Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Juli 2016

Rekognisi Desa Adat (IVANOVICH AGUSTA)

Utang UU No 6/2014 tentang Desa yang belum terbayar hingga melewati tenggat dua tahun ialah rekognisi desa adat.

Padahal, hanya Pasal 96-111 perihal desa adatlah yang menopang konstitusionalitas mandat UUD 1945 Pasal 18B agar menghormati masyarakat hukum adat. Artinya, ketiadaan desa adat yang resmi diakui pemerintah berpeluang jadi lubang besar gugatan inkonstitusional UU ini. Sayang, persiapan pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan rekognisi desa adat hampir nihil. Program revitalisasi desa adat sebenarnya hanya berujung penguatan lembaga adat, tetapi tak sampai membentuk desa adat definitif. Padahal, penataan rekognisi membuka pintu kesahihan masyarakat adat untuk mendirikan dua puluhan ribu desa, yang kemudian berhak mengelola jutaan hektar hutan desa dan tanah ulayat.

Hambatan rekognisi berpangkal pada prasangka masyarakat adat sebagai komunitas pengelola sumber daya secara tertutup (closed corporate community). Mereka tak pernah membutuhkan masyarakat modern atau masuk program komunitas adat terpencil (KAT). Menyetarakan kehidupan mereka dengan promiskuitas di gua-gua purbakala, kartu keluarga (KK) dari pemerintah diisi nama istri sebagai kepala keluarga. Anak-anak dirunut menurut keturunan ibu, sebagai buah perkawinan primitif tanpa ayah sah. Buktinya, tak ada tulisan perkawinan dalam dokumen resmi itu. Suami dipisahkan dan dicetak sebagai orang lain dalam KK.

Disangka terlalu purbawi, mustahillah upaya menariknya menuju kemodernan. Clifford Geertz meramalkan involusi adat bergeser sekadar mencapai komunitas pasca-tradisional, yaitu gerak melingkar yang tak kunjung sampai pada kadar masyarakat modern. Target pembangunan desa-desa di pelosok Papua senantiasa dipatok rendah, sebagai buah stereotip involusi primitif ini. Sampai di sini, diketahui pangkal kesalahan kebijakan terhadap adat, yaitu memegang teguh kebenaran tunggal. Bahwa, upaya memanusiakan komunitas adat hanya mungkin melalui jalan tunggal memajukan wilayah ke arah perkotaan modern ala Barat. Eksistensi hanya bisa muncul kala jadi modern, maka adat selalu menjadi cacat yang lain (the other).

Perbaikan yang mutlak dibutuhkan ialah membalik kesadaran bahwa kebenaran ternyata bersifat majemuk. Desa adat memiliki klaim kebenaran otentik yang sama nyata dengan desa pada umumnya ataupun kelurahan termodern. Memakai idiom UU No 6/2014, perkembangan tidak mesti menuju desa maju, tetapi boleh menjadi desa adat yang mandiri dan kuat. Komunitas pengelola sumber daya secara tertutup justru menjadi bekal kemandirian ekonomis, sementara aturan adat menopang kekuatan praktis norma hukum setempat.

Segera menata

Penjelasan UU No 6/2014 merujuk rekognisi sebagai pengakuan terhadap hak asal usul lokal. Ketika hak tersebut berwujud aturan adat yang tetap hidup di tengah warga, berikut dukungan sumber daya lahan dan lingkungan adat, maka wewenang lokal boleh dijelmakan menjadi desa adat.

Sesuai Pasal 113-116, seharusnya pemerintah pusat dan pemprov menyelesaikan kajian kesatuan masyarakat hukum adat berikut peta batas desa adat hingga Januari 2016. Dalam proses itu dapat dibuka partisipasi warga untuk merumuskan aturan adat, mendiskusikan batas geografi mutakhir, merancang struktur organisasi dan personel pemerintahan adat, penertiban aset tanah ulayat dan sumber daya pendukung lain. Saat ini data masyarakat adat berikut potensi dan garis wilayahnya lengkap tersedia pada potensi desa dan kelurahan yang dikelola Kemendagri, serta basis data Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ataupun lembaga swadaya masyarakat lain.

Statistika potensi desa adat juga disediakan Badan Pusat Statistik. Basis data hutan untuk masyarakat dan rancangan hutan desa terpampang pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ribuan komunitas adat telah dikompilasi Kementerian Sosial sejak 1980-an. Yang terbaru, penyusunan titik spasial desa adat dapat disediakan oleh Badan Informasi Geospasial ataupun komunitas drone desa.

Dengan data yang lengkap tersebut, warga berhak mengajukan pembentukan desa adat yang berdaulat penuh atas wilayah ulayat, berikut sumber daya di dalamnya. Pemerintah kabupatenlah yang berwewenang menetapkan desa adat, lalu dicatatkan secara resmi dan definitif pada Kemendagri. Sayang, aturan desa adat dalam UU No 6/2014 terlalu umum untuk dipraktikkan sehingga muncul perintah penyusunan prosedur terinci pada tingkat peraturan menteri. Kementerian Desa PDTT pernah merinci wewenang adat dalam Peraturan Mendesa PDTT No 1/2015 tentang Kewenangan Lokal dan Hak Asal Usul. Namun, peraturan ini belum pernah dilaksanakan, lalu gugur demi hukum lantaran PP No 47/2015 mengalihkan mandat penetapan wewenang desa kepada Kemendagri.

Karena itu, langkah harus segera diayunkan untuk menyusun peraturan Mendagri tentang prosedur pembentukan, kelonggaran struktur organisasi, dan wewenang desa adat. Ketegangan selama pengubahan rata-rata empat desa jadi satu nagari di Sumatera Barat awal 2000-an menunjukkan pula pentingnya antisipasi risiko keamanan dan ketertiban selama proses rekognisi desa adat kali ini.

IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN IPB BOGOR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Rekognisi Desa Adat".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger