Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 31 Januari 2017

Rekonsiliasi Kebangsaan (FAROUK MUHAMMAD)

Sepanjang tahun 2016 terjadi berbagai peristiwa yang sesungguhnya menguji rasa dan semangat kebangsaan kita, mulai dari bencana alam hingga bencana sosial.

Tepatlah kiranya jika 2016 menjadi tahun refleksi bencana bagi bangsa Indonesia. Refleksi ini diharapkan dapat mengokohkan rasa dan semangat kebangsaan kita di tahun 2017 dan seterusnya sehingga tidak saja mampu menyelesaikan berbagai masalah internal, tetapi juga menghadapi tantangan dan ancaman eksternal dan meraih kemajuan bagi Indonesia. Dalam artikel singkat ini, penulis mengulas faktor-faktor yang memengaruhi tumbuh- kembangnya semangat kebangsaan serta menekankan pentingnya rekonsiliasi semangat itu melihat berbagai peristiwa yang terjadi selama 2016 lalu.

Bencana alam yang datang silih berganti selama 2016 menyebabkan kerugian materi dan nonmateri yang besar. Sejumlah wilayah bahkan mengalami kerusakan parah dengan korban jiwa yang cukup besar, antara lain gempa bumi di Aceh dan banjir bandang di Bima, Nusa Tenggara Barat. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tahun 2016 mencatatkan rekor baru jumlah kejadian bencana—sejak 2002—dengan 2.342 kejadian, meningkat 35 persen dari tahun 2015 (1.732 kejadian). Tentu catatan ini harus mendorong seluruh warga bangsa untuk mawas diri dan lebih dari itu membutuhkan solidaritas kebangsaan yang semakin kuat guna membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.

Seiring dengan tingginya bencana alam sepanjang 2016 itu, Indonesia juga menghadapi bencana sosial yang serius, berupa menguatnya kekhawatiran dan kecemasan masyarakat atas sejumlah isu (terorisme, narkoba, bangkitnya komunisme, masifnya tenaga kerja asing) serta terjadinya perbedaan persepsi yang tajam di masyarakat dalam memaknai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa.

Faktor kebangsaan

Semangat kebangsaan tidak berada dalam ruang hampa. Ia dipengaruhi banyak faktor: kondisi ekonomi, sosial, politik, hukum, dan keamanan. Kemampuan negara (pemerintah) untuk menjaga dan menghadirkan stabilitas atas faktor-faktor itu memengaruhi tumbuhnya semangat kebangsaan di kalangan rakyat. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang sulit (kemiskinan, pengangguran, disparitas), sosial politik yang tidak kondusif (otoriter/represif, intoleran, konfliktual), hukum yang tidak tegas dan berkeadilan, serta keamanan yang rentan (kecemasan, rasa tidak aman dan tidak nyaman) menjadikan semangat kebangsaan memudar atau bahkan menjadi ancaman bagi kebangsaan itu sendiri.

Jika kita evaluasi kondisi ekonomi selama dua tahun ini, memang masih menampakkan pertumbuhan yang relatif aman, dalam artian di tengahekonomi dunia yang kurang baik masih bisa menjaga pertumbuhan pada angka 5,02 persen. Meski kita juga tidak menutup mata bahwa secara kualitas pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dan masih jauh dari pemenuhan target pertumbuhan 7 persen seperti dijanjikan Jokowi-Kalla sampai tahun 2019.

Bahkan, jika kita telisik kualitas pertumbuhannya, kita akan mendapati realitas yang tidak terlalu menggembirakan. Angka kemiskinan dan pengangguran justru bertambah. Sementara rasio gini juga tidak banyak berubah (tetap tinggi). Berdasarkan dataBadan Pusat Statistik (BPS) pada awal Februari 2016, jumlah orang miskin naik dari 27,73 juta jiwa (10,96 persen jumlah penduduk) pada September 2014 menjadi 28,51 juta (11,13 persen) pada September 2015.

Padahal, Nawacita Presiden Jokowi yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menargetkan angka kemiskinan sebesar 9-10 persen, tetapi pencapaian angka kemiskinan masih lebih besar dari yang ditargetkan. Realisasi angka kemiskinan hingga Maret 2016 sudah menurun menjadi 10,86 persen (28,01 juta jiwa) dibandingkan dengan angka kemiskinan pada 2014 dan 2015, tetapi jumlah penduduk miskinnya (28,01 juta jiwa) masih lebih besar daripada jumlah penduduk miskin tahun 2014 (27,73 juta jiwa).

Pada periode yang sama, angka rasio gini gabungan antara perkotaan dan pedesaan sedikit menurun dari 0,414 menjadi 0,402. Angka tersebut masih tinggi karena masih berada di atas 0,40. Angka ini menggambarkan tingkat ketimpangan yang cukup parah antara penduduk kaya dan penduduk miskin.Selaras dengan data BPS tersebut, Bank Dunia tahun 2015 melansir laporan berjudul "Indonesia's Rising Divide" yang memaparkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia semakin melebar dan bergerak cepat.

Dari segi kekayaan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang terkaya tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50 persen lagi diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias 247,5 juta jiwa. Angka ini menjadi dilema tersendiri, sudah bisa dipastikan angka 1 persen orang terkaya di Indonesia tidak ada yang mewakili kepentingan masyarakat. Bahkan sebaliknya, angka 99 persen penduduk yang hanya menguasai 50 persen kekayaan sudah bisa dipastikan dari kalangan masyarakat kebanyakan.

Begitu pula dengan angka pengangguran, berdasarkan data BPS pada triwulan III tahun 2016, angka pengangguran terbuka masih sekitar 7,02 juta orang (5,5 persen). Persentase tingkat pengangguran terbuka selama dua tahun terakhir juga masih belum mencapai target RPJMN. Target tingkat pengangguran terbuka pada RPJMN 2015-2019 sebesar 5,0-5,3 persen. Lebih memprihatinkan lagi, angkatingkat elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah 107.206 tenaga kerja dalam setiap 1 persen pertumbuhan, angka tersebut belum sebanding pada tahun 2004, di mana setiap 1 persen pertumbuhan mampu menyerap 400.000 tenaga kerja.

Artinya, kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah selama ini ternyata belum berdampak terhadap pembukaan lapangan kerja secara masif. Apalagi nanti dengan adanya kebijakan pelonggaran masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia, hal itu akan semakin mempersempit ruang lingkup tenaga kerja lokal.

Sementara itu, kondisi politik dirasakan masih terfragmentasi pada kepentingan sesaat ketimbang kepentingan nasional. Elite politik dinilai masih terjebak dalam kontestasi kepentingan pragmatis/oportunis. Kekuasaan tidak sedikit yang disalahgunakan untuk kepentingan kelompoknya, bersikap represif dan anti kritik, sehingga publik semakin jemu dan yang lebih berbahaya kehilangan panutan/keteladanan pemimpin. Kondisi ini bisa mendorong perilaku masyarakat yang semaunya sendiri (tidak taat aturan dan acuh tak acuh), entoh para elite, juga berperilaku semaunya sendiri. Apabila hal ini diikuti oleh kondisi penegakan hukum yang inkonsisten, politicking, tidak supremasi hukum, tebang pilih, "tajam ke atas tumpul ke bawah", lengkap sudah prasyarat hilangnya kepercayaan (distrust) kepada elite dan aparat pemerintah.

Pada lanskap keamanan, ancaman terorisme seolah tak berkesudahan dan menghantui kehidupan masyarakat. Sudah banyak (tertuduh) pelaku teror yang ditangkap, tetapi ancaman tak kunjung berhenti sehingga meninggalkan tanya soal efektivitas pemberantasan terorisme dan upaya deradikalisasi.

Isu kebangkitan kembali paham/ideologi komunisme merupakan ancaman terhadap ideologi negara. Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) masih berlaku. Oleh sebab itu, segala hal yang berbau paham komunis merupakan hal terlarang. Tentu isu ini harus direspons sigap oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dengan mendorong masyarakat melaporkan indikasi bangkitnya ideologi ini dan menyerahkan pada proses hukum, bukan dengan main hakim sendiri.

Selanjutnya, isu masifnya TKA dipersepsi mengancam kemandirian ekonomi, apalagi dihadapkan pada serapan tenaga kerja dalam negeri yang rendah yang menyebabkan tingginya pengangguran/kemiskinan. Hal ini perlu respons yang bijak dari pemerintah karena bisa berdampak pada stabilitas sosial, kecemburuan di masyarakat, bahkan konflik fisik. Terlebih ditemukan maraknya pelanggaran hukum imigrasi dalam kasus ini (TKA ilegal). Kebijakan pelonggaran investasi dan arus orang (bebas visa 169 negara) hendaknya dievaluasi secara komprehensif sehingga meminimalkan ekses negatif dan kontraproduktif bagi kedaulatan dan kemandirian (ekonomi) negara.

Kita semua berharap pemerintah hadir dan menjawab kekhawatiran dan kecemasan atas berbagai isu di atas dengan data yang akurat dan komunikasi yang tepat kepada masyarakat sehingga bisa dipahami agar tak makin eskalatif dan kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun jika isu itu nyata terjadi agar pemerintah bisa mengambil langkah-langkah tepat dan terukur sehingga rakyat merasakan kehadiran dan keseriusan negara merespons ancaman ideologi dan kedaulatan Indonesia.

Jika pemerintah tidak aware dan tidak sensitif terhadap hal itu, dikhawatirkan bisa mengarah pada kondisi disorganisasi yang pada gilirannya menyebabkan krisis sosial politik. Akibatnya, semangat kebangsaan bukan hanya sulit ditumbuhkan, melainkan juga akan mengalami destruksi yang mengkhawatirkan.

Tidak boleh dilupakan, ada satu peristiwa besar yang terjadi di pengujung 2016, yaitu aksi demonstrasi rakyat (khususnya umat Islam) dengan jumlah peserta yang sangat besar dalam skala aksi yang luas di sejumlah daerah. Saat ini berkembang satu kondisi kebangsaan yang seolah terbelah (terfragmentasi) dan disharmoni yang jika dibiarkan terus terjadi tentu kontraproduktif bagi masa depan kebangsaan kita.

Momentum konsolidasi

Semua rentetan peristiwa berikut refleksi kondisi kebangsaan itu menguji kita bersama sebagai warga bangsa, apakah kita mampu melewati ujian itu dan mengambil pelajaran untuk memperkuat kebangsaan atau kita justru larut dalam perpecahan, larut dalam sikap pragmatis dan oportunis, lebih mementingkan ego pribadi/kelompok daripada kepentingan bangsa. Tahun 2017 harus kita songsong dengan optimisme. Segenap pihak, terutama elite Republik, harus menampakkan jiwa kepemimpinan dan kenegarawanan.

Pemimpin harus berdiri di antara seluruh rakyatnya, menjadi pemersatu sekaligus inspirator bagi semangat kebangsaan. Jangan mempertuankan kepentingan pragmatis dan oportunis dalam menjalankan kekuasaan yang diamanahkan. Tunjukkan etika luhur dalam praktik politik ketatanegaraan.

Kita perlu satu momentum untuk merekonsiliasikan semangat kebangsaan dari seluruh rakyat dan kita berharap inisiatif tersebut lahir dari para pemimpin, baik formal maupun informal, di semua level negara. Rekonsiliasi semangat kebangsaan ini harus dimulai dengan semangat persatuan bukan permusuhan, semangat penghormatan bukan penistaan, semangat kebinekaan bukan penyeragaman, semangat tenggang rasa bukan kebencian. Jangan terus mempertajam pertentangan isu Bhinneka Tunggal Ika, intoleran, dan lain-lain yang sesungguhnya hanya terbentuk dari kesalahmaknaan yang membuat perbedaan persepsi.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, proses sosial berikutnya adalah terjadinya disorganisasi bahkan disintegrasi yang di-"bakar" oleh konflik horizontal. Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah membangun kebersamaan menghadapi ancaman eksternal (narkoba, Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS, terorisme, tenaga kerja asing, komunisme, dan lain-lain). Ingat, kita merdeka dan bersatu sangat dipicu oleh semangat melawan penjajahan.

Sejalan dengan itu semua, kita berharap komitmen negara untuk menghadirkan ekonomi yang berkualitas dalam pemerataan, pengentasan warga dari kemiskinan, pengangguran, dan disparitas. Negara harus menjamin penegakan hukum yang berkeadilan, rasa aman dan nyaman, serta kebijakan pemerintah yang obyektif dan profesional terhadap kepentingan publik sehingga rakyat memiliki kepercayaan kepada negara, merasa dilindungi dan dilayani, sebaliknya tidak merasa didiskriminasikan dan/atau dimarjinalkan secara struktural. Hanya dengan cara itulah rekonsiliasi semangat kebangsaan dapat terwujud dengan baik. Semoga!

FAROUK MUHAMMAD, WAKIL KETUA DPD RI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Rekonsiliasi Kebangsaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Lampu Penyeberang Jalan‎//Tanggapan Mandiri//Tanggapan AXA//Tanggapan BPJS (Surat Pembaca Kompas)

Lampu Penyeberang Jalan

Saya berterima kasih kepada pihak berwenang atas dipasangnya lampu pengatur lalu lintas khusus untuk penyeberang jalan di pertigaan Pasar Minggu Raya-Pejaten Raya, Jakarta Selatan. Sebelumnya, penyeberang dibantu polisi yang berjaga di lokasi pada sore hari.

Namun, sejak di tengah jalan itu dipasangi pembatas agar tidak ada pengendara dari Pejaten Raya yang berbelok ke kanan menuju Pasar Minggu, atau pengendara yang memutar balik di pertigaan itu, kendaraan yang dipacu di sepanjang Pasar Minggu Raya menjadi kencang.

Lampu pengatur lalu lintas yang diaktifkan untuk para penyeberang jalan tidak pernah dipatuhi oleh para pengendara kendaraan bermotor. Suara alarm yang mengingatkan kepada para pengendara untuk memberikan kesempatan bagi penyeberang jalan tidak berbunyi sebulan terakhir ini.

Saya dan para penyeberang lain harus mencari sela atau berlari di antara sepeda motor dan mobil untuk mencapai sisi seberang. Itu pun kadang harus berhenti di tengah jalan karena lampu penyeberang telah berubah merah setelah memberikan kesempatan 10-15 detik untuk menyeberang.

DEWI DHAMAYANTI, CINERE, KOTA DEPOK, JAWA BARAT

Tanggapan Mandiri

Menanggapi surat pembaca Bapak Joko Nugroho di harian Kompas (14/1), kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami dan berterima kasih atas masukan yang diberikan.

Pada 16 Januari 2017 kami telah mengembalikan 1.000 fiestapoin ke kartu kredit Mandiri Bapak. Kami juga telah berkomunikasi melalui telepon untuk menjelaskan permasalahan dan diterima dengan baik. Penjelasan tertulis juga kami sampaikan di lembar tagihan kartu kredit Mandiri yang bersangkutan.

Jika masih ada pertanyaan atau saran, sila menghubungi customer service 24 jam Mandiri Call 14000 atau melaluiwebsite www.bankmandiri.co.id dengan memilih menu contact us atau langsung melalui e-mailcustomer.care@bankmandiri.co.id.

ROHAN HAFAS, CORPORATE SECRETARY, PT BANK MANDIRI (PERSERO) TBK

Tanggapan Indihome

Menanggapi surat pembaca Bapak Nofri Andis di harian Kompas (23/1) perihal gangguan Indihome, kami menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami.

Kami sampaikan bahwa petugas teknisi telah berkunjung pada 23 Januari 2017 ke rumah Bapak Nofri Andis dan memperbaiki perangkat akses jaringan dan hasil tes menunjukkan layanan Indihome sudah normal kembali.

Pihak Telkom telah mengonfirmasi ulang melalui telepon 08558251188, diterima oleh Bapak Nofri Andis, dan menyatakan layanan Indihome sudah berfungsi baik. Dengan demikian, permasalahan telah diselesaikan.

Kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak kepada Telkom.

RISNA MUTIAR, MANAGER SEKDIV AND PUBLIC RELATION JAKARTA, TELKOM INDONESIA

Tanggapan AXA

Terkait surat Bapak Chandra Kirana di harian Kompas (5/1), atas nama PT AXA Financial Indonesia (AXA) kami mengucapkan terima kasih atas masukan yang diberikan dan sekaligus memohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami.

Tim AXA telah menghubungi Bapak Chandra Kirana dan memberikan penjelasan atas polis yang ia miliki serta memberikan pilihan solusi berdasarkan hasil diskusi dan masukan yang telah dikomunikasikan dengan tim kami.

Kami berkomitmen mengedepankan layanan sesuai dengan kebutuhan nasabah.

ROY SITORUS, HEAD OF OPERATIONS, PT AXA FINANCIAL INDONESIA, AXA TOWER LANTAI 17, JL PROF DR SATRIO KAV 18, KUNINGAN CITY JAKARTA 12940

Tanggapan BPJS

Terkait surat Bapak Suryana, "Fasilitas Kesehatan" (Kompas, 16/1), kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami. Kami juga sudah berkomunikasi dengan Bapak Suryana dan Ibu Novia pada hari yang sama.

Sesuai pengecekan pada rekaman percakapan antara Agen Care Center BPJS Kesehatan dan Bapak Suryana, telepon terputus dari penelepon.

Dapat kami sampaikan bahwa saat ini status kepesertaan JKN-KIS Ibu Novia Anggraina telah aktif kembali dan bisa digunakan sesuai ketentuan.

Atas perhatian dan kerja sama yang baik dari Redaksi Kompas memuat penjelasan ini, kami ucapkan terima kasih.

BUDI MOHAMAD ARIEF, KEPALA GRUP KOMUNIKASI PUBLIK DAN HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA, BPJS KESEHATAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ANALISIS POLITIK YUDI LATIF: Pancasila dalam Musik

Semua kekusutan dan kekisruhan yang mewarnai kehidupan negeri boleh jadi karena kita tidak cukup menerima olah batin. Demokrasi dirayakan dengan pesta jorjoran, miskin substansi dan refleksi; budaya dipadati tontonan ingar-bingar, kurang tuntunan etis dan estetis; agama diekspresikan dalam kerumunan dan kebisingan, miskin perenungan dan penghayatan.

Ruang publik disesaki sampah ucapan dengan menyisakan sedikit kerendahan hati untuk diam-mendengar. Untuk penjernihan, kita harus keluar dari kegaduhan menuju kesunyian. Jalaluddin Rumi berkata, "Hening adalah lautan. Ucapan adalah sungai. Saat lautan mencarimu, jangan melangkah memasuki sungai. Dengarkanlah lautan."

Kalaupun harus memasuki sungai, masukilah aliran sungai suara yang bening; tempat orang menemukan air jernih yang bisa digunakan untuk membersihkan diri. Bahasa musik yang sanggup menembus batas-batas ego-mental dengan kemampuannya menyentuh kedalaman hati bisa digunakan sebagai sarana olah batin. Manakala kita sulit dipertemukan dalam ucapan verbal, musik bisa digunakan sebagai sarana sambung rasa.

Di tengah krisis kebangsaan, kita patut mengapresiasi inisiatif sejumlah musisi yang menawarkan cara pengucapan berbeda. Bukan ucapan verbal yang memancing cekcok tafsir dan pertikaian, melainkan ucapan nada yang menyentuh perasaan yang membawa segala perbedaan menuju persatuan Indonesia. Seruan persatuan nasionalnya akan lebih kuat jika tagline-nya bukan "Satu Indonesiaku", melainkan "Satu Indonesia Kita"; seraya menyertakan musisi yang lebih inklusif, termasuk penyanyi dengan busana bernuansa keagamaan yang khas (semacam berhijab).

Sosialisasi nilai Pancasila lewat musik bisa menjadi alternatif dari kecenderungan yang terlalu menekankan dimensi kognitif-normatif dengan pendekatan intelektualistis yang kering. Kekuatan suatu ideologi bukan hanya terletak pada kebernasan dan relevansi ide-idenya, melainkan juga pada kapasitasnya untuk memberikan inspirasi dan membangkitkan gairah (passion) untuk bertindak.

Kita memerlukan proses pembudayaan Pancasila secara holistik. Pengajaran Pancasila tidak sekadar menawarkan butir-butir kode moralitas untuk dihafalkan (logos), tetapi juga harus disajikan kreatif agar bisa menyentuh penghayatan emotif (pathos), yang mendorong tekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai moral itu dalam kehidupan nyata (ethos). Kita memerlukan pendekatan interaktif antara dimensi kognitif-saintifik, ekspresif-estetik, dan praktis-moral. Ketiga dimensi itu bernilai setara sehingga kehilangan salah satunya berisiko kesenjangan dalam praksis Pancasila, seperti ketidakbersambungan antara pikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakan (konatif).

Musik bisa didayagunakan sebagai medium ekspresif-estetik untuk mengembangkan penghayatan emotif terhadap Pancasila. Musik bisa menumbuhkan suasana kejiwaan untuk mengasah kepekaan afektif dalam menghayati nilai-nilai Pancasila. Menurut riset neuro-science, jenis lirik dan musik tertentu dapat merangsang perkembangan otak, khususnya otak kanan, yang memperkuat daya kreativitas dan afinitas sosial untuk siap bergotong royong.

Arti penting musik juga lebih terasa dalam konteks masyarakat demokratis yang bersifat ekspresif. Dalam ruang kebebasan berekspresi dan apresiasi, musik bisa menjadi pilihan atraktif untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan, terlebih dalam kehadiran lapis besar generasi X-Y-Z yang lebih terpapar dengan medium kreatif. Fakta mayoritas penduduk Indonesia berusia muda, dan mayoritas mereka menyukai musik, menjadikan musik sebagai medium efektif untuk sosialisasi. Perkembangan terakhir, musik Indonesia juga telah menjadi "tuan rumah" di negeri sendiri, seperti diindikasikan makin meluasnya pangsa pasar lagu-lagu domestik. Singkat kata, kita harus sungguh-sungguh mempertimbangkan besarnya potensi musik bagi proses emansipasi dan transformasi bangsa dengan melibatkan musisi dalam proses diseminasi nilai-nilai Pancasila.

Upaya sosialisasi Pancasila melalui gerakan kebudayaan penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Padahal, transformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya. Dalam gerakan sosial-budaya, musik bisa dijadikan wahana representasi habitus Indonesia berbasis Pancasila. Habitus dalam pengertian Pierre Bourdieu (1977) adalah skemata pengalaman dan persepsi bersifat kolektif yang mengandung ekspresi-subyektif identitas tertentu dan juga sebagai sarana-sarana obyektif bagi proses naturalisasi dan afirmasi identitas tertentu. Dengan kata lain, musik bisa mengekspresikan nilai-nilai Pancasila yang tumbuh di bumi Indonesia, dan pada saat bersama berfungsi sebagai prinsip penganjur dan penyemai nilai-nilai Pancasila bagi rakyat Indonesia.

Ambil contoh permainan angklung. Setiap orang pada dasarnya memainkan satu nada (menjadi diri sendiri), tetapi dengan kesadaran penuh untuk memberikan kesempatan berbunyi bagi nada lain. Dalam suatu ensambel di bawah kepemimpinan seorang dirigen, satuan-satuan ekspresi pribadi itu bisa dipertautkan menjadi harmoni kolektif. Permainan angklung dapat merefleksikan sekaligus membentuk kepribadian Indonesia.

Dengan melibatkan para musisi, penggiat, dan penikmat musik lintas etnis-keagamaan dan mengambil jarak dari pertarungan politik praktis dalam masyarakat, gerakan Pancasila dalam musik juga bertindak sebagai medan perjumpaan bagi artikulasi kepentingan umum dari kemajemukan bangsa. Suatu kekuatan artikulasi kepentingan secara estetik, tanpa jalur kekerasan.

YUDI LATIF, ANGGOTA ASOSIASI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 15 dengan judul "Pancasila dalam Musik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TNI, Perang Proksi, dan Demokrasi (M ALFAN ALFIAN)

Tentara Nasional Indonesia telah menggelar rapat pimpinan nasional yang pembukaannya diawali oleh arahan Presiden Joko Widodo.
HANDINING

Pada kesempatan itu, Presiden, antara lain, menekankan agar jajaran TNI dan Polri bergerak cepat mengantisipasi berbagai perubahan yang kini terjadi secara masif akibat kecanggihan teknologi. Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun menyinggung kesiapan TNI menghadapi tantangan global ke depan.

Gatot menggarisbawahi, kompetisi global berpotensi menjadi konspirasi global untuk memperebutkan sumber-sumber daya penting dari pangan hingga energi.Diingatkannya, jika kompetisi jadi konspirasi, hal tersebut merupakan "ancaman luar biasa". Menurut dia, kebijakan Presiden Joko Widodo yang memanfaatkan kondisi geografis maritim Indonesia dengan membuat jalan tol laut bisa menjadi solusi.

Terdapat benang merah penting dari dua pernyataan tersebut. Kata-kata kuncinya adalah kompetisi dan antisipasi perubahan. Kompetisi terkait perkembangan global dan kebutuhan Indonesia untuk tidak saja eksis, tapi juga mampu mengelola segenap sumber daya di era perubahan yang serba cepat ini. Sementara antisipasi perubahan jelas memerlukan perhatian dan kinerja profesional semua entitas yang menggeluti bidangnya.

Terkait hal tersebut, dalam konteks TNI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan nasional, apa yang sering disampaikan Gatot Nurmantyo terkait bahaya perang proksi relevan adanya. Panglima membedakan perang asimetris, hibrida, dan proksi. Perang asimetris terkait konteks perbedaan mencolok pihak-pihak berperang dari segi "kekuatan militernya". Perang hibrida mengombinasikan perang asimetris dengan perang informasi. Sementara perang proksi pada hakikatnya konfrontasi dua kekuatan besar dengan memanfaatkan pemain-pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi langsung.

Panglima TNI menggarisbawahi, melalui perang proksi, "tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan non state actors dari jauh". Melalui pengertian demikian, sudah tepat manakala panglima mengingatkan bahaya perang proksi. Indonesia, bagaimanapun, berpotensi dijadikan ajang perang proksi pihak luar.

Salah satu bentuk perang proksi yang sering diilustrasikan panglima, selain gerakan separatis, demonstrasi massa, dan peredaran narkoba, adalah bentrok antarkelompok. Sebagai pengamat politik, saya merasakan adanya gejala meningkatnya potensi bentrok antarkelompok dewasa ini. Hal tersebut terkait masalah politik dalam maknanya yang luas.

Perkembangan politik kita, di level parlemen dan pemerintahan, sesungguhnya sudah mencapai suatu titik keseimbangan (ekuilibrium). Tetapi, suhu politik masih bisa memanas justru karena secara anomali datang dari ranah konfliktual antaraktor non-negara. Banyaknya aktor non-negara sebagai kelompok kepentingan, bahkan penekan, menaikkan potensi konflik eskalatif apabila tak terkelola elegan dan efektif. Mereka pun potensial dimanfaatkan sebagai aktor-aktor perang proksi.

Demokrasi permusyawaratan

Dalam konteks ini, wajar manakala diingatkan agar jangan sampai Indonesia jadi seperti Timur Tengah, khususnya Suriah, sebagai ajang perang proksi. Gambarannya jelas: instabilitas dan kekacauan terus terjadi. Semua nyaris destruktif, dan rakyatlah yang paling menderita hidup dalam sebuah negara gagal yang tercabik-cabik perang.

TNI merupakan bagian integral dari manajemen kebangsaan demokratis yang berbasis Pancasila. Di tengah suasana kebangsaan yang semakin ditandai oleh membesarnya potensi benturan antarkelompok, diperlukan langkah elegan dan konvergensif (menyatu) ke arah titik temu dan penguatan konsensus kebangsaan, bukan penguatan dimensi divergensif (perpecahan) dan memperbanyak titik tengkar yang kontraproduktif.

Semua harus dikembalikan ke Pancasila sebagai titik temu, common denominatorberbagai unsur bangsa. Dalam perspektif sosiologi politik, Pancasila mengandung dimensi konvergensi, bukan divergensi. Namun, merujuk pengalaman sejarah, Pancasila sering kali dijadikan tameng kekuatan-kekuatan politik untuk mengklaim pihaknya lebih Pancasilais, dan menjadikannya alat pukul politik. Kalau itu yang terjadi, praktik kekuasaan otoriterlah yang leluasa. Pancasila sebagai titik temu kebangsaan efektif manakala yang mengemuka adalah implementasi demokratis sila keempat (permusyawaratan atau deliberasi).

Pancasila hendaknya diposisikan sebagai "ideologi terbuka", bukan ideologi statis, tertutup, dan menolak gagasan-gagasan baru sesuai semangat zaman. Semua hal dapat didialogkan dan dimusyawarahkan secara elegan untuk mencari titik temu, konsensus kebangsaan dalam bingkai Pancasila. Demokrasi sila keempat menekankan musyawarah dalam semangat mencari dan dilandasi "hikmat kebijaksanaan". Semangatnya menuju titik temu, bukan titik tengkar.

Karena itu, diperlukan sikap tenggang rasa, meninggalkan paradigma menang-kalah secara subyektif menurut kelompok masing-masing. Egoisme kelompok atau komunalisme harus ditepikan. Yang dikedepankan seharusnya obyektivikasi, yang mengutamakan kejujuran obyektif, bukan klaim yang apriori. Ragam ucapan, penyikapan, dan tindakan yang berkonsekuensi pada penajaman konflik dan suasana konfrontatif perlu diakhiri. Hal semacam ini penting guna menjauhkan Indonesia dari perang proksi, sebagaimana yang selalu diingatkan panglima.

Manajemen kebangsaan

Negara harus mampu hadir sebagai pengelola utama kebangsaan kita karena negara memiliki segenap peranti memadai dan cara yang absah untuk melakukannya. Dengan kata lain, manajemen kebangsaan perlu peran negara, tetapi bukan dalam konteks menghegemoni segala hal tanpa menyisakan ruang bagi publik berpendapat secara bertanggung jawab. Negara harus menciptakan iklim kondusif bagi demokrasi, kendatipun—dalam pengertian Max Weber—negara adalah entitas absah pengguna kekerasan. Pendekatan represif tentu bukan pilihan dan sangat tak populer dalam demokrasi, kendati sering kali negara menghadapi situasi yang dilematis.

Di zaman mengecambahnya hoax atau kabar bohong dewasa ini, manajemen kebangsaan yang demokratis dan partisipatif tentu bukan tugas ringan. Namun, negara, dalam hal ini termasuk TNI, perlu mendorong suatu prosestabayun (cek-ricek) dan dialog mendalam di tengah cuitan-cuitan sepintas lalu, tergesa-gesa, dan serba permukaan. Ini semua perlu kesabaran, sikap inklusif, imparsial, obyektif, dan etis semua pihak.

Panglima TNI telah memosisikan sebagai juru ingat melalui ceramah-ceramahnya tentang bahaya perang proksi agar bangsa ini tak mudah dipecah. Potensi perang proksi, terutama ditandai menajamnya konflik potensial antarkelompok di Indonesia yang majemuk, ini perlu ditangkal melalui implementasi demokrasi permusyawaratan Pancasila sebagai paradigma manajemen konflik kebangsaan. Saya rasa, hal ini selaras dengan semangat dan inti gagasan yang disampaikan panglima di banyak kesempatan.

M ALFAN ALFIAN, DOSEN PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA; ANGGOTA LEMBAGA PENGKAJIAN MPR RI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "TNI, Perang Proksi, dan Demokrasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Perlambatan Pemberantasan Korupsi (REZA SYAWAWI)

Transparency International kembali merilis Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) 2016. Hasilnya, Indonesia memperoleh skor 37 dan menempati peringkat ke-90 dari 176 negara yang dinilai.

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2015), skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya mengalami kenaikan 1 poin. Skor ini juga masih di bawah rerata global di angka 43. Bahkan, di kawasan Asia Pasifik, skor Indonesia masih jauh tertinggal. Kondisi ini mengisyaratkan terjadinya perlambatan terhadap kinerja pemberantasan korupsi di semua lini. Padahal, ketika terjadi transisi politik tahun 2014 menuju tahun 2015, skor CPI cukup baik karena mengalami kenaikan yang konsisten hingga 2 poin.

Ada perbedaan yang cukup signifikan bagaimana rezim pemerintahan sebelumnya (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan rezim Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) dalam melihat CPI. Jika merujuk pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, capaian CPI tidak lagi menjadi salah satu acuan bagi pemerintah untuk mengukur kinerja pemberantasan korupsi.

Secara politik, ini tentu saja menjadi pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Namun, CPI dari sisi global tetap patut diperhitungkan sebagai salah satu masukan bagi Indonesia.

Prioritas

Selama lebih dari dua tahun di bawah pemerintahan Jokowi-Kalla, situasi politik hukum pemberantasan korupsi memang mengalami situasi dilematis. Tahun 2015, semua pihak menyaksikan bagaimana terjadi pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sementara Presiden dinilai lambat dalam mengambil keputusan.

Di sisi lain, Presiden memang lebih terlihat memfokuskan pada konteks perbaikan di sektor bisnis (ekonomi). Ada banyak paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan untuk memberikan kemudahan bagi pebisnis, termasuk kebijakan pengampunan pajak.

Sayangnya, privilese yang diberikan ini tidak diimbangi dengan mengeluarkan kebijakan yang memastikan sistem integritas berlaku bagi sektor bisnis/swasta. Sebab, problem integritas (korupsi) di sektor publik juga dipicu oleh masifnya perilaku pebisnis yang korup.

Dengan demikian, perbaikan di sektor publik akan mengalami tantangan yang cukup besar karena tidak berimbang dari sisi supply side. Hal ini setidaknya terkonfirmasi dari data KPK terkait jumlah pelaku korupsi dalam kurun waktu 2004-2016 yang didominasi oleh sektor swasta.

Maka, ke depan, pemerintah perlu menetapkan satu kebijakan khusus yang digunakan sebagai standar dalam menilai integritas sektor swasta, termasuk bagi perusahaan negara (BUMN/ BUMD). KPK dalam hal ini tentu perlu membantu pemerintah untuk menetapkan standar ini dalam konteks pencegahan korupsi sehingga kebijakan ini diharapkan mampu mengakselerasi perbaikan di sektor publik.

Sektor hukum

Banyak pihak yang menilai Presiden tidak menempatkan sektor hukum sebagai prioritas. Padahal, perbaikan di sektor hukum, khususnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi, menjadi salah satu penyokong indeks persepsi korupsi. Perbaikan di sektor ekonomi akan mengalami hambatan jika kondisi penegakan hukum justru menimbulkan ketidakpastian.

Apabila ditelisik ke belakang, Presiden baru mengeluarkan paket reformasi hukum ketika usia pemerintahan sudah akan memasuki tahun ketiga (Oktober 2016). Sebut saja pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016. Namun, alih-alih bicara soal efektivitas, yang terjadi justru menjamurnya pembentukan satuan tugas semacam ini di lembaga-lembaga negara dan pemerintah daerah.

Tak berselang lama, pada November 2016, Presiden kembali mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017. Terakhir, pada awal tahun 2017, Presiden menelurkan paket reformasi hukum jilid kedua yang memfokuskan pada 3 (tiga) hal, yaitu penataan regulasi, bantuan hukum bagi masyarakat, dan pengembangan polisi masyarakat.

Ketiga paket kebijakan hukum di atas tentu bertujuan memberikan stimulus bagi perbaikan di sektor hukum, khususnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Namun, karena faktor waktu, kebijakan ini belum berkontribusi pada peningkatan indeks persepsi korupsi. Hal inilah yang sebetulnya memengaruhi terjadinya perlambatan terhadap kinerja pemberantasan korupsi.

Ke depan, Presiden perlu lebih sensitif terhadap isu-isu strategis yang terkait dengan hukum dan pemberantasan korupsi, bukan hanya berkutat pada sektor ekonomi belaka. Sebab, percepatan pembangunan di sektor ekonomi akan lebih mudah dicapai jika sistem hukumnya sudah mampu memitigasi terjadinya praktik korupsi.

REZA SYAWAWI, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Perlambatan Pemberantasan Korupsi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Melihat, dan Bersiap, Lebih Dulu (Kompas)

Kalimat di atas bukan menggurui, melainkan hanya sekadar mengulang ungkapan dari Perancis, bahwa Gouverner c'est prevoir.

Memerintah itu melihat lebih dulu. Kelanjutannya bisa berbunyi, dengan itu bisa bersiap lebih dini. Ungkapan ini kita angkat setelah membaca berita utama harian ini, Senin (30/1), berjudul "Siaga Kebakaran Dimulai". Kita sempat terheran, bukankah banjir masih di mana-mana, kok kita sudah bicara tentang siaga menanggulangi kebakaran.

Yang dipersoalkan memang siaga menghadapi kebakaran hutan dan lahan. Dalam hal ini, pemerintah mendorong pemerintah daerah dan swasta untuk mempersiapkan diri sebelum musim kemarau tiba.

Sekarang Riau menjadi satu-satunya provinsi yang sudah menyatakan siaga darurat bencana. Tetapi, bulan Februari, setelah Riau, akan menyusul Sumatera Selatan. Sementara Jambi dan Kalimantan Tengah yang rentan kebakaran hutan dan lahan belum memastikan kapan.

Dengan menegakkan status siaga, simulasi menghadapi bencana bisa dilakukan. Siapa yang menjadi pimpinan, apa yang harus disiapkan dan dilatih untuk penanggulangan, sudah bisa dimulai. Ini dalam kenyataan memang membutuhkan koordinasi yang kompleks, mulai dari pemantauan cuaca, koordinasi TNI dan Polri, pengerahan heli dan pesawat pengebom air, dan sebagainya.

Persiapan yang dilakukan dengan kencang, antara lain, juga dilatarbelakangi oleh ancaman Presiden yang akan mencopot pimpinan polisi dan TNI yang daerahnya tidak berhasil mengendalikan kebakaran, kata Kepala Polda Riau Irjen Zulkarnain.

Dari satu sisi, kita juga memahami sikap tegas Presiden, mengingat musibah kebakaran hutan dan lahan sudah setidaknya 20 tahun terakhir menjadi momok di musim kemarau. Bencana ini harus diakui sangat mempermalukan Indonesia di kancah regional dan global.

Memang ada faktor pemanasan global, perubahan iklim, yang membuat hutan dan lahan jadi lebih mudah terbakar, tetapi juga harus diakui bahwa peranan kesengajaan manusia tidak kecil juga. Sering kita mendengar penjelasan, kebakaran itu memang terjadi karena ada upaya untuk memperluas lahan perkebunan.

Aktivitas tersebut tidak saja menyusahkan warga yang tinggal tak jauh dari lokasi kebakaran, tetapi juga menyebabkan aktivitas serupa di sejumlah negara tetangga terganggu. Dampak yang muncul dari bencana asap antara lain menimbulkan sesak napas dan membatasi mobilitas, termasuk sekolah dan perdagangan warga. Sekarang kita harus berani mengatakan, cukup sudah, enough is enough! Dua dekade sungguh waktu yang terlalu lama untuk belajar mencegah dan memadamkan asap.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Melihat, dan Bersiap, Lebih Dulu".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Memasuki Era Trump-Putin (Kompas)

Era baru hubungan AS-Rusia dimulai dengan percakapan telepon antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Semua pihak mencermati apakah persoalan sanksi terhadap Rusia dibicarakan dalam obrolan kedua kepala negara ini. Menurut Gedung Putih, soal sanksi tak dibicarakan. Yang diobrolkan hanya soal bagaimana memperkuat kerja sama melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) serta menyelesaikan krisis Suriah.

Namun, Kremlin menyatakan hal berbeda. Menurut mereka, kedua kepala negara membicarakan upaya restorasi ekonomi dan perdagangan yang menguntungkan kedua negara. Pernyataan ini menyiratkan bahwa soal sanksi telah disinggung keduanya karena mempererat kerja sama perdagangan tak mungkin dilakukan tanpa pencabutan sanksi.

Apa yang akan terjadi jika sanksi AS terhadap Rusia dicabut? Tentu kita ingat bahwa sanksi dijatuhkan terhadap Rusia karena negara ini mencaplok Crimea melalui kekuatan militer dan menyatakan Crimea sebagai bagian dari Rusia. Rusia juga mendukung perlawanan bersenjata di Ukraina bagian timur. Sanksi tidak hanya dijatuhkan oleh AS, tetapi juga oleh Uni Eropa yang menempatkan Rusia sebagai ancaman nyata bagi keamanan di kawasan.

Jika AS mencabut sanksi, hubungan AS-Uni Eropa diperkirakan akan memburuk, dan ini akan membuat Rusia gembira. Konsekuensi berikutnya, apakah AS akan mengakui pencaplokan Crimea sebagai sesuatu yang legal? Pengakuan ini akan berdampak besar bagi stabilitas keamanan dunia.

Upaya normalisasi hubungan Rusia-AS juga akan berdampak pada sejumlah persoalan yang melibatkan "unsur" Rusia. Misalnya penyelesaian damai di Suriah. AS dan Rusia berada di dua kubu yang berbeda. Militer Rusia (dan Iran) mendukung pasukan pemerintahan Bashar al-Assad, sementara AS mendukung pasukan pemberontak anti Assad. Yang bisa "mempertemukan" keduanya saat ini adalah menempatkan NIIS sebagai musuh bersama.

Namun, mendengar Trump berbicara soal damai di Suriah seperti jauh panggang dari api. Bukankah penyelesaian damai di Suriah membutuhkan penyelesaian menyeluruh termasuk nasib jutaan pengungsinya?

Perintah eksekutif Trump yang melarang semua warga negara dari tujuh negara Muslim masuk ke AS, termasuk melarang masuk pengungsi asal Suriah yang telah memiliki izin, menunjukkan Trump tidak menyadari krisis yang sedang dihadapinya saat ini dan berapa besar bahaya yang akan muncul akibat langkah diskriminatifnya ini.

Hanya dalam sepekan setelah menduduki jabatan presiden, Trump membuat rangkaian keputusan yang kontroversial. Dunia memang harus bersiap mengantisipasi langkah Trump.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Memasuki Era Trump-Putin".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, 30 Januari 2017

ANALISIS EKONOMI A TONY PRASETIANTONO:Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita

Begitu dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump langsung merealisasikan idenya untuk memproteksi perekonomian negaranya. Sebenarnya perekonomian AS saat ini sedang menuju ke pemulihan sesudah krisis 2008. Tingkat pengangguran kini hanya 4,6 persen, pertumbuhan ekonomi 1,6 persen, dan inflasi 1,2 persen. Itulah pencapaian positif yang dilakukan pemerintahan Barack Obama.

Namun, rupanya Trump belum puas. Ada statistik ekonomi yang begitu mengganggunya, yaitu defisit perdagangan, terutama terhadap Tiongkok. Pada 2015, AS menderita defisit 367 miliar dollar AS terhadap Tiongkok, yang berarti naik daripada sebelumnya 343 miliar dollar AS (2014). AS hanya berhasil mengekspor 116 miliar dollar AS, sedangkan impornya 484 miliar dollar AS terhadap Tiongkok. AS banyak mengimpor barang-barang elektronik, pakaian, dan mesin dari Tiongkok.

Ini sebenarnya persoalan lama yang belum ditemukan solusinya. Mengapa Tiongkok begitu superior? Pertama, Tiongkok memiliki keunggulan komparatif pada biaya tenaga kerja. Pendapatan per kapita AS saat ini 56.000 dollar AS, sedangkan Tiongkok 9.000 dollar AS (untuk kota terbesar Beijing dan Shanghai mencapai 11.000 dollar AS). Kedua, Pemerintah Tiongkok secara sengaja menetapkan kurs yuan (renminbi) secara tetap sehingga cenderung lebih murah daripada semestinya (undervalued). Hal ini kian menguntungkan posisi harga barang-barang Tiongkok sehingga menjadi lebih murah.

AS sebenarnya sudah lama mencoba melobi Tiongkok untuk mengatasi ketidakseimbangan ini. Caranya, waktu itu, Menteri Luar Negeri AS Hillary R Clinton dan bahkan Presiden Barack Obama terbang ke Beijing. Akan tetapi, hasilnya sia-sia. Kurs yuan sempat akan diserahkan pada mekanisme pasar sejak Oktober 2016. Namun, ternyata hasilnya tidak tampak. Dengan dukungan cadangan devisa 3,2 triliun dollar AS, Pemerintah Tiongkok tetap bisa menyetir "semaunya" dalam menentukan kurs yuan agar produk Tiongkok tetap kompetitif.

Masalah inilah yang sebenarnya ingin dibidik Donald Trump. Dia ingin Tiongkok menyerahkan mekanisme kurs yuan pada pasar sehingga yuan akan mengalami apresiasi, katakanlah antara 2 persen dan 3 persen per tahun. Oleh karena tidak ada tanda-tanda Tiongkok akan mematuhi kemauan AS, Presiden Trump pun ingin memaksakan pengenaan tarif tinggi terhadap berbagai produk Tiongkok.

Kebijakan ini tentu menakutkan seluruh dunia. Tiongkok bisa dipastikan tidak tinggal diam. Joseph Stiglitz mengingatkan akan terjadinya bencana perang dagang (trade war) antara AS dan Tiongkok, kemudian AS melawan Meksiko, lalu merembet ke seluruh dunia. Ini bahaya. Selain proteksionisme perdagangan, Trump juga akan memotong tarif pajak dan menambah defisit anggaran dengan utang. Ini mirip jurus ekonomi Presiden Ronald Reagan yang disebut supply-side economics, yang sesungguhnya tidak berjalan baik (Stiglitz, "Trumpian Uncertainty", Project Syndicate, 9/1/2017).

Bagi Paul Krugman, Trump ibarat memutar jarum jam ke seperempat abad silam ketika World Trade Organization berdiri pada 1 Januari 1995. Perang dagang akan terjadi, terutama AS melawan Tiongkok, meskipun mungkin tidak menyebabkan terjadinya kenaikan pengangguran besar, seperti yang ditakutkan banyak pengamat (Krugman, "The China Shock and the Trump Shock",The New York Times, 25/12/2016).

Benang merah pendapat Krugman dan Stiglitz adalah perekonomian global tidaklah dalam sekejap berubah dari era liberalisme/globalisasi (borderless world) menuju era proteksionisme. Semuanya perlu proses yang tidak mudah dan makan waktu. Tidak bisa seketika. AS memang keluar dari skema Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), tetapi skema WTO tidak serta-merta bubar.

Jalan Trump masih panjang dan terjal untuk bernegosiasi dengan Tiongkok yang pasti akan melawan dengan sengit. Sementara bagi Indonesia, AS merupakan mitra dagang yang penting. Selama 2016, AS menjadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia senilai 15,68 miliar dollar AS, disusul Tiongkok (15,09 miliar dollar AS), dan Jepang (13,21 miliar dollar AS). Dari sini dapat disimpulkan, meski tidak berarti kita pasti akan terkena dampak kebijakan Trump, upaya untuk mencari pasar di luar AS menjadi hal yang harus dilakukan.

Namun, ada berita baik bagi kita dari sektor primer. Sejak Desember 2016, para produsen minyak dunia mulai menahan diri untuk tidak menggenjot produksi hingga 90 juta barrel per hari. Mereka harus mengerem produksi untuk menyetop kejatuhan harga minyak lebih lanjut. Arab Saudi dan Rusia akhirnya rela mengurangi produksinya dengan masing-masing 500.000 barrel per hari. Langkah ini diikuti produsen lain, baik anggota OPEC maupun bukan.

Hasilnya, kini harga minyak stabil di level 53 dollar AS per barrel (WTI) dan 55 dollar AS per barrel (Brent). Ini membawa mata rantai positif pada harga komoditas substitusinya, yaitu batubara dan kelapa sawit.

Ditambah dengan kuatnya komitmen pemerintah untuk membelanjakan fiskalnya pada proyek-proyek infrastruktur (Rp 346 triliun), pada dasarnya perekonomian Indonesia masih memiliki daya tahan terhadap kemungkinan gempuran Trump.

A TONY PRASETIANTONO, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM, YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2017, di halaman 15 dengan judul "Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Menenun Semangat Kebangsaan (FATHORRAHMAN GHUFRON)

Ada sebuah kegelisahan yang selalu menggeliat dalam benak kita manakala mencermati fenomena radikalisme yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
DIDIE SW

Mengapa radikalisme kerap kali berujung kekerasan? Apakah kekerasan sudah menjadi sebuah habitus utama yang memang ditakdirkan oleh pelaku radikalisme untuk mengekspresikan segala macam pikiran dan perilakunya? Dan, ketika pelaku radikalisme banyak didominasi oleh kelompok keagamaan tertentu, apakah naluri keberagamaan mereka memang dibaluti oleh ajaran kekerasan yang diyakini sebagai khitahnya?

Beberapa pertanyaan di atas merupakan cermin analitik yang banyak dikupas oleh berbagai kalangan yang secara khusus mengkaji dan meneliti fenomena radikalisme yang banyak disertai kekerasan. Tulisan Mark Juergensmeyer, "Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama" jadi salah satu kajian empiris perihal radikalisme yang begitu masif dimanfaatkan sekelompok orang sebagai ekspresi tindak kekerasan.

Apalagi ketika naluri keberagamaan yang radikalistik beririsan dengan semangat fundamentalisme untuk menegakkan paham keagamaan secara subyektif yang didominasi oleh ciri berpikir yang absolut, non-dialogis, apologetik-defensif, dan pengklaim kebenaran. Maka, yang bermunculan adalah sikap kefanatikan yang mewujud dalam bentuk perasaan sentimen dan penyesatan terhadap serangkaian perbedaan yang ada.

Atas dasar potret radikalisme yang begitu durjana, kita pun bertanya-tanya, bagaimana cara efektif untuk menangkal dan mengatasi radikalisme tersebut? Apalagi, berdasarkan hasil survei INFID dan jaringan Gusdurian di sejumlah kota di Indonesia, 88,2 persen penduduk Indonesia menolak tindakan radikalisme yang berbasis agama. Lalu, adakah jalan lain yang bisa dijadikan panduan etis dan landasan etos untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan kita, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah rahmatan lil alamin?

Meneguhkan Pancasila

Tulisan Donny Gahral Adian berjudul "Radikalisme dan Pancasila" (Kompas, 14/1) menjadi catatan menarik untuk direfleksikan bersama: bahwa untuk menangkal radikalisme bisa melalui Pancasila yang didasari oleh semangat kolektivitas, yaitu lima sila yang terkandung dalam Pancasila sejatinya mencerminkan ide-ide kolektivitas. Ketika kita berketuhanan, maka kita harus memelihara solidaritas antarmanusia pula.

Pandangan Donny Gahral Adian ini memberikan wawasan lebih kepada kita bahwa dalam meneguhkan Pancasila, Pancasila harus diawali dengan cara kita membangun sebuah pola pikir yang menyeluruh terhadap lima sila yang termuat di dalamnya.

Semisal, ketika kita memahami dan menghayati sila pertama, kita tidak bisa menafikan dan menegasi keberadaan manusia lainnya—yang basis ontologisnya termaktub dalam sila kedua— yang memiliki sistem kepercayaan yang berbeda. Sebab, jika itu yang dilakukan, sila ketiga yang menyerukan spirit persatuan tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik.

Demikian halnya sila keempat yang menyerukan spirit kehikmatan melalui mekanisme permusyawaratan dan atau perwakilan, tidak akan bisa berjalan dengan baik jika di antara kita masih memahami sila pertama secara sektoral dan parsial. Apalagi ketika kita akan membincangkan ihwal keadilan sosial, yang bisa meliputi semua rakyat Indonesia, maka sangat mustahil untuk membangun iklim kesetaraannya.

Dengan demikian, semangat kolektivitas yang menghubungkan antara satu sila dan sila yang lain di dalam meneguhkan Pancasila menjadi modalitas keterjalinan antara satu sikap dan sikap yang lain untuk mewujudkan pelibatan empatik dalam perilaku kita.

Kita tidak lagi mempersoalkan perbedaan keyakinan, perbedaan ras, perbedaan ideologi dalam menenun semangat kebangsaan, dan menyikapi persoalan keindonesiaan. Akan tetapi, yang patut disadari, kita adalah sesama manusia yang senasib sepenanggungan, yang lazimnya harus peduli bersama terhadap tegaknya kedamaian negara ini. Oleh karena itu, dalam meneguhkan Pancasila, perlu memerhatikan ikatan bersama dengan perasaan kolektif bahwa kehidupan yang damai akan tercipta jika antara satu dan yang lain sama-sama berempati secara lintas batas.

Nilai-nilai "rahmatan lil alamin"

Dengan menempatkan ide-ide kolektivitas dalam meneguhkan Pancasila dan disertai dengan sikap pelibatan secara empatik antara satu dan yang lain, maka seiring dengan waktu Pancasila akan menjadi pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang dapat memberikan suatu pedoman mengenai nilai kehidupan yang mengedepankan kedamaian bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Secara sosiologis, konsep dasarrahmatan lil alamin menegaskan berbagai nilai keluhuran perihal bagaimana menyemaikan kesadaran etik yang mengedepankan prinsip-prinsip toleransi (tasamuh), moderasi (tawasuth), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta'adul) dalam kehidupan. Dalam kaitan ini, beberapa prinsip ini menjadi modalitas yang dapat mempertemukan semua elemen bangsa yang terdiri atas berbagai latar belakang. Sebab, sejatinya, merujuk pada pemikiran Muhammad Fethullah Gulen dalam buku "Islam Rahmatan Lil 'Alamien: Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia" bahwa kerahmatan adalah kebutuhan dasar yang dirindukan oleh setiap orang.

Dengan kerahmatan, setiap orang bisa mengekspresikan dirinya di berbagai arena tempat ia berada. Seorang pelaku usaha merasa nyaman menjalin perdagangannya, seorang pejabat merasa tenteram menjalankan tugas kekuasaannya, seorang pendidik merasa bebas mentransformasikan pengetahuannya, dan siapa pun yang memiliki profesi yang berbeda-beda akan merasakan keteduhan dalam menjalankan tugasnya.

Dalam kaitan ini, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang diyakini sebagai ideologi bangsa, baik dalam lingkup pengetahuan (kognitif) maupun ajaran nilai (afektif dan psiko- motorik), dapat dijadikan sebagai ruang alternatif untuk menyemaikan nilai-nilai rahmatan lil alamin.Di saat wajah agama diekspresikan secara radikalistik oleh sekelompok orang, dan yang terjadi setiap pemeluk agama sibuk mempertarungkan "atas nama Tuhan" untuk menebar pengaruh sosialnya, maka Pancasila perlu dihadirkan sebagai jalan kerahmatan yang dapat mengarahkan semua elemen masyarakat kepada sikap saling mengasihi dan menghargai.

Melalui landasan prinsipil, seperti toleransi, moderasi, keseimbangan, dan keadilan, nilai-nilai kerahmatan bisa dijadikan landasan filosofi Pancasila dalam membangun negara yang damai, aman, dan sentosa. Dan, ketika situasi kehidupan sejuk ini yang ditonjolkan, maka Indonesia bersama Pancasila-nya akan menjadi kiblat perdamaian yang akan dirujuk oleh dunia.

FATHORRAHMAN GHUFRON, FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA; WAKIL KATIB SYURIYAH PWNU YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Menenun Semangat Kebangsaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger