Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 14 September 2016

TAJUK RENCANA: Kemenangan Lobi Koruptor (Kompas)

Semangat menggelora memerangi korupsi sejak 1998 mulai kedodoran. Lambat tetapi pasti bangsa ini sepertinya mulai lelah memerangi korupsi.

Elite bangsa kian permisif terhadap korupsi. Berita harian ini mengangkat judul penindakan korupsi melemah. Rata-rata vonis pengadilan korupsi kian ringan. Tahun 2016, rata-rata vonis korupsi paling lama 2 tahun 1 bulan. Tahun 2013, rata-rata vonis korupsi 2 tahun 11 bulan.

Pelemahan melawan korupsi muncul ketika pemerintah dan DPR menyetujui dibolehkannya terpidana percobaan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012, yang merupakan keputusan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memperketat pemberian remisi untuk koruptor, mulai dilonggarkan.

Tren pelemahan gerakan anti korupsi disayangkan. Presiden Joko Widodo punya modal besar memberantas korupsi di negeri ini. Sebagai orang baru dalam percaturan politik, Presiden Jokowi tak punya beban masa lalu. Kejujuran dan ketulusan berbuat merupakan modal Presiden untuk membersihkan negeri ini dari korupsi. Sayang, para pembantu Presiden kadang punya pandangan berbeda soal pemberantasan korupsi di negeri ini.

Diskursus pemberantasan korupsi bukan hal baru. Kita kutip Tajuk RencanaKompas, 14 September 1965. Tajuk itu berjudul (dalam ejaan lama) "Pentjolengan Ekonomi". Harian ini menulis,"Soal pentjoleng ekonomi sekarang ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah 'pembitjaraan lagi', tapi tindakan konkret: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!"

Situasi zaman tahun 1965 ikut memengaruhi suasana kebatinan harian ini. Namun, 51 tahun kemudian, situasi tidak berubah! Kita kembali membicarakan pemberantasan korupsi, bagaimana koruptor bisa memperoleh remisi atau malah amnesti, bagaimana terpidana percobaan bisa menjadi kepala daerah. Dari sudut pandang tata nilai, kita bergerak mundur! Padahal, seperti dikatakan Kompas tahun 1965, yang dibutuhkan rakyat adalah tindakan konkret, bukan terus-menerus memproduksi wacana, sementara korupsi, kolusi, kick-back, terus terjadi.

Saatnya Presiden blusukan turun ke bawah melihat bagaimana kick-backterjadi, bahkan menjadi-jadi. Tetap merebaknya korupsi menjadi ironi. Kita kutip ucapan peraih Hadian Nobel Kosta Rika, Oscar Arias Sanchez, skandal korupsi berkepanjangan membuat rakyat frustrasi dan akhirnya bisa melumpuhkan demokrasi.

Alarm pelemahan pemberantasan korupsi sudah menyala dan saatnya Presiden memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini dan menunjukkan dukungan politiknya secara nyata.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Kemenangan Lobi Koruptor".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger