-Kalla menegaskan komitmen khusus dalam agenda pemberantasan korupsi. Hal itu tertuang dalam janji kedua agenda prioritas keempat: "Kami akan memprioritaskan pemberantasan korupsi secara konsisten dan tepercaya dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi".

Dengan membaca arah penegakan hukum sebagaimana tertuang dalam agenda keempat Nawacita yang diuraikan menjadi 11 poin, masyarakat memiliki alasan lebih dari cukup untuk optimistis akan perbaikan wajah hukum dan pemberantasan korupsi. Alasan tersebut menjadi kian kuat dengan membaca kebijakan penegakan yang didetailkan menjadi 42 prioritas. Dari 42 prioritas tersebut, sebagian besar merupakan komitmen dan sekaligus penegasan atas masa depan agenda pemberantasan korupsi.

Setelah satu tahun Jokowi-Kalla berada di panggung kekuasaan, pertanyaan dan evaluasi mendasar patut dikemukakan: bagaimana wajah penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi direalisisasikan? Adakah Jokowi-Kalla mampu menghasilkan kejutan bermakna dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sepanjang tahun pertama?

Agenda legislasi

Secara jujur harus dikemukakan, agenda penegakan hukum yang dituangkan menjadi 42 agenda prioritas cukup mampu mengidentifikasi sebagian persoalan hukum yang terbilang serius. Misalnya soal legislasi, banyak kalangan berpendapat, karut-marut wajah penegakan hukum sebagian disumbang oleh persoalan substansi hukum yang tumpang tindih, disharmonis, dan multitafsir. Dalam batas penalaran wajar, substansi hukum yang demikian hanya mungkin dihindarkan jika proses legislasi dilakukan secara benar.

Disebabkan masalah tersebut, jamak diketahui, misalnya, masalah substansi hukum dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar atas kegagalan menghentikan gurita praktik korupsi. Selain norma yang kabur, substansi hukum mudah terjebak dalam pertentangan antara yang satu dan yang lain. Ihwal ini, banyak pihak menengarai, substansi demikian bukanlah kebetulan belaka (by accident), melainkan sengaja dibuat (by design) guna memudahkan berkelit dari jerat kasus korupsi. Acap kali, dengan aturan hukum demikian, penegakan hukum berkembang menjadi lahan baru praktik koruptif sebagian aparat penegak hukum.

Karena itu, ketika sekitar 25 persen agenda penegakan hukum Jokowi-Kalla terkait dengan persoalan legislasi, banyak kalangan berharap akan terjadi perubahan mendasar demi memperbaiki wajah penegakan hukum. Namun, sepanjang tahun pertama belum dapat dilacak dan dibaca secara jelas perubahan mendasar agenda legislasi. Bahkan, merujuk perkembangan terbaru, untuk mengatasi persoalan-persoalan tertentu, Jokowi-Kalla sengaja memilih jalan pintas yang belum tentu dapat menyelesaikan persoalan secara tepat. Misalnya, ketika pemerintah menghadapi masalah penyerapan anggaran rendah, dengan cepat disimpulkan: meningkatnya intensitas pemeriksaan oleh aparat penegak hukum menimbulkan ketakutan bagi penyelenggara negara (baik pusat maupun daerah) untuk menggunakan anggaran.

Karena anggapan tersebut dan demi meningkatkan penyerapan, (segera) dibuat aturan hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi penyelenggara negara dari kemungkinan ancaman jangkauan penegak hukum. Bisa jadi, untuk kebutuhan sesaat, pilihan jalan pintas dapat meningkatkan penyerapan anggaran pemerintah. Namun, dalam bangunan sistem, memilih jalan pintas sangat mungkin menimbulkan persoalan hukum baru yang lebih serius. Salah satu di antara masalah yang paling ditakutkan: jalan pintas perlindungan tersebut sangat mungkin menggerogoti agenda pemberantasan korupsi.

Dalam masalah ini, pendapat mayoritas penyelenggara negara bahwa mereka tidak berani menggunakan anggaran karena takut masuk dalam tindak pidana korupsi harus dibuktikan terlebih dulu kebenarannya. Tanpa itu, bukan tidak mungkin ketakutan tersebut sengaja dibesar-besarkan untuk mendorong aparat penegak hukum mengendurkan agenda pemberantasan korupsi. Selain itu, langkah membentuk aturan hukum dengan tujuan memberikan perlindungan berpotensi menabrak sejumlah peraturan yang lebih tinggi, terutama undang-undang di ranah penegakan hukum.

Pemberantasan korupsi

Semestinya, jika hendak berpikir secara sistematis, Jokowi-Kalla harus mulai dengan pembenahan legislasi secara benar. Sayangnya, sampai satu tahun memegang kuasa, belum terlihat pergerakan signifikan memperbaiki situasi melalui proses legislasi. Padahal, sebagaimana dituangkan dalam agenda prioritas di bidang hukum, Jokowi-Kalla berjanji melakukan terobosan besar, termasuk di dalamnya legislasi yang mendukung pemberantasan korupsi. Jangankan menunjukkan gerak pasti ke arah itu, secara kuantitatif, pemerintah (dan DPR) berada dalam periode produktivitas yang sangat memprihatinkan.

Sama halnya dengan agenda legislasi, Jokowi-Kalla datang dengan komitmen yang jauh lebih menjanjikan. Bahkan, jika dibandingkan untaian janji pemberantasan korupsi yang pernah dikemukakan Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi-Kalla sepertinya akan menjadi periode paling memberikan harapan. Penilaian tersebut secara mudah dapat dibaca dari komitmen penegakan hukum mereka. Misalnya, secara eksplisit pasangan ini berjanji untuk membentuk regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi.

Tak hanya itu, di tengah praktik korupsi yang begitu masif, Jokowi-Kalla secara eksplisit menegaskan akan mendukung penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan pendanaan lembaga ini. Lebih dari itu, komitmen mereka begitu memesona: menyediakan sumber daya lain yang dibutuhkan KPK dan menolak segala bentuk pelemahan lembaga ini. Di antara dasar argumentasi Jokowi-Kalla sampai pada komitmen begitu, KPK merupakan lembaga yang menjadi tumpuan dan harapan masyarakat dalam memberantas korupsi.

Seperti macan kertas, pohon janji yang begitu memesona dengan cepat luntur. Yang tersisa ancaman kehancuran KPK. Hanya berjarak sekitar tiga bulan dari pelantikan Jokowi-Kalla, KPK mengalami tragedi dan nasib yang paling memilukan sejak kehadirannya. Sebagai ikutan dari penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, KPK benar-benar memasuki masa paling sulit dan berada dalam situasi menuju titik kehancuran. Ketika ancaman kehancuran kian nyata, Jokowi-Kalla memiliki kesempatan emas merealisasikan janji mereka menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK.

Sayangnya, begitu Bambang Widjojanto ditangkap dan dijadikan tersangka serta diikuti penetapan Abraham Samad dengan status yang sama, tidak terlihat arah yang jelas untuk menyelamatkan KPK. Bahkan, begitu KPK bermandikan suasana takut yang tak terhingga, janji menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK seperti menjadi bagian pula dari ketakutan tersebut. Padahal, dengan segala kapasitas yang dimiliki Jokowi-Kalla, mereka dapat menghentikan segala bentuk aksi yang berpotensi menghancurkan KPK.

Oleh karena itu, sebagaimana dinukilkan sebelumnya (Kompas, 19/3), dalam batas penalaran yang wajar, memberikan perlindungan terhadap KPK dari segala macam bidikan atau serangan yang berpotensi melumpuhkan lembaga ini wajib hukumnya. Sebagai sebuah imaji yang berkelindan dengan kemestian agenda anti korupsi, sulit membayangkan masa depan pemberantasan korupsi minus kehadiran KPK.

Revisi UU KPK

Dalam satu tahun pertama Jokowi-Kalla bukan tak pernah muncul sikap yang menunjukkan upaya penolakan terhadap skenario pelemahan KPK. Pengujung Juni 2015, misalnya, sikap tegas Presiden Jokowi menolak revisi UU No 30/2002 tentang KPK (UU KPK) mendapat apresiasi luar biasa dari banyak pihak. Tidak hanya dalam soal UU KPK, Presiden Jokowi juga menolak proposal dana aspirasi yang diajukan sejumlah fraksi di DPR. Saat muncul penilaian bahwa Jokowi sedang berada di titik balik menghadapi berbagai tekanan, penilaian tersebut lebih disebabkan sikap tegasnya menolak revisi UU KPK.

Namun, ketika beredar naskah usulan perubahan UU KPK, Jokowi seperti gagal menjaga momentum mengulangi penolakan secara tegas revisi UU KPK. Kegagalan ini dapat dibaca dari hasil pertemuan antara pimpinan DPR dan pemerintah (13/10) di Istana Negara. Pada kesempatan ini, Jokowi seperti tengah menganulir ketegasan sebelumnya dengan substansi kesepakatan menunda pembahasan revisi UU KPK hingga masa sidang berikutnya (Kompas, 15/10). Seharusnya, dengan membaca substansi naskah usulan perubahan yang muncul ke publik, Presiden Jokowi bertahan pada posisi sebelumnya: menolak revisi UU KPK. Disadari atau tidak, dengan adanya kesepakatan menunda hingga masa sidang berikutnya, masalah ini hanya diendapkan sementara.

Dalam batas penalaran yang wajar, pergeseran sikap ihwal desakan untuk merevisi UU KPK menjadi bukti bahwa upaya pelemahan KPK masih akan terus bergulir dan menjadi sulit dihentikan. Padahal, dengan posisi KPK yang sedang dan terus terancam, sama dengan membiarkan kelanjutan agenda nasional pemberantasan korupsi terus berada dalam ancaman. Banyak kalangan percaya, bilamana kembali menegaskan bahwa pemerintah atau Istana tidak dalam posisi merevisi UU KPK, Presiden Jokowi sungguh-sungguh hendak menjaga dan menyelamatkan KPK. Bagaimanapun, penegasan semakin diperlukan karena substansi draf tersebut tak hanya melemahkan, tetapi juga hendak membunuh KPK.

Dilihat dari momentum, penegasan demikian dapat menjadi catatan penting dan kado istimewa menuju satu tahun pemerintahan Jokowi-Kalla. Tatkala ketegasan untuk menyelamatkan KPK yang sekaligus menyelamatkan masa depan agenda pemberantasan korupsi tidak terucap, satu tahun pemerintahan Jokowi-Kalla berlalu tanpa kejutan apa pun. Kalaupun dengan terpaksa tetap mesti dikatakan ada, kejutan tersebut harus diletakkan dalam tanda petik.

SALDI ISRA

GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul ""Kejutan" Tahun Pertama".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger