Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 Oktober 2015

TAJUK RENCANA: Fantasi Reunifikasi Korea (Kompas)

Judul tulisan singkat ini, barangkali, terlalu keras atau sangat bernada pesimistis terhadap usaha yang dilakukan kedua Korea untuk bersatu.

Akan tetapi, kalau kita mengikuti perkembangan proses reunifikasi Korea, rasanya judul tulisan ini tidaklah bernada pesimistis. Yang kita sampaikan lebih merupakan cerminan dari apa yang terjadi di lapangan.

Berita yang beredar selama ini dari Semenanjung Korea tidaklah menggambarkan adanya kemajuan dalam proses reunifikasi kedua Korea, tetapi justru sebaliknya. Ketegangan selalu menyelimuti Semenanjung; ancam-mengancam, saling pamer kekuatan, provokasi, ibarat kata menjadi menu harian. Dengan demikian, sangat masuk akal jika kemudian muncul pertanyaan kapan kedua Korea menjadi satu seperti yang diimpikan selama ini?

Penyatuan Korea merupakan salah satu isu paling penting dalam agenda internasional sekarang ini. Kalau hal itu menjadi kenyataan, banyak yang menyambut gembira. Tidak hanya Seoul, yang bergembira dan lega, tetapi juga Washington, Beijing, dan Tokyo.

Hal itu karena, pertama dan utama kalau kedua Korea bersatu, senjata nuklir dan rudal balistik Korut dapat diamankan dan demobilisasi tentara secara damai. Dengan demikian, bukan hanya Seoul yang akan aman, melainkan juga Tokyo dan Washington. AS tidak perlu lagi khawatir ada penjualan senjata nuklir dari Korut, tetapi juga tidak akan ditarik terlibat perang lagi seperti tahun 1950-1953. Jepang pun tak perlu khawatir rakyatnya akan menjadi sasaran serangan rudal Korut.

Demikian pula Tiongkok. Beijing tidak perlu lagi selalu mengirimkan pangan, bahan bakar, dan barang-barang lain yang dibutuhkan Pyongyang. Selain itu, tidak perlu selalu melindungi dan menopang rezim Pyongyang, yang dianggap paling despotik di dunia dewasa ini. Sebab, andaikan terjadi krisis, keadaan kacau-balau, atau perang Korea lagi, Tiongkok akan menjadi salah satu negara yang bakal menanggung limpahan pengungsi.

Akan tetapi, semua itu tidak mudah diwujudkan. Semua itu, hingga sekarang ini, lebih merupakan sebuah impian yang sulit diwujudkan. Mengapa?

Kita bisa melihat adanya perbedaan yang sangat mencolok antara Korsel dan Korut dalam banyak bidang. Korsel sekarang salah satu negara paling kaya, salah satu negara industri maju di dunia. Sebaliknya, Korut negara miskin dan terisolasi. Produk domestik bruto Korsel 40 kali lipat Korut. Korsel mampu meninggalkan ketertinggalan dan jadi kuat serta relatif berhasil mengikuti demokrasi pasar bebas, sementara Korut tetap negara yang mempertahankan ideologi Stalinis dan mengultuskan pemimpinnya.

Yang lebih penting lagi adalah belum tumbuh saling percaya antar-keduanya. Sebuah sikap dasar yang paling penting untuk bisa hidup bersama menjadi satu Korea.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Fantasi Reunifikasi Korea".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger