Dirumuskannya beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana telah menimbulkan kontroversi sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi menyurati Presiden agar tidak memasukkan delik korupsi dalam RUU HP. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga meminta Presiden untuk tidak memasukkan pasal-pasal terkait pelanggaran berat HAM ke dalam RUU HP.

Alasan yang dikemukakan KPK dan pegiat antikorupsi ataupun Komnas HAM pada dasarnya sama. Bahwa korupsi dan pelanggaran berat HAM adalah tindak pidana khusus sehingga jika dimasukkan ke dalam RUU HP, kekhususannya menjadi hilang. Selain itu, masuknya delik korupsi dalam RUU HP dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan cenderung melemahkan pemberantasan korupsi terkait kewenangan KPK.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pimpinan KPK dan pegiat antikorupsi ataupun Komnas HAM, ketidakpahaman terhadap konsep lex specialis (aturan khusus) dalam hukum pidana secara utuh telah menimbulkan prasangka yang berlebihan. Namun, penulis menganggap prasangka tersebut lebih pada sebuah ikhtiar karena acap kali KPK diganggu oleh kaki tangan koruptor yang ingin melemahkan bahkan membubarkan KPK.

Tulisan singkat ini mencoba mengulas lex specialis dalam hukum pidana yang memberikan landasan argumentasi teoretik mengapa delik korupsi, termasuk pelanggaran berat HAM, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana terorisme, perlu diatur dalam RUU HP.

Tataran teoretik

Setiap mahasiswa fakultas hukum pada semester pertama pasti diajarkan tiga asas preferensi dalam dogmatik hukum. Pertama, lex superior derogat legi inferior (aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah). Kedua, lex posterior derogat legi priori (aturan yang baru mengesampingkan aturan terdahulu). Ketiga, lex specialis derogat legi generali (aturan khusus mengesampingkan aturan umum).

Bagi negara-negara yang mengikuti tradisi Eropa Kontinental, termasuk Indonesia, pengaturan tindak pidana dilakukan dengan sistem kodifikasi, yaitu memasukkan semua tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kecuali terhadap tindak pidana militer dan tindak pidana pajak yang pengaturannya di luar KUHP.

Dalam doktrin, hukum pidana militer disebut sebagai ius speciale karena pengenaan hukum didasarkan pada offender dan bukan offences. Artinya, jika ia anggota militer, kendatipun melakukan pelanggaran umum tetap diadili dengan menggunakan hukum pidana militer.

Demikian juga hukum pidana pajak yang dalam konteks doktrin dikenal dengan istilah ius singular karena memiliki sifat dan karakteristik yang lebih bernuansa ekonomis dalam rangka memperoleh pendapatan negara yang sebesar-besarnya.

Dalam perkembangan hukum pidana, banyak kejahatan yang timbul kemudian pengaturannya dilakukan di luar KUHP sebagai lex specialis. Dikatakan khusus sebab ketentuan materiilnya menyimpang dari KUHP atau ketentuan formalnya menyimpang dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sementara asas lex specialis derogat legi generali dalam hukum pidana juga mengalami perkembangan. Ada yang dikenal dengan lex specialis systematis dan lex consumen derogat legi consumte. Syarat suatu hukum pidana disebut sebagai lex specialis systematis, selain hukum pidana materiil dan hukum pidana formalnya menyimpang dari KUHP dan KUHAP, adresat (subyek hukum yang dapat dikenai aturan) tersebut juga bersifat khusus atau delicta propria.

Salah satu hukum pidana khusus yang memenuhi syarat lex specialis systematis adalah hukum pidana pajak. Selain hukum materiil dan formalnya menyimpang, adresat dalam hukum pidana pajak hanyalah wajib pajak dan fiscus (petugas pajak). Sementara lex consumen derogat legi consumte secara harfiah berarti hukum yang satu mengabsorbsi hukum yang lain. Di sini, suatu perbuatan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam beberapa ketentuan hukum pidana khusus, maka yang digunakan adalah hukum pidana khusus yang faktanya lebih dominan dalam kasus tersebut.

Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, hampir 200 UU yang dikualifikasikan sebagai hukum pidana khusus secara garis besar dibagi jadi hukum pidana khusus internal (hukum pidana khusus berupa UU pidana) dan hukum pidana khusus eksternal (hukum pidana khusus bukan UU pidana).

Dari segi kuantitas, hukum pidana khusus internal sangatlah terbatas, termasuk di dalamnya antara lain tindak pidana korupsi, pelanggaran berat HAM, dan terorisme. Adapun hukum pidana eksternal pada dasarnya adalah hukum administrasi yang diberi sanksi pidana.

Argumen teoretik

Berkaitan dengan pembaruan kodifikasi hukum pidana dalam bentuk RUU HP, politik hukum pidana yang dipilih adalah rekodifikasi, konsolidasi, dan harmonisasi. Oleh karena itu, dalam rangka rekodifikasi, beberapa pasal yang bersifat core crime dari hukum pidana khusus internal dimasukkan ke dalam RUU HP. Sebab, jika hukum pidana khusus internal tidak dimasukkan sama sekali dalam RUU HP, yang terjadi adalah dekodifikasi, dan  hal ini bertentangan dengan politik hukum pidana yang menganut rekodifikasi dan konsolidasi.

Dimasukkannya beberapa hukum pidana khusus internal dalam RUU HP sama sekali tidak menghilangkan sifat kekhususan dari tindak pidana tersebut, apalagi menghilangkan kewenangan lembaga-lembaga khusus, seperti KPK, Komnas HAM, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Hal ini didasarkan pada argumentasi teoretik sebagai berikut.

Pertama, delik korupsi, pelanggaran berat HAM, terorisme, dan narkotika berada dalam bab tindak pidana khusus.

Kedua, substansi delik-delik a quo hanyalah bersifat core crime dan tidak menghapuskan UU yang masih berlaku sekarang.

Ketiga, khusus mengenai delik korupsi, yang direformulasi hanyalah Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13. Padahal, berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi UU (Tipikor), ada 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai korupsi, sementara yang direformulasi dalam RUU HP hanyalah lima ketentuan. Artinya, 25 ketentuan tindak pidana korupsi lain yang ada dalam UU a quo masih tetap berlaku.

Keempat, dengan berlakunya lima ketentuan baru yang ada dalam RUU HP, secara mutatis mutandis, lima ketentuan yang sama dalam UU Tipikor tidak lagi berlaku sesuai dengan asas preferensi lex posterior derogat legi priori sebagaimana yang telah disinggung pada awal tulisan. Artinya, ada kepastian hukum dalam lapangan penuntutan pidana. Meski demikian, hal itu tidaklah menghilangkan kekhususan delik korupsi meskipun ada dalam RUU HP karena sesuai dengan prinsip rubrica est lex, ketentuan delik korupsi berada dalam bab tindak pidana khusus.

Kelima, berdasarkan ketentuan Pasal 729 RUU HP, berikut penjelasannya yang diformulasi pada tanggal 5 Juni 2018, secara expressive verbis, kewenangan KPK, Komnas HAM, BNN, dan lembaga-lembaga lain masih tetap berlaku, termasuk melakukan proses hukum terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam RUU HP.

Keenam, terkait sanksi pidana. Di beberapa delik korupsi dalam RUU HP, ancaman maksimum penjara adalah 20 tahun. Hanya saja, terkait ancaman minimum penjara, ada yang lebih ringan, tetapi ada juga yang lebih berat apabila dibandingkan dengan UU Tipikor yang ada sekarang. Intinya, pencantuman ancaman pidana didasarkan pada rasionalitas dengan sentencing standard yang jelas.

Ketujuh, mengenai permufakatan jahat, percobaan, dan pembantuan masih tetap sama dengan UU yang sekarang ada. Artinya, pelaku permufakatan jahat, percobaan, dan pembantuan tetap diancam dengan pidana yang sama dengan perbuatan selesai.