Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 17 Juli 2016

Peninjauan Kembali dalam Perkara Suap (M ALI ZAIDAN)

Menyusul tertangkapnya sejumlah oknum pengadilan negeri, beberapa waktu lalu, menyeruak ke permukaan ide agar korban kejahatan yudisial dapat mengajukan peninjauan kembali alias PK. Setidak-tidaknya, melalui upaya PK, korban peradilan dapat memperoleh hak-haknya kembali.

Bukan rahasia lagi bila perkara-perkara dapat dipermainkan dengan perantara oknum tertentu, sehingga putusan pengadilan akan berpihak kepadanya. Jamak telah diketahui, putusan pengadilan yang sesungguhnya sakral telah jadi ladang bisnis menggiurkan. Akibatnya putusan pengadilan tak memiliki lagi roh keadilan. Predikat yang mulia disematkan kepada hakim telah dinodai ulah segelintir oknum yang memperdagangkan keadilan.

Suap merupakan perbuatan memberi imbalan kepada hakim agar membuat keputusan yang berpihak kepada si penyuap. Fenomena demikian telah jamak ditemukan. Dalam pasar gelap bernama keadilan, oknum-oknum bergentayangan dan mencari celah untuk memanipulasi hukum demi kepentingan pemesannya. Pengadilan yang semula merupakan tempat yang dihormati untuk memberikan keadilan, dalam satu-dua hal telah berubah menjadi pasar yang memperjualbelikan keadilan.

Tentu saja yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki kapital guna membeli putusan pengadilan. Di sini tidak lagi dipedulikan apakah putusan hukum dimaksud adil atau tidak, tetapi telah direduksi secara dangkal, yakni berkaitan dengan urusan menang atau kalah.

Sebaliknya, bagi yang tidak memiliki uang, posisi benar sekalipun tidak merupakan jaminan bahwa putusan akan berpihak kepadanya. Segala teknikalitas hukum dan peradilan yang idealnya digunakan untuk mewujudkan keadilan telah melenceng dan digunakan sebagai alat pembenar yang mengatasnamakan kepentingan pribadi atau kelompok. Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang ahli hukum, Marc Galanter, the have came out a head; bahwa mereka yang kuat (baik ekonomi maupun politik) senantiasa akan menang.

Alat kontrol

Dengan ekstrem, Mnookin dan Kornhauser menyatakan bahwa pengadilan telah jadi tempat bagi apa yang mereka sebut dengan bargaining endowment, yakni tempat di mana pertimbangan-pertimbangan yang dapat dimanipulasi oleh para pihak dalam posisi tawar-menawar. Kondisi seperti itu menyebabkan mafia peradilan tumbuh subur.

Mahkamah Agung (MA) sebagai pengendali semua otoritas yudisial memiliki kekuasaan untuk mengontrol perilaku aparatur di bawahnya agar tidak melenceng dari tugas utama mereka untuk membawakan keadilan kepada rakyatnya. Sakralitas pengadilan melalui putusan hakim harus dikembalikan muruahnya oleh lembaga peradilan tertinggi itu. Kegagalan menyelamatkan lembaga peradilan dari judicial corruption berdampak pada timbulnya anarkisme dan kesewenang-wenangan.

Sinyal-sinyal korupsi peradilan telah muncul ke permukaan dan secara kasatmata dapat dipahami oleh awam sekalipun, sungguh ironis bila momentum itu dibiarkan berlalu begitu saja, tanpa diambil tindakan tegas dan keras untuk mencegah mengguritanya tangan-tangan mafia hukum yang menginjak-injak nilai kemanusiaan dan keadilan. MA sebagai puncak semua badan peradilan memiliki kewajiban hukum untuk melakukan itu semua guna mengembalikan kedudukan hukum dan peradilan sebagai tempat mencari keadilan yang hakiki dan tepercaya.

Sebenarnya lembaga peradilan memiliki SDM mumpuni untuk melakukan pembenahan internal. Namun, peranan pimpinan menjadi motor penggerak utama dalam rangka membersihkan oknum-oknum peradilan dari perbuatan tercela, yakni memperdagangkan hukum demi segepok uang atau sejumput kekuasaan. MA memiliki otoritas untuk melakukan semuanya. Tekad untuk membersihkan tidak cukup jika tidak diiringi tindakan nyata.

Dengan dibukanya keran untuk mengungkap adanya mafia peradilan melalui PK, paling tidak telah memunculkan optimisme baru. Kasus-kasus yang pernah terjadi, seperti Sengkon dan Karta maupun Lingah Pacah tidak akan berulang terjadi. Mereka yang menjadi korban judicial corruptionmemiliki kesempatan baru untuk membuka kembali kasus yang telah mengorbankan kepentingan hukumnya. Tentu saja kesempatan itu baru dapat dibuka setidak-tidaknya setelah dilakukan pemeriksaan eksternal oleh lembaga, seperti Komisi Yudisial (KY), yang membuktikan bahwa perkara suap tersebut memang benar adanya.

Meski demikian, dugaan suap terhadap oknum peradilan tidak perlu dibuktikan melalui sidang pengadilan atau harus menunggu putusan in kracht van gewijsde zaak, yang pasti perlu waktu lama. Cukuplah KY bersama-sama dengan MA memeriksa terlapor tentang kebenaran dugaan yang dipersangkakan kepadanya. Apabila dugaan yang dipersangkakan benar, MA harus membuka kesempatan bagi bersangkutan untuk mengajukan PK.

Alasan hukum yang digunakan tentu ketentuan yang terdapat dalam KUHAP sendiri, misalnya dengan mengonstruksikan adanya novum atau kekeliruan hakim atau kekhilafan yang nyata. Kekeliruan hakim maupun kekhilafan yang nyata terbaca dari putusan hakim itu sendiri, misalnya terdakwa terbukti melakukan kejahatan yang serius, tetapi divonis ringan. Kedudukan sebagai pelaku utama, tetapi divonis layaknya pembantu dalam tindak pidana itu, dan seterusnya.

Apabila gagasan itu diterima, sudah dapat dipastikan pengadilan akan dibanjiri perkara PK atas nama judicial corruption. Karena itu, pemeriksaan eksternal oleh KY bersama dengan MA harus didorong untuk secepatnya memutuskan tentang ada-tidaknya dugaan penyuapan yang dipersangkakan kepada oknum-oknum tersebut. Gagasan ini semata-mata dimaksudkan untuk mendekatkan keadilan kepada rakyat yang terus-menerus mengupayakannya.

M ALI ZAIDAN, DOSEN ILMU HUKUM UPN VETERAN JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Peninjauan Kembali dalam Perkara Suap".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger