Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 19 Oktober 2015

Tajuk Rencana: Rusia, AS, dan Suriah (Kompas)

Sungguh malang nasib yang menimpa Suriah. Ibarat kata, negeri itu sudah jatuh tertimpa tangga; menjadi ajang perta-

rungan kekuatan besar.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Suriah telah menjadi mandala proxy war, perang proksi, tidak hanya antara Rusia dan AS, tetapi juga antara Turki dan Kurdi, antara Arab Saudi dan Iran. Apa yang terjadi di Suriah bukan lagi sekadar perang saudara, perang sektarian, tetapi sudah menjadi perang multi-proksi, yang melibatkan sejumlah negara yang bertarung untuk mempertahankan atau memenuhi kepentingan nasionalnya.

Memang, beberapa waktu lalu, Presiden AS Barack Obama mengatakan tidak akan membiarkan konflik yang terjadi di Suriah menjadi perang proksi antara AS dan Rusia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan berkata lain.

Sejak awal bulan ini, Rusia secara jelas dan tegas memberikan dukungan kepada rezim Bashar al-Assad bersama dengan Iran—ditambah Hezbollah—untuk menghadapi kelompok perlawanan bersenjata, termasuk Negara Islam di Irak dan Suriah. Iran memberikan banyak bantuan, termasuk logistik, militer, dan keuangan. Bahkan, belakangan diberitakan Garda Revolusi Iran pun dikirim ke Suriah. Adapun Rusia mengerahkan pesawat tempurnya, mengebomi posisi kelompok perlawanan.

Di pihak lain, sudah menjadi rahasia umum, AS memainkan peran penting dengan mendukung kelompok-kelompok perlawanan, bersama dengan Arab Saudi dan Qatar. Bahkan, beberapa hari lalu, kelompok perlawanan mengaku mendapatkan bantuan peluru kendali anti tank dari AS. Pengakuan itu yang antara lain membuat Rusia menurunkan frekuensi serangannya terhadap kelompok perlawanan anti Bashar.

Kalau kita mengikuti definisi tentang perang proksi yang disodorkan Stephen D Biddle dari Council on Foreign Relations, apa yang terjadi di Suriah adalah perang proksi. Ia mendefinisikan perang proksi sebagai "aktor luar yang memajukan sebuah agenda dengan menggunakan para petarung lokal".

Jelas di sini aktor luarnya adalah AS, Rusia, Iran, Arab Saudi, Qatar, dan Turki. Mereka menggunakan "petarung" lokal di Suriah untuk menjamin kepentingan mereka, mengamankan kepentingan nasional mereka. Meski demikian, pendapat Biddle itu disanggah ilmuwan lain, seperti John McLaughlin dari Johns Hopkins University dan Cliff Kupchan, analis dari Eurasia Group.

Apa pun definisinya, yang pasti perang di Suriah yang menewaskan lebih dari 200.000 orang memaksa jutaan orang mengungsi mencari tempat aman, antara lain membanjiri negara-negara Eropa, ribuan lain terluka, dan jutaan lainnya menderita dan tertutup masa depannya.

Apakah itu yang mereka cari? Demi kekuasaan, demi kepentingan nasional, orang tak berdosa menjadi korban.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Rusia, AS, dan Suriah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger