Tontonan Piala Dunia juga berdampak pada perekonomian suatu bangsa, dan bahkan budayanya. Sepak bola Piala Dunia yang selalu menyajikan tontonan permainan apik dan pertandingan menarik pada setiap fase bagi para pecinta permainan ini dimana pun berada. Di Indonesia, biasanya, menjelang perhelatan akbar ini dilangsungkan, bendera-bendera negara kesebelasan peserta Piala Dunia sudah berkibar di berbagai tempat, sebagai tanda dukungan terhadap negara tersebut. Para pedagang ramai berjualan kaus dan bendera peserta. Demikian juga dengan atribut, seperti kostum-kostum kesebelasan, biasanya sudah laku di pasaran.

Tahun ini mungkin tak jauh berbeda. Orang justru lebih asyik membahas permasalahan sepak bola dibandingkan dengan politik kekinian yang sedang bergulir di negeri ini. Bahkan jadi pembicaraan yang asyik untuk dikaji dan dibicarakan bersama di warung-warung kopi maupun di perkantoran.

Televisi yang menyiarkan tontonan Piala Dunia pun menjadi pusat perhatian dan keramaian—karena bisa disaksikan secara langsung. Alhasil, sepak bola Piala Dunia seakan menjadi mitos, tontotan wajib yang tak bisa ditinggalkan.

Tontonan sebagai teks

Dalam kaitannya dengan penggunaan istilah tontonan sebagai teks, nama Roland Barthes tidak bisa dikesampingkan. Barthes menyebut dalam teori konotasi, mengenai apa yang disebutnya sebagai mitos. Bagi Barthes, mitos adalah suatu sistem komunikasi yang membawa pesan. Mitos bukan suatu konsep atau gagasan, melainkan bentuk tuturan yang ditampilkan dalam wacana. Barthes mengembangkan teori signifikansi yang sebenarnya berangkat dari teori Saussure

Strukturalisme Saussure adalah inspirasi Barthes dalam melihat mitos. Barthes membuat sebuah model struktur yang bersifat dinamis yang merupakan perluasan teori Saussure; menggunakan istilah expression (ekspresi) untuk menunjuk aspek material dari tanda (signifiant pada Saussure) dan istilah content (konten) untuk menunjuk aspek mental dari tanda (signifie pada Saussure).

Ekspresi dan konten yang berperan sebagai tanda utama disebut sebagai denotasi. Tanda utama itu kemudian meluas menjadi tanda sekunder yang disebut juga sebagai metalangguage. Keseluruhan proses ini dikenal sebagai teori konotasi/ signifikansi Barthes. Konotasi dalam terminologi Barthes mencakup mitos di dalamnya. Dalam teori ini, perluasan tidak hanya perluasan makna (konotasi), tetapi juga perluasan bentuk (metalangguage). Dalam pengertian Barthes, mitos tidak ditentukan berdasarkan materinya, tetapi oleh isi pesan yang disampaikannya. Mitos tidak selalu berbentuk verbal, melainkan bisa berbentuk nonverbal maupun campuran antarkeduanya.

Kegunaan analisis Barthes soal mitos ini terhadap studi teks sebagai kebudayaan adalah memperluas wilayah jangkauan analisis tanda dalam kebudayaan. Dalam kebanyakan kebudayaan, pengetahuan manusia sering kali berbentuk mitos sebagai perluasan tanda. Pesan-pesan antargenerasi ditransmisikan melalui mitos. Mitos tidaklah selalu arbitrer karena ada bagiannya yang diungkapkan melalui peran analogi.

Teori Barthes juga berguna karena memungkinkan teori bahasa digunakan sebagai model bagi teks-teks lainnya. Ini berarti, penelitian kebudayaan tidak hanya mencakup pada teks dalam pengertian verbal, tetapi mencakup juga nonverbal yang sangat kaya.

Proses konotasi

Sama halnya dalam artikel "The World of Wrestling" di mana Barthes berusaha menguji pemaknaan dalam gulat, pendekatan semiotika juga dapat digunakan untuk melihat fenomena sepak bola di Piala Dunia. Sepak bola, sama seperti gulat, bukan hanya menjadi aksi teatrikal; bahkan sebuah pertunjukan teater—tanpa acuan ontologis. Dalam pengertian, tidak ada sistem pemaknaan di masyarakat sebelumnya.

Sepak bola pun didasarkan pada sistem tanda yang melingkupinya. Dengan kata lain, setiap elemen dari sepak bola—baik material, nama, tragedi, dramatis, motif, bahasa, gaya, proses manufakturnya—menunjukkan hal- hal absolut di mana setiap orang harus selalu memahami apa yang ada dalam elemen-elemen itu.

Terjadi situasi di mana yang privat menjadi publik. Atau dalam pemasaran, yang back stage) menjadi front stage. Ide tersebut mulanya adalah motivasi privat yang dapat dijelaskan melalui berupa cara: pasar. Namun, ketika dicetuskan, dimaksudkan sebagai benda publik. Dengan kata lain, berdasar semiotika Barthes, terjadi proses perluasan tanda, terjadi perluasan makna, terjadi konotasi.

Marshall Sahlin pernah meneliti bagaimana nilai simbolik hewan sebagai makanan atau bukan pada dasarnya menyingkapkan dan mendukung hierarki sosial. Reproduksi dari seluruh alam mengonstitusi obyektivikasi seluruh kebudayaan. Melalui susunan sistematik dari perbedaan makna yang menetapkan yang konkret, aturan kebudayaan direalisasikan juga sebagai aturan benda-benda. Barang-barang berdiri sebagai sebuah kode obyek bagi signifikansi dan valuasi pribadi-pribadi dan upacara, fungsi, dan situasi. Produksi adalah reproduksi kebudayaan dalam sistem obyek-obyek.

Contohnya, orang Amerika menilai anjing sebagai kerabat dan kuda sebagai pelayan. Ia mengajukan contoh sebuah protes terhadap daging kuda yang dijajakan pedagang daging sehingga daging kuda bisa dijual dan digunakan sebagai makanan anjing. Namun, babi dan sapi, di mana sapi menjadi daging spesial, tidak pernah dipertanyakan sebagai daging yang bisa dikonsumsi. Sahlin menunjukkan bahwa distingsi ini—dan siapa yang makan kuda atau anjing—juga menjadi tertangkap dalam jaring persepsi diri orang Amerika sebagai warga beradab, sementara kelompok kulit hitam sebagai warga tidak beradab.

Sepak bola dan pemitosan

Dalam kasus ini, terdapat nilai simbolik dari sepak bola dan "gaya hidup". Dilekatkannya nama dapat dipahami sebagai "imajinasi semiotik" yang menggambarkan hubungan simbolik antara ekspresi dan konten. Proses konotasi dapat dipadankan dengan proses memitoskan. Sebab, mitos adalah sistem signifikasi (sistem pemaknaan). Terdapat keterangan Barthes terhadapnya. Pertama, hubungan antara ekspresi dan konten cukup jelas dan tidak tersembunyi. Artinya, dengan segera kita akan tahu hubungan yang ada.

Semiotika atau semiologi dalam terminologi Saussure, tidak terbatas cakupan kerjanya hanya dalam bidang bahasa. Sebagai sebuah studi mengenai tanda, semiotika dapat diarahkan pada setiap jengkal wilayah yang bertanda; artinya dapat diterapkan kepada hampir seluruh bidang kehidupan. Sebab, kehadiran selalu membutuhkan mediasi tanda. Barthes sebagai penerus Saussure memandang tugas semiotika lebih luas dari yang dibayangkan oleh pendahulunya. Dengan mengembalikan dan mengarahkan semiotika ke bidang tanda yang luas, kita dapat menganalisis begitu banyak fenomena kebudayaan.

Terhadap semiotika Barthes digunakan untuk melihat hubungan tanda antara sepak bola, televisi, dan kita sebagai penonton. Dalam proses konotasi, identifikasi permainan sepak bola itu terhadap pengaruh budaya kita sekaligus kekinian gaya hidup, menghasilkan perluasan tanda yang disebut sebagai mitos.

Mitos dalam hal ini dipandang sebagai proses konotasi, yang dapat bersifat bolak-balik dipertukarkan dengan makna denotatifnya. Akibatnya, dapat berdiri sebagai suatu sistem pemaknaan baru bagi masyarakat konsumerisme sebagai hasil hiburan atau tontonan—yang mengalami perluasan makna.