Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyatakan, kementeriannya mampu memangkas lama waktu proses perizinan. Hanya 14 hari kerja, janjinya. Bandingkan dengan sebelumnya yang perlu 2-4 tahun bagi setiap pemohon untuk dapat izin pinjam pakai kawasan hutan, izin pelepasan kawasan hutan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hutan tanaman dan restorasi ekosistem (Kompas, 30/9/2015). Saya paham operasionalisasi janji itu masih terus dikaji. Meski masih terbatas, reaksi publik juga mulai bermunculan. Sebagian ingin ada garansi dari pemerintah bahwa kemudahan ini bukan pembenaran untuk melakukan eksploitasi berlebihan di sektor kehutanan.
Tata kelola izin
Esensi dari reformasi perizinan sektor kehutanan bukan hanya terbatas pada berkurangnya waktu proses perizinan, melainkan juga mencakup perbaikan sistem agar ia kokoh dan lepas dari pengaruh oknum. Sejak 2010, satu forum panel ahli terdiri dari berbagai latar belakang keilmuan dan lembaga bekerja bersama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Badan Pengelola REDD+ (BP-REDD+), dan Kementerian Kehutanan (sekarang menjadi Kementerian LHK) mencoba merumuskan elemen-elemen penting yang menjadi pilar reformasi perizinan sektor kehutanan. Elemen penting yang kemudian disepakati adalah perbaikan tata kelola kehutanan. Perbaikan tata kelola ini mencakup empat aspek penting.
Pertama, pentingnya meningkatkan derajat kepastian kawasan hutan. Salah satu instrumen yang penting adalah adanya satu peta perizinan walaupun satu peta perizinan bukan satu-satunya instrumen yang diperlukan. Instrumen penataan ruang dan wilayah-yang memasukkan pertimbangan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), peta tata guna kawasan hutan, peta kerentanan bencana, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, wilayah gambut dan wilayah kelola masyarakat-juga sangat diperlukan. Keduanya, peta tata ruang dan satu peta perizinan, menjadi dasar penyusunan peta wilayah usaha kehutanan. Peta wilayah usaha kehutanan yang dimaksud di sini adalah peta yang menggambarkan potensi ekonomi, tetapi aman secara lingkungan dan sosial.
Saat ini, peta yang menjadi rujukan bagi pemohon izin adalah peta pemanfaatan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan yang diperbarui paling tidak setiap satu tahun sekali dalam bentuk surat keputusan menteri. Peta ini menginformasikan kawasan hutan produksi yang dapat diajukan izin pemanfaatannya. Kawasan hutan produksi tersebut tidak ada pemegang izinnya dan tidak termasuk dalam kawasan hutan yang tengah dimoratorium. Namun, perlu dicatat bahwa peta pemanfaatan ini belum mempertimbangkan KLHS, peta kerentanan bencana, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, kawasan hidrologi gambut, wilayah kelola masyarakat, dan wilayah usaha pertambangan di dalam kawasan hutan.
Implikasinya adalah izin sebagai instrumen pengendalian tidak bisa bekerja maksimal karena tidak dilengkapi dengan satu peta wilayah usaha kehutanan yang aman secara lingkungan dan tidak bermasalah secara sosial. Aman secara lingkungan karena telah berdasarkan kajian daya dukung dan daya tampung serta aman secara sosial karena wilayah yang diusulkan tidak tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat. Pada praktiknya, pemerintah sering kali menyerahkan penanganan masalah tenurial ini kepada pemegang izin. Hasil kajian indeks tata kelola hutan (UNDP Indonesia, 2013 dan 2015) menunjukkan pelaku usaha memiliki kapasitas yang sangat terbatas untuk menanganinya.
Dalam konteks kepastian kawasan hutan, memiliki peta wilayah usaha kehutanan saja tak cukup. Pemerintah perlu menyusun peta wilayah izin usaha kehutanan. Peta wilayah izin usaha kehutanan adalah wilayah yang siap untuk diajukan izin pemanfaatannya karena sudah memiliki kejelasan tata batas, clean and clear dari konflik tenurial, ada Kesatuan Pemangku Hutan yang operasional dan seluruh urusan perizinan baik di tingkat daerah maupun pusat telah dibereskan termasuk izin lingkungan.
Ada beberapa manfaat utama tersedianya peta wilayah izin usaha kehutanan. Seperti ditengarai oleh kajian KPK (2014) dan UNDP Indonesia (2015), setiap tahapan proses perizinan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Untuk dapat rekomendasi bupati atau gubernur, pemohon harus merogoh kocek Rp 50.000-Rp 100.000 per hektar. Adanya dokumen izin lingkungan hidup abal-abal juga bisa dieliminasi karena penyusun kajian lingkungan bukanlah pelaku usaha, melainkan pemerintah. Selain itu lokasi dipastikan bebas konflik. Ini membuat indeks kemudahan berusaha sektor kehutanan pasti meningkat, pelaku usaha langsung bisa beroperasi, dan jaminan berusaha tersedia.
Aspek kedua adalah derajat keadilan atas pengelolaan sumber daya hutan. Kemudahan tak hanya diberikan kepada pelaku usaha yang membawa modal besar, tetapi juga kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Apabila kesenjangan pemanfaatan kawasan hutan semakin besar, ini dapat menimbulkan masalah-masalah sosial lebih akut di kemudian hari. Berdasarkan rincian kawasan hutan yang telah dibebani izin, pelaku usaha mengantongi izin seluas 31,217 juta hektar, sementara masyarakat hanya mengantongi seluas 649.000 hektar. Dengan kata lain, 98 persen kawasan hutan dimanfaatkan oleh pelaku usaha, sementara masyarakat hanya memanfaatkan sebanyak 2 persen (Awang 2015 dan UNDP Indonesia 2015).
Betul bahwa pemerintahan Jokowi ingin menggenjot tambahan 12,7 juta hektar hutan agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sampai akhir 2019, tetapi tanpa dukungan kelembagaan dan anggaran yang memadai, target tersebut akan sulit tercapai (Wiratno, Royana, dan Situmorang, 2015). Dukungan kelembagaan ini adalah keterpaduan dengan kementerian yang relevan, seperti Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi; Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, serta pemerintah daerah melalui Kesatuan Pemangku Hutan. Dukungan sumber daya berupa alokasi anggaran juga diperlukan untuk membantu membangun kelembagaan masyarakat, modal mengelola kawasan hutan yang telah diberi izin, dan membantu memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan akses pasar terhadap produk yang dihasilkannya.
Transparansi dan integritas pengelola hutan
Aspek ketiga adalah transparansi dan integritas pengelola hutan. Reformasi perizinan sektor kehutanan harus diikuti transparansi dan integritas pengelola hutan. Transparansi ini penting untuk memastikan bahwa proses penetapan wilayah usaha kehutanan dan wilayah izin usaha kehutanan dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Transparansi juga diperlukan untuk memastikan para pemohon memenuhi kualifikasi serta memiliki kapasitas pendanaan dan rekam jejak yang baik.
Pemerintah tentu tak mencari perusahaan yang hanya kejar untung dan lupa dengan kewajibannya. Ini untuk menghindari beban pemerintah nanti. Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, Kementerian LHK tengah melakukan investigasi terhadap 149 perusahaan sektor kehutanan dan 147 sektor kebun yang wilayahnya terbakar. Terbakarnya lahan perusahaan berkontribusi terhadap bencana asap yang sangat merugikan ekosistem, masyarakat, dan pemerintah.
Hasil kaji cepat terhadap 540 perusahaan pemegang izin di sektor kehutanan menunjukkan 79 persen dari 540 perusahaan tidak memiliki website(Situmorang, 2015). Dari 21 persen perusahaan yang memiliki website, 54 isiwebsite-nya tidak informatif. Paramaternya pun sederhana, seperti profil perusahaan, lokasi usaha, kegiatan produksi, CSR, dan kebijakan-kebijakan perusahaan. Dari 21 persen yangwebsite-nya informatif, hanya 27 persenweb-nya terus diperbarui dan sisanya tidak diperbarui secara reguler. Kalau kita cek pemberitaan, 80 persen beritanya negatif dan sangat jarang berita positif ditemukan di media arus utama. Ini bisa menjadi satu indikasi lemahnya komitmen penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Aspek keempat adalah kapasitas penegakan hukum administratif. Dalam konteks 14 hari kerja, Menteri LHK menegaskan pengawasan melekat akan diterapkan. Kementerian LHK juga telah membentuk gugus tugas perizinan yang salah satunya bertugas melakukan kaji ulang izin-izin sektor kehutanan yang pernah dikeluarkan. Kapasitas di sini tidak hanya melakukan audit kepatuhan dan pengawasan melekat, tetapi juga kapasitas pemerintah-Kementerian LHK dan SKPD Kehutanan di tingkat provinsi-memastikan rekomendasi dijalankan dan sanksi diberikan kepada yang tak memiliki niat baik menjalankannya.
Untuk menghindari "permainan", pertanggungjawaban kepada publik perlu dibenahi dan penguatan kapasitas LSM, baik pada tingkat pusat maupun daerah, dalam melakukan pengawasan juga perlu ditingkatkan. Check and balancedibutuhkan. Berdasarkan kajian indeks tata kelola hutan 2012 dan 2014, kapasitas kelompok masyarakat sipil masih sangat terbatas di arena ini. Karenanya, pemerintah juga memainkan peran penting mengedukasi masyarakat untuk menjadi instrumen kontrol kebijakan perizinan. Sebelum aspek-aspek di atas dapat dipenuhi terlebih dahulu, sulit sekali membayangkan 14 hari kerja dan ikhtiar reformasi sistem perizinan sektor kehutanan dapat terwujud.
ABDUL WAHIB SITUMORANG
Penasihat Teknis Tata Kelola Hutan UNDP Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar