Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 17 Juli 2016

Pilihan Filipina dan Momentum Indonesia (STEVEN YOHANES POLHAUPESY)

Keputusan Permanent Court of Arbitration atau PCA pada 12 Juli 2016 setidaknya memberikan dua poin signifikan yang patut digarisbawahi.

Kedua poin itu adalah bahwa klaim sejarah Tiongkok dengan menggunakan sembilan garis putus-putus (9DL) tidak sesuai dengan UNCLOS, dan Tiongkok melanggar hak berdaulat dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina. Meskipun dampaknya menguntungkan bagi Filipina dan pihak yang memiliki sengketa serupa, Pemerintah Indonesia perlu mencermati pilihan Filipina sebagai konsekuensi dari keputusan PCA.

Pilihan Filipina

Keputusan PCA dapat dikatakan menguntungkan klaim Filipina terhadap Tiongkok. Meskipun bersifat mengikat bagi Filipina dan Tiongkok, keputusan PCA tidak serta-merta memberikan jaminan bahwa Tiongkok tidak akan melakukan retaliasi dengan menggunakan pendekatan politik, ekonomi, bahkan militer. Hal ini menjadi faktor yang akan mendorong Filipina memilih pilihan rasional untuk membuka ruang negosiasi bilateral dengan Tiongkok.

Retaliasi Tiongkok dengan penggunaan faktor ekonomi sangat mungkin dilakukan. Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar kedua Filipina yang setara dengan 14,3 persen total perdagangan eksternal Filipina. Akses pasar domestik Tiongkok yang besar memberikan insentif bagi para eksportir Filipina, khususnya setelah dilanda krisis pada 2008. Namun, insiden penolakan ekspor pisang dari Filipina ke Tiongkok yang terjadi pada 2012 sebagai upaya retaliasi Tiongkok perlu dijadikan pelajaran penting. Penggunaan "sanksi" ekonomi sebagai konsekuensi dari meningkatnya ketegangan antara Filipina dan Tiongkok di Scarborough Shoal menjadi hal lumrah dan kemungkinan juga menjadi pilihan Tiongkok setelah keputusan PCA.

Dalam konteks penggunaan pendekatan militer sebagai bentuk retaliasi, Tiongkok barang kali melakukan provokasi dengan penggunaan pendekatan militer khususnya pada wilayah yang dipersengketakan. Misalnya, penempatan rudal HQ-9 pasca KTT ASEAN-AS dan gelar latihan militer di Kepulauan Paracel selama seminggu menjelang putusan PCA diumumkan. Penggunaan tekanan militer oleh Tiongkok pasca PCA ditujukan untuk menekan Filipina membuka kesempatan bernegosiasi bilateral sehingga klaim 9DL Tiongkok tetap relevan.

Sulit membayangkan Filipina memiliki kemampuan deterens untuk mengimbangi Tiongkok apabila retaliasi dengan menggunakan pendekatan kekuatan militer dilakukan. Sebagai contoh, kualitas dan kuantitas Angkatan Laut Filipina mengamankan wilayah perairan ZEE mereka terbilang memiliki postur yang tidak proporsional.

Menurut studi Universitas British Columbia, dari total wilayah ZEE Filipina seluas 2.265.684 kilometer persegi, hanya terdapat tiga kapal patroli kelasfregate yang mampu terlibat dalam kontak pertarungan di wilayah perairan ZEE mereka dalam operasi pengamanan teritorial. Artinya, setiap satu kapal patroli kelas fregate Filipina harus menjaga perairan ZEE seluas 755.228 kilometer persegi.

Tentu pilihan untuk membuka negosiasi bilateral Filipina dengan Tiongkok diambil pasca keputusan PCA perlu diberikan perhatian khusus tidak hanya karena memiliki dampak signifikan terhadap penyelesaian klaim batas wilayah teritorial Filipina dengan Tiongkok semata, tetapi dalam konteks regional juga melemahkan proses institusionalisasi ASEAN serta meningkatkan tensi instabilitas kawasan.

Setidaknya terdapat tiga hal penting yang menjadi konsekuensi dari pilihan Filipina. Pertama, negosiasi bilateral yang diupayakan Filipina menandakan bahwa negosiasi di tingkat ASEAN tak lagi relevan.

Kedua, upaya negosiasi bilateral itu secara tak langsung menjustifikasi kembali relevansi penggunaan klaim sejarah Tiongkok atas wilayah maritim Laut Tiongkok Selatan (LTS) sekaligus meningkatkan posisi tawar yang menguntungkan Tiongkok memulai negosiasi bilateral dengan negara ASEAN lainya yang terlibat dalam klaim LTS.

Ketiga, membiasakan retaliasi sebagai instrumen pendekatan ekonomi dan militer dapat menciptakan presden bagi Tiongkok untuk dapat mengimplemetasikan pola hubungan asimetris superior-inferior antara Tiongkok dan negara ASEAN dalam konteks LTS. Hal-hal seperti ini melemahkan institusionalisasi norma di ASEAN.

Momentum Indonesia

Tentu pilihan Filipina menjadi gambaran akan kalkulasi rasional atas kepentingan nasional sekaligus mendefinisikan posisi Filipina ketika berhadapan dengan Tiongkok. Ketiga, konsekuensi pilihan Filipina tentu berdampak negatif terhadap sentralitas ASEAN dan persepsi Indonesia terhadap potensi ancaman yang disebabkan Tiongkok bagi keamanan perbatasan maritim.

Meskipun tak terlibat sebagai pihak yang bersengketa dalam klaim, beberapa gestur potensi klaim tumpang tindih dan konflik antara Indonesia dan Tiongkok sangat signifikan kemungkinannya, khususnya terkait dengan perairan ZEE di Kepulauan Natuna. Karena itu, pemerintah Indonesia sebaiknya perlu mengambil momentum pasca keputusan PCA sebagai upaya diplomasi pencegahan menjelang KTT ASEAN akhir bulan ini.

Kunjungan Presiden Jokowi ke Natuna akhir bulan lalu perlu diapresiasi karena telah mengirim sinyal politik yang kuat terhadap komitmen Indonesia menjaga perbatasan di ZEE wilayah Kepulauan Natuna. Namun, hal ini juga perlu diteruskan melalui upaya penguatan peranan kepemimpinan Indonesia dalam menjaga sentralitas ASEAN sekaligus diikuti dengan komitmen memperkuat AL Indonesia.

Dengan luas wilayah ZEE mencapai 6.079.377 kilometer persegi, perbatasan wilayah maritim Indonesia memerlukan pengamanan konstan di wilayah laut yang tentunya tak hanya bisa diselesaikan dengan mengirimkan sinyal politik semata, tetapi juga dengan menginvestasikan kapabilitas finansial serta komitmen politik untuk memperkuat armada AL Indonesia. Bersamaan dengan meningkatnya kemampuan dan pengaruh Tiongkok, semakin besar kemampuan Tiongkok memproyeksikan kekuatan militer untuk mendukung klaim di LTS.

Dalam konteks ini, Indonesia perlu mengambil inisiatif memimpin ASEAN dalam menciptakan kawasan berbasis aturan hukum, bukan kawasan berbasis kekuatan.

STEVEN YOHANES POLHAUPESY, PENELITI THE HABIBIE CENTER

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Pilihan Filipina dan Momentum Indonesia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger