Di luar perkiraan banyak pihak, Presiden Joko Widodo ternyata mempertahankan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam Kabinet Kerja. Jokowi bahkan melantik Idrus Marham sebagai Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang maju dalam pemilihan gubernur Jawa Timur. Bulan madu Golkar-Jokowi?

Undang-Undang Kementerian Negara tidak melarang seorang menteri merangkap menjadi ketua umum atau petinggi partai politik. Namun, sebelum terpilih sebagai presiden, Joko Widodo pernah mengemukakan keinginannya agar para menteri yang membantunya di kabinet tidak merangkap jabatan struktural di partai politik.

Komitmen Presiden Jokowi itu ditegaskan kembali pada masa awal pemerintahan. Jokowi menilai bahwa rangkap jabatan akan membuat kerja menteri tidak fokus. "Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua," ujar Jokowi saat ditanya awak media terkait alasannya menolak rangkap jabatan.

 Komitmen Jokowi diapresiasi publik karena rangkap jabatan selalu berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Selain itu, perhatian yang terbelah antara posisi sebagai pembantu presiden dan pimpinan partai politik hampir pasti akan mengganggu atau membuat program-program pemerintah yang menjadi tanggung jawab kementerian tidak bisa maksimal. Partai politik juga turut mengapresiasi komitmen Presiden sehingga mereka mematuhinya.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang konon pernah ditawari jabatan menteri kabinet, akhirnya menolak karena lebih memilih posisi sebagai orang nomor satu di partai kaum nahdliyin tersebut. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto harus melepas jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sebagai risiko menerima tawaran Presiden Jokowi masuk ke dalam Kabinet Kerja.

 Pertanyaannya, mengapa Presiden Joko Widodo membiarkan Airlangga Hartarto yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar untuk menggantikan Setya Novanto tetap menjabat sebagai Menteri Perindustrian?

Perkokoh kaki politik

Sulit dimungkiri, perombakan kabinet yang dilakukan Presiden di tahun politik tidak hanya diperlukan untuk mengisi kekosongan jabatan menteri sosial yang ditinggalkan Khofifah Indar Prawansa, tetapi juga dalam rangka memperkokoh kaki politik Jokowi menjelang Pemilu 2019. Persoalannya, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara DPR semakin mengerucutkan pasangan calon presiden 2019 menjadi dua sosok, yakni Jokowi sebagai petahana dan Prabowo Subianto sebagai penantang. Peta pasangan calon di pilpres yang semakin jelas itu meniscayakan Jokowi memperkokoh kaki politik koalisi pendukungnya.

 Bagi Jokowi, komitmen dukungan PDI Perjuangan hanya soal waktu. Seperti yang sering dilakukan sebelumnya, saat mengumumkan pasangan calon, baik untuk pilpres maupun pilkada, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri hampir selalu memilih waktu di akhir. Risikonya, para pasangan calon yang diusung partai banteng hampir selalu dihinggapi stres politik yang tinggi menanti kepastian keputusan politik yang menjadi hak prerogatif ketua umum. Apalagi, seperti sering diulang oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, para kader—termasuk Jokowi—adalah "petugas partai" yang harus siap menerima perintah partai kapan dan di mana pun.

 Saya berpendapat, Presiden Jokowi secara diam-diam mengantisipasi kemungkinan seperti itu dengan cara memberi apresiasi kepada setiap partai politik yang secara prematur  memberi dukungan politik bagi pencalonannya kembali pada Pilpres 2019. Insentif itulah yang dinikmati Partai Golkar dewasa ini sehingga Jokowi harus mengorbankan janji politiknya agar para pembantunya tidak rangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik.

Bulan madu Jokowi-Golkar

 Seperti diketahui, Partai Golkar sebenarnya bukanlah parpol pengusung Jokowi, seperti PDI Perjuangan, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), PKB, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dengan kata lain, Golkar tidak turut "berkeringat" seperti lima partai yang kemudian tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Saat kompetisi Pilpres 2014, Golkar menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih (KMP), bersama-sama dengan Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan PBB dalam rangka mengusung capres Prabowo Subianto.

 Oleh karena itu, penambahan jatah Menteri Sosial Idrus Marham dari Golkar di satu pihak dan dipertahankannya posisi Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian bukan sekadar momen kedekatan Jokowi-Golkar. Lebih dari itu, realitas politik tersebut merupakan momen bulan madu politik antara Jokowi dan Partai Golkar. Persoalannya, Jokowi belum memperoleh kepastian dukungan politik itu dari basis politiknya sendiri, PDI Perjuangan.

 Di tengah upaya dan kerja kerasnya membangun negeri, antara lain melalui percepatan pembangunan infrastruktur, Jokowi memerlukan kepastian politik, apakah bisa memperpanjang pemerintahannya melalui Pilpres 2019 atau tidak. Kepastian itulah yang diperoleh Jokowi melalui dukungan politik Golkar (91 kursi DPR), Nasdem (35), Hanura (16), PKB (47), dan PPP (39). Tanpa PDI Perjuangan, Jokowi bisa diusung lima parpol tersebut dengan jumlah kursi total 228 kursi (40,7 persen), jauh di atas syarat ambang batas pencalonan presiden, yakni minimum 20 persen kursi DPR. Kemunculan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko—anggota Dewan Pembina dan salah seorang Wakil Ketua Umum Partai Hanura—sebagai  Kepala Staf Kantor Presiden menggantikan Teten Masduki bisa dijelaskan dari sudut pandang ini, yakni kebutuhan Jokowi untuk konsolidasi dukungan menjelang 2019.

 Hal ini menimbulkan spekulasi, jangan-jangan Presiden Jokowi secara politik merasa lebih "nyaman" di bawah naungan pohon beringin ketimbang berada di kandang banteng. Apakah benar demikian? Tentu hanya mantan wali kota Solo (2005-2012) dan gubernur Jakarta (2012- 2014) itu sendiri yang bisa mengonfirmasi dan menjawabnya.