Pada masa berikutnya, kebakaran hutan dalam skala kecil sering terjadi sebagai dampak dari pembukaan hutan untuk keperluan pertanian berskala kecil yang dilakukan oleh peladang berpindah. Walaupun demikian, kebakaran hutan dalam skala yang perlu mendapatkan perhatian nasional baru berlangsung pada dekade terakhir abad yang lalu. Kini, bencana ini sudah menjadi kebiasaan tahunan, terutama pada musim kemarau. Bagaimana ganasnya kebakaran hutan serta bagaimana derita para korbannya sudah banyak dibahas serta diberitakan.
Kebijakan pengendalian
Tiga dimensi pengendalian kebakaran hutan mencakup (1) pencegahan, (2) penanggulangan kebakaran hutan, dan (3) pemulihan dampak bencana kebakaran hutan. Strategi yang dapat ditempuh saat ini adalah menanggulangi bencana yang sedang berlangsung saat ini dengan apa saja yang dapat dilakukan. Pada saat kebakaran usai, kita perlu segera mencari cara pencegahan dan selanjutnya baru kelak kita dapat memikirkan pemulihan dampak kebakaran hutan. Tulisan ini difokuskan pada upaya mencari kebijakan yang mampu mencegah terjadinya kebakaran hutan.
Berlangsungnya bencana hampir setiap musim kemarau dalam lebih dari lima belas tahun terakhir mengesankan bahwa kita belum mampu efektif untuk mencegahnya. Kita perlu bertolak dari tingkat kebijakan. Posisi pemerintah pada tingkat ini sudah jelas, yaitu kebakaran hutan harus dicegah. Selanjutnya yang perlu didapat adalah instrumen kebijakan apa saja yang mampu untuk mencegahnya.
Sebelum beranjak pada pilihan instrumen kebijakan, kita perlu benar-benar mengenal siapa individu atau kelompok yang menjadi targetnya. Jelas targetnya adalah individu serta kelompok yang berkepentingan untuk membersihkan lahan agar siap untuk ditanami kelapa sawit. Dengan makin meningkatnya permintaan pasar global terhadap minyak kelapa sawit, para produsen makin agresif untuk meningkatkan volume produknya. Artinya, dalam tahun-tahun mendatang ini, tanpa upaya yang tepat, potensi terjadinya serta skala kebakaran hutan akan meningkat.
Walau kelompok ini didominasi perusahaan besar, peranan perusahaan menengah dan kecil serta perkebunan milik keluarga juga perlu diperhitungkan. Mereka perlu membersihkan lahan yang akan ditanami. Cara cepat dan murah untuk ini adalah dengan membakar hutan.
Karena potensi kebakaran yang sering tidak terkendali, kebijakan pemerintah adalah melarang praktik pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan. Langkah selanjutnya adalah menentukan apa instrumen kebijakan yang afektif mendukung kebijakan ini. Tanpa instrumen kebijakan yang tepat dan pelaksanaan yang efektif, kebijakan ini dapat menjadi semacam macan ompong belaka. Beberapa instrumen kebijakan yang sudah diberlakukan antara lain adalah informasi publik; terutama kepada para pemangku kepentingan (stakeholders), instrumen hukum, instrumen perizinan, dan lain sebagainya. Namun, tampaknya, sampai kini berbagai pendekatan tersebut ini tidak memberikan hasil yang diinginkan.
Pendekatan melalui dialog dengan para pemilik perkebunan sudah dilaksanakan sejak tahun 1997. Peraturan mengenai pelarangan membuka lahan dengan pembakaran sudah lama tersedia dan diberlakukan. Teknologi sudah mampu mendeteksi di mana lokasi kebakaran. Dampak kebakaran hutan terhadap berbagai aspek kehidupan sudah menjadi pengetahuan umum. Akan tetapi, intensitas penegakan hukum belum juga mencapai tingkat yang membuat jera para pelakunya.
Sementara itu, warga yang setiap hari menyaksikan gambar-gambar dampak asap terhadap berbagai aspek kehidupan sudah mulai geram. Negara tetangga yang terkena dampak juga sudah menunjukkan tanda-tanda ketidaksabaran. Dari Malaysia sudah mulai terdengar saran agar Indonesia dituntut ganti rugi atas terjadinya berbagai dampak yang menimpa negeri jiran ini. Mungkin kita memerlukan pemikiran-pemikiran baru yang lebih kreatif dan efektif.
Pada masa lalu kita pernah mengalami situasi serupa. Pendekatan hukum tak mampu menghentikan pencemaran, terutama pencemaran air sungai akibat limbah industri. Berbagai kasus pencemaran yang dibawa ke pengadilan kandas belaka. Sementara kualitas air sungai yang digunakan untuk air baku air minum, kebutuhan rumah tangga, dan pertanian makin tak memadai lagi. Pemerintah makin terjepit antara makin kotornya kualitas air sungai dan kemarahan masyarakat.
Maka, pada 1993, pemerintah menggunakan pendekatan baru, yaitu mengumumkan tingkat ketaatan peraturan lingkungan perusahaan kepada publik. Agar publik mudah memahaminya, tingkat pelanggaran dipaparkan dalam bentuk warna. Label hitam diberikan kepada sumber air limbah (pabrik) yang menimbulkan pencemaran; merah kepada sumber limbah yang melanggar baku mutu limbah, tetapi belum menimbulkan pencemaran; biru kepada sumber limbah yang sudah memenuhi baku mutu; dan selanjutnya hijau serta emas.
Tidak lama setelah label-label itu dipublikasikan, pihak pabrik mulai protes dan minta agar pendekatan ini segera dihentikan. Ternyata beberapa dari mereka yang mendapat label hitam dan merah mengalami penurunan harga saham serta kesulitan baru saat berurusan dengan bank. Bagi pasar saham dan perbankan, label hitam dan merah mengisyaratkan risiko yang lebih tinggi. Namun, memang inilah yang dikehendaki pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah menggunakan mekanisme pasar yang merupakan bahasa yang dipahami para pemilik pabrik untuk mengendalikan pencemaran. Mekanisme pasar tidak bisa dibeli, jadi kedap suap. Hanya saja, penentuan label perlu dilakukan dengan benar dan tepercaya.
Sanksi pengistirahatan lahan
Kembali pada kebakaran hutan, dengan adanya kebuntuan berkepanjangan, dengan dampak yang semakin berat dipikul, ada baiknya apabila kita mulai memikirkan pendekatan baru yang kreatif dan efektif. Pendekatan yang disarankan adalah pemerintah mengeluarkan peraturan baru. Inti dari peraturan baru ini adalah bahwa semua lahan yang telah mengalami kebakaran tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan apa pun selama tiga puluh tahun. Para pengelola perkebunan harus memilih membuka tanahnya tanpa membakar atau praktis kehilangan hak untuk memanfaatkan lahannya selama tiga puluh tahun.
Biarlah mereka menghitung sendiri dan memutuskan mana yang lebih layak. Peraturan ini perlu diberlakukan bersama dengan semua pendekatan (antara lain hukum) yang sudah berlaku saat ini. Jadi, pendekatan ini bukan sebagai pengganti pendekatan hukum. Dalam pendekatan baru ini perlu pula ditentukan bahwa bagi mereka yang tetap memanfaatkan lahan terlarang untuk digunakan tentu saja disediakan sanksi yang sangat berat atau mahal. Perlu dicatat di sini bahwa proses pembuktian bagi mereka yang melanggar ketentuan memanfaatkan lahan yang "diistirahatkan" jauh lebih mudah daripada pendekatan saat ini yang harus dibuktikan siapa pelaku pembakar hutan untuk dikenai saksi.
Salah satu kelemahan pendekatan baru ini adalah apabila memang terjadi kebakaran secara alamiah. Apakah penanggung jawab lahannya harus tetap dikenai sanksi pengistirahatan lahan? Jawabnya adalah benar. Keadaan ini dapat mendorong agar mereka yang tidak melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran pun tetap menjaga lahannya dengan lebih saksama.
Pertimbangan berikutnya adalah sampai di mana pelaksanaan pendekatan baru ini kedap terhadap korupsi, seperti misalnya para pejabat yang bersangkutan tutup mata terhadap dilakukannya penanaman di lahan yang telah diistirahatkan? Di sinilah peran masyarakat, LSM, dan media menjadi menentukan. Informasi tentang lahan yang terbakar kemudian harus diistirahatkan, tetapi tetap ditanam pada dasarnya dapat dipantau melalui teknologi, seperti Google Maps dan sebagainya. Pihak-pihak tersebut di atas berperan menentukan dalam mengidentifikasi serta memantau pelanggaran sampai pada dijatuhkannya sanksi. Memang masalah bersama perlu diselesaikan bersama, dalam hal ini melalui peran serta.
NABIEL MAKARIM
Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar