Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 12 Oktober 2015

Tajuk Rencana: Nawacita dan KPK (Kompas)

Seharusnya tidak perlu ada perdebatan lagi apakah Komisi Pemberantasan Korupsi akan diperkuat atau diperlemah. Revisi UU KPK tidak relevan.

Asumsi tersebut hanya terjadi seandainya dokumen Nawacita memang pedoman bagi Presiden Joko Widodo dalam menjalankan masa pemerintahannya 20 Oktober 2014-20 Oktober 2019. Dalam dokumen Nawacita halaman 24 terang dan jelas disebutkan, "Kami mendukung keberadaan KPK yang dalam praktik pemberantasan korupsi telah menjadi tumpuan harapan masyarakat. KPK harus dijaga sebagai lembaga yang independen yang bebas dari pengaruh kekuatan politik."

Kita angkat dokumen Nawacita itu agar Presiden Joko Widodo kembali membaca dan mengingat terhadap apa yang telah dijanjikan kepada rakyat dalam masa kampanye. Dalam dokumen itu tidak tertera keinginan untuk membatasi masa hidup KPK 12 tahun lagi atau mencabut kewenangan KPK untuk penyadapan. Bahkan, dalam dokumen Nawacita, Presiden mengatakan, "Kami berkomitmen untuk membentuk regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi: RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Saksi dan Korban, RUU Kerja Sama Timbal Balik, dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai.

Kegaduhan politik berpotensi terjadi setelah sejumlah anggota DPR mengajukan revisi UU KPK dan memperjuangkannya untuk bisa disahkan dalam Program Legislasi Nasional 2015. Bahkan, ada anggota DPR yang mengatakan, UU KPK yang telah direvisi akan menjadi acuan dalam seleksi lima anggota pimpinan KPK yang baru.

Manuver sejumlah anggota DPR itu terang-terangan berseberangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo serta harapan masyarakat. Sebuah petisi digital di Change.org untuk menentang revisi UU KPK hingga Minggu siang sudah ditandatangani 39.465 orang. Bahwa KPK mempunyai kelemahan harus diakui, tetapi keinginan membonsai KPK dan mengakhiri lembaga anti rasuah yang menjadi dambaan rakyat merupakan langkah politik yang keliru, apalagi ditambah UU Pengampunan Koruptor.

Langkah pimpinan DPR untuk meminta rapat konsultasi dengan Presiden patut dihargai. Komunikasi politik haruslah dilakukan sehingga tidak perlu saling tuding antara menteri dan anggota DPR. Berkomunikasilah secara jujur. Apakah draf revisi UU KPK itu draf pemerintah atau draf dari inisiatif DPR juga harus ditelusuri.

Sebagaimana dikatakan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, rapat konsultasi Presiden dan DPR hari Senin atau Selasa perlu dilakukan untuk mengetahui pandangan final pemerintah soal revisi UU KPK. Jika memang mengacu pada dokumen Nawacita dan pernyataan Presiden Joko Widodo sebelumnya, dalam rapat konsultasi Presiden tinggal menyatakan sikapnya: UU KPK belum saatnya direvisi sekarang ini. Jika keputusan itu telah diambil, seharusnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, yang juga politisi PDI-P, juga harus mengikuti sikap politik Presiden. Mudah-mudahan kegaduhan segera reda.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Nawacita dan KPK".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger